Mohon tunggu...
Agus Zain Abdullah ElGhony
Agus Zain Abdullah ElGhony Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Karena Salah Liverpool dan Luka Lama Heysel

30 Juni 2020   09:12 Diperbarui: 30 Juni 2020   09:16 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan pencinta Liverpool. Bahkan ada  rasa tidak suka dengan Liverpool,  rasa itu  terkadang bisa muncul rasa benci. Begitu juga dengan klub-klub inggris lainnya. Saya relatif kurang menyukainya. Gaya kick and rush yang dikembang klub Inggris rasanya bukan sepak bola yang indah, adu otot, bukan adu tehnik apalagi seni bola. 

Sekarang, sudah banyak berubah. Semenjak banyak pelatih non Ingris Raya yang menjadi pelatih, seperti Pep Guardiola dan tentu saja Jurgen Klopp, dengan pengecualian Jose Maurinho dengan sepak bola pragmatismenya.

Kenangan pada Liverpool adalah kenangan pada luka dalam tragedi Heysel. Di tahun 1985, tepatnya 29 Mei 1985. Saya dengan mata anak-anak begadang ingin melihat fina piala Champions yang disiarkan TVRI, lewat TV hitam putih 17 Inci. Melawan kantuk dan rasa malas. 

Semangat ingin melihat duel Juventus VS Liverpool, di sana ada Michel Platini yang baru saya mengantar Perancis sebagai juara piala Eropa. Platini top skornya dengan 9 gol, padahal hanya 5 pertandingan. Saat itu Piala Eropa hanya diikuti 8 tim.

Salah satu hari, yang rasanya termasuk hari -- hari  yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Duduk di depan TV di waktu dini hari, melihat final Paial Champion, pertandingan begitu alot. Liverpool lebih menguasai. Namun Juvenstus kokoh bertahan. Saya waktu itu mendukung Juventus karena ada Platini di sana. 

Di babak kedua, saya melihat asap memumbung dari tribun penonton. Pemain belakang liverpool melakukan pelanggaran. Wasit menunjuk titik putih. Platini maju sebagai algojo dan gol.  Juventus juara. Pertandingan yang sebenarnya biasa-biasanya, sedikit membosankan, apalagi setelah mencetak gol. Juventus cenderung parkir bis saja. Yang menjadikannya istimewa adalah tragedi Heysel.

Memori yang tersimpan dalam otak saya sejak kecil, peristiwa yang salah adalah Liverpool, para holigannya yang membuat rusuh. Kemudian UEFA memberikan hukuman Liverpool, bahkan kepada klub-klub Inggris lainnya. 

Hukuman itu mempunyai dampak positif, setidak-tidaknya dari perubahan perilaku suporter Inggris yang berubah menjadi lebih baik. Stodion tanpa pagar, sehingga menjadikan penonton dan pemain tidak berjarak. Suporter liga Inggris telah berubah menjadi bagian yang penting bagi perubahan sepak bola Inggris yang lebih baik. Tetapi memori tentang tragedi Heysel masih melekat juga dalam hati.

Bahkan malam penuh drama Liverpool saat mengalahkan AC Milan di final Liga Champions setelah tertinggal 3 gol tidak mengubah citra liverpool yang masih terkait dengan tragedi Heysel. 

Malam fanatastik memang, untuk sebuah pelajaran semangat dalam kehidupan, jangan mudah menyerah saat berjuang. Ada banyak pemain di Liverpool, mulai dari Ian Rush, John Barnes sampai era Stevan Gerard, yang mempesona dengan karir yang cemerlang. Tapi kesan pertama tentang Heysel yang masih ada juga.

Klub liga Inggris pada tenggelam oleh pesona MU dan Ferguson, setelah itu muncul Maurinho dengan pragmatisnya, ada Pep Guardilo di Man City.  Jurgen Klopp hadir dengan Liverpool juara liga Champions setelah sebelumnya tampil juga di final dengan gol-gol yang konyol. Kalah dari Real Madrid. Tidak ada yang menarik, klub juara setelah 30 tahun puasa. Tetapi, Klopp telah memberikan asa dan semangat baru di Liverpool.

Perhatian terhadap Liverpool justru ketika Salah di Liverpool. Ada ikatan dari dunia ketiga dalam dunia ketika dalam pikiran saya. Mungkin sebuah ikrar primordial saja. 

Saya sangat mendukung AC Milan saat diperkuat George Weah, begitu juga sangat mendukung Chelsea ketika masih diperkuat oleh Didier Drogba, sikap yang sama juga kepada klub yang dibela oleh Samuel Eto'o seperti Inter Milan. 

Salah di Liverpool menjadi unik, beda sekali dengan Salah saat di Chelsea. Adanya Mo Salah di Liverpool membuat saya mengikuti berita tentang klub yang mempunyai semboyan menggetarkan " You'll Never Walk Alone".

Sekarang Liverpool juara. Ada yang menarik?? Menjadi juara di era pandemi, ketika sepak bola dimainkan tanpa penonton. Tidak ada yang menarik, kecuali sekedar pelepas haus bagi suporternya yang dahaga juara Inggris setelah sekian lama. 

Ada noda besar di Liverpool di tahun ini juga, tersingkir di Piala FA dan liga champions. Rasanya, Klopp belum layak disejajarkan dengan Ferguson yang memberikan MU treble winner, atau bahkan rasanya belum sejajar dengan Rafael Benitez yang menyajikan malam ajaib bagi fans sepak bola dunia di Istambul.

Klopp dan Liverpool harus bisa menyajikan sesuatu yang hebat, setidak-tidaknya setara dengan Ferguson. Jika ingin dikenang sebagai legenda sepak bola atau setidak-tidaknya menghapus kenangan saya tentang tragedi Heysel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun