Saya pertama menulis kata-kata Megawati You'll Never Walk Alone di penghujung akhir ahun 1997, di bulan desember yang murung. Di kota Malang, Saat hujan sering menyapa kota apel itu. Saya menulisnya di sebuah buku biografi Megawati Sukarno Putri. Hidup seperti roda yang berputar kata orang bijak. Megawati yang dulu, di tahun -- tahun penuh cobaan. Di masa ketika orde baru begitu perkasa. Megawati dirasa sebagai duri dalam daging atau mungkin seperti gigi tumbuh tidak pada tempatnya.
Setelah sekian waktu berlalu. Ketika rezim orde baru jatuh. Pemilu pertama kali digelar dalam semangat reformasi, Megawati dan PDI-P adalah sang pemenang. Walau sang ketua partai gagal menjadi presiden. Pada sebuah pemilihan presiden yang dilakukan oleh MPR. Sejarah kemudian mencatat Gus Dur menjadi presiden. Dan Megawati sebagai  wakil presiden.
Saya mendukung Megawati dalam masa masa transisi politik yang sulit. Walau saya bukan pendukung PDIP.  Akan tetapi   saat Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur, saya merasa beliau menjadi sosok yang asing. Beberapa kebijakan sulit dimengerti atau mungkin lebih tepatnya jika  disebut saya tidak setuju.Â
Saya sangat mendukung Megawati untuk mendapat hak-hak politik, dan  begitu pula PDIP diberi ruang untuk berkembang secara adil dan proposional. Pada masa Orde Baru tidak mudah mendapat hak seperti itu. Walaupun dalam banyak hal, saya tidak sepakat dan tidak mendukung, sikap politik Megawati dan PDI-P, tetapi saya siap berjuang agar ada  ruang bagi keduanya dalam mengekspresikan hak politiknya.
Hari hari ini ketika Megawati dan PDIP dipersoalkan karena RUU HIP.  Tetapi saya ragu apakah kata Megawati You'll never walk alone masih relevan??  Tetapi saya merasa masih  relevan. Ketika PDIP seolah-olah sendiri, walau RUU itu banyak frakasi yang mendukungnya.  Saya sangat tidak setuju dengan beberapa gagasan dalam RUU HIP.Â
Bahkan saya cemas jika RUU HIP itu akan mengorek luka lama. Tetapi menghargai hak fraksi dalam DPR untuk mengusulkan sebuah RUU, jika tidak setuju bukankah juga punya hak untuk menolak !!. Jika tidak setuju, ada ruang untuk berdiskusi. Saya tidak percaya Megawati dan PDIP akan mengubah pancasila menjadi eka sila. Itu hanya tafsir saja. Saya juga bisa memahami jika ada penafsiran  seperti itu terhadap pancasila, namun sangat tidak setuju jika tafsir itu masuk ke sebuah RUU.
Demokrasi itu mengajari untuk tetap bersama dan saling mendukung walaupun berbeda pendapat setajam apapun. Oleh karena itu mayoritas negara-negara memilih demokrasi. Karena ia memberikan ruang yang luas untuk perbedaan. Semangat untuk membubarkan partai yang berbeda dasar pemikirannya adalah tindakan yang sulit dimengerti di alam demokrasi.Â
Kesiapan kita berbeda pendapat, serta tetap santun dalam perbedaan adalah bukti kedewasaan kita. Â Ketika seorang politikus berkata " Sungguh sampai mati aku tidak setuju dengan pendapat anda, tetapi siap mati agar anda mempunyai kesempatan menyampaikan pendapat."
Sungguh yang membinasakan demokrasi adalah ketika kita tidak memberikan ruang pada perbedaan, kita hanya memberi ruang kepada mereka yang satu pendapat saja. Ketika seorang politikus dengan mata kanak-kanaknya berkata " Anda mendukung kami atau anda menjadi musuh kami."Â
Demokrasi tidak mengenal "musuh" dalam pengertian yang sebenarnya, yang ada kompetitor dalam gagasan dan konsep politik. Pertarungan politik bukan menang kalah, yang menang hidup mulia dan yang kalah hanya pecundang. Â Politik bukanlah zero sum game. Ia adalah kebersamaan dan kemesraan dalam perbedaan. Â
Kita membutuhkan kedewasaan dalam politik. Ketika dua partai yang berbeda tajam tetapi saling mampu menampilkan kebersamaan. Ketika dua pendukung partai yang mempunyai perbedaan tajam (bahkan setajam siilet) tetapi tetap bersama, berjalan dan mendoakan kebaikan. Bukankah semua partai didirikan untuk tujun mulia, menjadi pilar utama pembangunan masarakat. Walaupun mereka berbeda konsepnya.