Apa wajah Indonesia yang kita harapkan saat gerakan reformasi digulirkan?? Setelah Presiden Suharto mengundurkan diri. Â Kemudian silih berganti presiden memimpi RI. Masih ingatkah kita pada harapan dan impian itu? Masih setiakan kita pada mimpi mimpi itu.
Hati-hari ini  berita tentang politik dinasti makin menguat.  Tentu semuanya ini tidak bisa dilepaskan dengan terpilihnya  Gibran Rabuning Raka, putr Presiden Jokowi, dalam rekomendari calon wali kota Solo.
Sangat wajar, apa yang berkaitan dengan Presiden Jokowi mudah sekali menjadi trending topik, apalagi untuk sesuatu yang sebenarnya sangat peka dalam perasaan kita, yakni adanya sistem dinasti yang identik dengan nepotisme.
Ada banyak kasus yang lain, Partai Demokrat antara mantan Presiden  SBY dengan Agus Harimurti Yudhoyono, PDIP antara Megawati dengan Puan Maharani, dan banyak kasus kepemimpinan lokal lainnya.
Kata dinasti tentu identik dengan sistem kerajaan, di mana kekuasaan diwariskan secara turun temurun, bukan sebuah proses rasional yang ditentukan oleh masarakat.
Anak raja akan menjadi putra mahkota dan kelak akan menjadi pengganti sang raja. Begitu seterusnya, anak raja akan menjadi raja, tanpa peduli apakah ia mempunyai kemampuan untuk menjadi raja yang baik, dalam banyak catatan sejarah ada rasa yang menjadi raja saat masih anak-anak. Ia tetap menjadi raja, karena memang aturan hukumnya seperti itu.
Tentu kelemahan dari dinasti pada sistem kerajaan jika sang anak tidak mempunyai kemampuan menjadi raja, maka negara akan menggalami  kemunduran bahkan kehancuran. Jika muncul tokoh yang karismatik dalam negara tersebut, bisa memunculkan kudeta atas kerajaan tersebut, karena dipicu ketidakmampuan raja dalam memimpin negaranya. Dia menjadi raja bukan kemampuan tetapi hanya keturunannya saja.
Lalu apakah ketika kita sudah menerima demokrasi sejak merdeka, walaupun dalam sejarahnya banyak lika-likunya,dinasti masih akan diterima oleh masarakat?? Bukankah masarakat kita masih trauma dengan Nepotisme yang menjadi salah satu teriakan ketika bangsa ini memilik melakukan reformasi??
Isu adanya dinasti dalam politik Indonesia karena ada beberapa kasus seorang anak pemimpin atau pejabat menjadi calon pemimpin. Puncaknya saat Gibran putra dan Bobby putra menantu s Presiden Jokowi, mendapatkan rekomendasi dari PDIP untuk menjadi pemimpin daerah, Siti Nur Azizah putri Bapak Wakil Presiden Makruf Amin, begitu juga putra Pramono Anung (sekretaris kabinet), Haninddito Himawan yang akan maju dalam pilkada Kediri. Dan masih banyak yang lain.
Apakah ini sebagai tanda munculnya dinasti politik yang akan mengebiri tumbuhnya demokrasi??
Begitu pula tepilihnya AHY di Partai Demokrat sebagai bagian dari politik dinasti?? Â Sebuah fakta harus diakui peran SBY begitu terasa, sejak AHY ikut dalam persaingan pilkada di DKI. Â Adanya aroma politik dinasti pasti terasa.
Dari banyak kasus di atas, kemudian meledak pada konteks relasi Jokowi dan Gibran yang hampir didukung oleh semua parpol kecuali PKS, sangat mungkin Pilkada di Solo diikuti calon tunggal saja atau jika ada calon yang muncul dari independen, tidak mempunyai dukungan yang kuat sehingga terkesan sebagai orang iseng ikut Pilkada. Apakah kuatnya posisi Jokowi sehingga partai-partai pro pemerintah "sungkan" untuk tidak mendukung.
Memang tidak mudah menjadi oposisi di era ketika kebencian merasuk dalam politik kita, ada beberapa komentar sinis nitezen dengan mencaci PKS sebagai partai kadrun hanya karena tidak memberikan dukungan kepada Gibran. Komentar yang aneh sekali, rasanya nalar sehat kita tidak akan bisa membenarkan.
Mungkin dia tidak setuju dengan PKS dan apa apa yang diperjuangkan, tetapi sikap politik tidak mendukung Gibran adalah hak partai tersebut. Dan  para pendukung Gibran harus bersyukur jika PKS mempunyai keberanian untuk mengusung calon sendiri, artinya ada proses yang lebih demokratis di Solo.
Untuk menyebut sebuah keterpilihan kerabat pejabat bagian dari sistem dinasti harus ada aspek yang mendukung.
Pertama, kuatnya posisi orang tuanya dalam politik sangat kuat sehingga menjadi tekanan yang mempengaruhi partai-partai yang ada untuk mencalonkannya bukan karena kapasitas kemampuan personal.
Kedua, mengabaikan proses pengkaderan pada partai tersebut. Bukankah kader partai yang lain ada yang merintis dari bawah, dari tingkat kecamatan, kabupaten lalu propinsi sampai di pengurus pusat. Sementara karena faktor orang tua, ia tiba-tiba muncul dan menjadi nomer satu atau menjadi calon dari partai dengan mengabaikan kader-kader yang lain.
Apa yang terjadi saat ini ?? Â Jangan sampai kondisi politik saat ini menjadi "dinasti berbaju demokrasi". Â Gibran mempunyai hak politiknya, namun juga masarakat mempunyai hak yang sama untuk membuat analisis apakah itu politik dinasti atau bukan, jika ada sebagian masarakat ada yang menilai itu politik dinasti, maka hak mereka kedudukannya sama dengan Gibran yang mempunyai hak politik maju di pilkada Solo.
Namun harus diakui pengaruh Presiden Jokowi begitu besar dalam proses pencalonan Gibran. Apakah ini dinasti? Tidak bisa diingkari aroma dinasti mulai tercium.
Sesungguhnya yang mencemaskan bukan relasi Presiden dan Gibran, tetapi peran politik partai-partai yang terkesan ingin tampil mempesona di depan presiden dengan memberikan dukungan politik kepada Gibran, hampir semua partai mendukung kecuali PKS.
Jika nanti pilkada itu hanya ada calon tunggal atau ada calon tetapi sekedar "pupuk bawang". Partai-partailah secara moral bertanggung jawab, membuat kemenangan Gibran tidak lagi mengesankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H