Mohon tunggu...
Agus Zain Abdullah ElGhony
Agus Zain Abdullah ElGhony Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perginya Sapardi dan Matinya Kelembutan

22 Juli 2020   22:39 Diperbarui: 22 Juli 2020   22:38 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eyang Sapardi  Djoko Damano telah kembali kepada pemilikNya yang Maha Abadi. Seperti yang lain, yang juga pernah mendahului kita.  Dulu pernah hadir dan memberi warna kehidupan kita, namun pada saatnya dia akan kembali kepada pemilikNya. Tugasnya sudah usai, sedang kita yang masih diberi waktu untuk bernafas meneruskan apa yang diimpikan dan dicapai. Itulah perjalan hidup, yang berujung pada taqdir.

Kita pasti mengenal ungkapan, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia wafat meninggalkan nama. Lalu setelah Sapardi pergi, kembali ke pemiliknya apa yang kita kenang, sepotong puisi.


Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini


Dan yang menulis itu sekarang sudah pergi. Selesai sudah segala tugas, tinggal kenangan yang abadi.  Baris baris puisi yang mengajari kita kelembuitan. Cerita-cerita yang mengajari kasih sayang, tentang hujan Hujan Bulan Juni yang katanya tak ada yang lebih tabah/
dari hujan bulan Juni/dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu, tentang cinta yang katanya "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu


Puisi Sapardi Djoko Damano mewakili kelembutan dalam bertutar kata, kalimat yang menyentuh untuk sesuatu yang sebenarnya biasa kita anggap sederhana. Tentang cerita keseharian dengan indah dan santun. Sebuah dunia yang kita semua merindukannya, dunia yang tenang tanpa hiruk pikuk dan caci maki. Dunia yang setiap kata-kata ditata dengan baik, dan saat kelaur dari mulut kita itu adalah pilihan yang terbaik.


Sapardi Djoko Damano telah pergi, tetapi namanya akan abadi, selama peradaban itu masih memungkinkan kelembutan bertutur kata itu hidup dan berkembang. Mungkin sekarang kita ragu, mengingat dunia kita dunia yang penuh dengan caci maki, dunia yang ketika setiap kata makian dianggap kewajaran. Di mana orang -- orang dengan menyebut saudaranya dengan kadal gurun atau cebong, mungkin dengan sopan memanggil saudaranya sebangsanya dengan "anjing".


Sapardi telah pergi. Orang Jawa secara umum menggunakan kata untuk "sampun sumare", yang sedang tertidur untuk orang yang sudah meninggal dunia, dari "sare" yang bermakna tidur  atau juga "ingkang suwargi" yang mempunyai makna penghormatan yang tulus, kepada mereka yang sudah kembali kepada pemiliknya. Dan figur yang mewakili kesederhanaan yang dan kesantunan itu telah kembali kepada pemiliknya, pada sebuah waktu ketika kelembutan kata-kata mulai ditinggalkan. Bahkan rasanya kita berada di era dimana kelembutan telah mati.


Dunia politik yang dibesarkan oleh medsos, menemukan titik didihnya pada caci maki, segala celah yang ada akan disemai  untuk tumbuhnya caci maki, kue kleponpun bisa dijadikan "klepon" . Caci maki menjadi mainstream budaya dalam medsos kita, tidak hanya dari masarakat yang dianggap awam tetapi mereka yang berasal dari akademisi. Seorang politikus tiba-tiba memaki dan menuding, namun orang-orang memujinya sebagai sang pemberani. Kita hidup di era dimana kesantunan bisa disebut sebagai kemunafikan, dan cacian sebagai sebuah keberanian.


Begawan Puisi itu tidak mati ia hanya pergi ke pemiliknya, meninggal dunia yang sekarang berduka karena kelembutan telah mati. Berganti dengan caci maki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun