Puasa yang dalam bahasa Arab disebut "Shoum" mempunyai arti "menahan". Kata shoum sendiri identik dengan kata al-imsak atau menahan. Kutipan dari ayat Al-Qur'an yang biasa digunakan untuk menjelaskan makna puasa  secara bahasa adalah perkataan  Maryam, ibundnya Nabi Isa AS yang diabadikan dalam Al-Qur'an :  "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini."( QS Maryam 26)
Teksnya di atas menunjukan dengan jelas bahwa Maryam diperintahkan oleh Allah untuk menjawab bahwa dirinya bernadzar tidak berbicara kepada yang lain. Kata Shouman di atas sama dengan pengertian menahan dari sesuatu. Pada ayat di atas, menahan berbicara dengan manusia.Â
Dengan demikian sejak awal harus kita sadari bahwa puasa dibangun dari pondasi "menahan diri".  Ibadah puasa sudah dikenal pada zaman sebelum Islam. Umat-umat terdahulu sudah terbiasa menjalankan puasa.  Jika kita mengingat kembali kebiasaan Nabi Muhammad shallahu 'alahi wa sallam sebelum diangkat menjadi rasul, beliau shallahu 'alahi wa sallam terbiasa merenung di gua Hiro', sampai kemudian turun ayat  1 -- 5 dari surat Al-Alaq, wahyu yang pertama kali turun. Di  gua Hiro' yang sepi itu nabi "berpuasa" dengan cara menjauhkan diri dari perkara kesenangan dan kenikmatan dunia.
Apa yang dilakukan  Nabi Muhammad shallahu 'alahi wa sallam di gua Hiro' adalah bentuk puasa,  yakni menahan dari sesuatu menuju sesuatu yang lebih baik. Saat beliau shallahu 'alahi wa sallam melihat orang-orang Arab terjebak dalam gelimang kemewahan dunia dan melupakan aspek keagamaan, batin beliau gelisah dan cemas.Â
Ada keingingan untuk memperbaiki kaumnya, tetapi belum tahu jalan yang harus ditempuh. Saat beliau "bepuasa" dengan menahan diri dari kesenangan semu duniawi dengan harapan mencapai ketenangan guna mendapatkan puncak kebijakan dalam mensikapi berbagai perubahan. Kesimpulan yang paling sederhana dengan"menahan diri" seseorang bisa mencapai puncak kedudukan spritualitas tertinggi karena bisa meningkatkan kecerdasan spiritualitasnya.
Pada teks ayat perintah puasa Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah 183)
Ayat ini dengan tegas menyebutkan bahwa puasa sudah diwajibkan sebelum umat Nabi Muhammad shallahu 'alahi wa sallam, tentunya dengan bentuk yang berbeda.  Tentunya puasanya sebagaimana konsep dasarnya, menjaga diri dari sesuatu.  Allah menyuruh berpuasa agar menjadi jalan guna mencapai tujuan Taqwa. Puasa menjadi semacam latihan ruhani  guna meningkatan kualitas kemanusian. Karena manusia yang mulia adalah mereka yang mampu menjaga diri dari segala sesuatu berguna dan memusatkan energi untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.
Lantas kemudian apa sebenarnya arti puasa ?? puasa mempunyai beberapa tingkatan makna.
Pertama, pada tingkat pertama puasa diberi arti secara sederhana bisa kita artikan dengan "menahan segala sesuatu yang membatalkan puasa atau merusak pahala puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari karena niat ibadah kepada Allah". Dalam pengertian ini terkandung berbagai makna  menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa atau merusak kualitas puasa.
Kedua, pada tingkat kedua, puasa merupakan latihan ruhani kita dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Pada waktu puasa, umat Islam mencoba untuk memasuki fase latihan ruhani, menahan sesuatu yang dilarang demi sebuah tujuan mulia menghadirkan sikap taqwa. Jiwa manusia cenderung lemah dan labil apalagi saat didera dengan berbagai cobaan, seperti kenikmatan dunia yang lezat, Â kekayaan yang memabukkan atau wanita yang mempesona. Pribadi muslim harus menyadari manisnya dunia hanyalah tipuan sementara, kebahagiaan yang abadi ada di alam kekekalan, di negeri surga yang abadi.
Berbeda pada tingkat pertama pertama pada tingkat kedua ini, orang yang mengerjakan puasa pada tingkat pertama belum tentu disebut telah berpuasa. Hadits yang dikutip di atas " "Banyak orang yang puasa tetapi tidak ada baginya pahala puasa, kecuali lapar, dan banyak orang yang qiyamul lail tidak ada baginya pahala dari qiyamul lailnya kecuali begadang."(HR Ibnu Majah dalam kitab Sunannya". Â Artinya, jika seseorang telah berpuasa dalam arti tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, pada tingkat, belum tentu dia berpuasa, karena nabi shallahu 'alahi wa sallam menyebutnya dia hanya mendapatkan lapar dan haus saja.