Mohon tunggu...
Agus Zain Abdullah ElGhony
Agus Zain Abdullah ElGhony Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika DPR Menjadi Lembaga yang Tersandera

5 Juli 2020   16:03 Diperbarui: 6 Juli 2020   03:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu fungsi DPR adalah sebagai badan pembuat undang-undang bersama pemerintah. Namun sekarang peran DPR itu tersandera. Bahkan penuh dengan tekanan. Apa yang terjadi dengan DPR?? Mengapa bisa menjadi lembaga yang tersandera??

Kisruh RUU HIP belum usai, lalu merebak lagi RUU PKS. Dan nanti entah apa lagi.  Jika kita melihat fenomena RUU yang pada awalnya disetujui oleh anggota DPR, kemudian karena mendapatkan tekanan dari lapisan masarakat, fraksi yang semula setuju berbalik arah tidak setuju, tidak mendukung, bahkan mengecam RUU yang sebelumnya disetujuinya. 

Dalam logika yang paling sederhanapun kita bisa menemukan ada sesuatu yang salah. Apakah sebelum menyetujuinya pasal-pasal RUU tadi belum dibaca?? 

Apakah anggota DPR tidak memahami jika sebuah pasal yang disetujui mempunyai potensi konflik di masarakat !? Bukankah anggota DPR mempunyai staf ahli. Apakah mereka tidak mempunyai kemampuan menganalisa setiap pasal berdasarkan aspek sosial dan budaya?

Rasanya tidak mungkin anggota DPR yang dibayar dengan uang rakyat itu tidak membaca pasal-pasal RUU yang akan disetujuinya.  Karena pasti mereka menyadari, bahwa setiap kata dalam pasal akan menjadikan kekuatan yang mengikat kehidupan masaakat. Apakah semuanya hanya tergantung lobi pada tingkat fraksi ?

Misalnya fraksi B mengusulkan suatu RUU, kemudian dia akan melobi ketua fraksi  A, D, D dan F. Jika jajaran fraksi menerima karena lobi karena fraksi B. 

Walaupun belum mempelajari secara rinci setiap kata dalam pasal tersebut atau lebih buruk lagi belum membacanya. Lalu semua anggota fraksi akan mengikutinya. Tetapi anggota DPR tidak seburuk itu, dimana mereka tidak membaca dan mempelajari RUU yang mereka setujui.

Anggota DPR seringkali tersandera oleh fraksi. Apapun yang diputuskan oleh fraksi dia harus mendukungnya. Jika tidak, bisa saja namanya akan terdaftar sebagai yang akan diganti lewat PAW. 

Padahal ongkos politik itu belum kembali dan lebih memalukan lagi nanti akan kehilangan kehormatan sebagai panggilan "anggota dewan yang mulia".

Pemikiran di atas tentu hanya analisa saja, karena banyak terjadi kondisi yang "tidak masuk" akal. Fraksi yang menyetujui sebuah RUU lalu ketika mendapat banyak tekanan, dengan cepat berlari untuk berbalik arah, bahkan ikut mengecam RUU tersebut. 

Publik ingin melihat anggota DPR tampil di TV atau mungkin streaming youtube menjelaskan dasar-dasar loginya dia dan fraksi menyetujuinya, walaupun RUU itu mendapat kecaman dari berbagai lapisan masarakat. Sebagai tanggung jawab nalar dan intelektualitas anggota dewan saat bersama fraksinya menerima sebuah RUU.

Saat MUI, NU dan Muhammadiyah menolak RUU HIP, lantas pemerintah menolak meneruskan bahkan presiden mengatakan tidak tahu menahu tentang RUU itu. 

Padahal yang mengusulkan dan mendukung adalah partai pendukung pemerintah. Setali tiga uang,  fraksi yang mengusulkan dan mendukung juga menarik dukungannya, bahkan ikut mengecam beberapa pasal dari RUU tadi. 

Tekanan politis dari masarakat, mengubah peta politik dengan cepat. Tetapi rasanya sedikit konyol, seperti pelawak yang mendukung ide temannya kemudian ada yang memarahinya, ia berpura-pura lupa pernah memberikan dukungan.

DPR menjadi sebuah lembaga yang tersandera oleh kekuatan massa yang bergerak atau bisa juga digerakkan setiap kali mengambil keputusan, bahkan saat masih berupa rancangan saja mendapatkan tekanan. Sementara anggota DPR kurang aktif dan massif menjelaskan ide yang melandasi gagasan tentang sebuah RUU. 

Lebih menyedihkan jika yang menggerakkan itu tidak faham juga dengan pasal-pasal yang diprotes, mungkin belum membacanya atau sudah membacanya tetapi belum memahami secara utuh subtansi yang ada pasal-pasalnya tadi. 

Sering terjadi, massa yang terlibat dalam aksi belum membaca apalagi mempelajari RUU tersebut. Padahal jumlah massa yang besar bisa menjadi fraksi penentu yang membuat fraksi resmi di DPR tertekan dan membatalkan RUU tersebut.

Angota DPR harus mampu merumuskan gagasannya dengan baik, jika sebuah pasal RUU dibahas mereka bisa adu konsep dengan tegas, kalau perlu dengan  berdebat dengan keras untuk menghasilkan setiap pasal yang berkualitas. 

Jangan- jangan di DPR tidak ada tradisi seperti itu, yang ada hanya "sendiko dawuh" kepada jajaran fraksi saja atau pengurus partai. Tetapi saya yakin, anggota DPR tidak seburuk itu.

Dan ketika RUU itu diprotes oleh kekuatan massa tertentu, ia mempunyai kemampuan untuk melakukan adu argumentasi dengan jelas dan tegas. 

"Kami telah memutuskan sesuatu dan kami tidak akan mencabutnya, jika mau mencabutkan lalukan lewat MK. Kami tidak mau menelan ludah sendiri." Tetapi mungkinkah? Kelihatannya kita akan semakin sering melihat DPR yang tersandera ketika memutuskan sesuatu. Ia tidak gagah menghadapi tekanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun