Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Demokrasi dari Kata "Dungu "

6 Juni 2020   23:05 Diperbarui: 6 Juni 2020   23:01 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dungu. Tahukah anda apa arti dungu ?? Semua orang yang lahir dan besar di Indonesia pastilah memahami kata dungu, walaupun ketika kita menjelaskan dalam presepsi kita sendiri mungkin berbeda dengan presepsi yang lain. Dan ketika saya mengucapkan kata dungu, masarakat akan memahaminya.

Saya pertama kali mendengar kata "dungu" diucapkan dalam diksi yang serius dari Rocky Gerung, yang pada waktu itu disebut sebagai profesor dari UI oleh Karni Ilyas. Seiring dengan waktu kata-kata itu sudah terlupakan sampai kemudian, seseorang yang juga dari UI menggunakan kata dungu untuk Din Syamsyudin. Apakah ini sebuah cerminan demokrasi yang kita harapkan saat reformasi digulirkan?? Mungkin juga demokrasi yang baik seperti itu, di mana ada kebebasan untuk menyebut seseorang dengan bahasa yang kasar dan jika orang tersebut tidak suka bisa memaki atau menepuh jalur hukum.

Demokrasi yang sesak dengan caci maki. Buka saja medsos, caci maki akan segera tercermin, kadal gurun, cebong, ajing peking, babi, kafir, bodoh, plonga plongo, boneka, penjilat dan berbagai diksi yang saling merendahkan. 

Pada saatnya nanti, caci maki itu akan terbiasa diucapkan sebagai sesautu yang wajar. Bahkan dianggap sebagai tegur sapa dalam menyampaikan pemikiran.

Jika bahasa menunjukkan bangsa seseorang. Rasanya caci maki bisa menunjukkan tingkat "kebangsaan" seseorang. Pemahaman peradaban dan sikap penghargaan atau penghormatan terhadap orang lain.

Bisa jadi, bahasa kita nanti akan akrab dengan kata dungu untuk menyebut seseorang yang pola pemikiran menurut kita tidak benar. Seorang siswa kecewa dengan logika yang dibangun guru, akan membuat diksi "guruku dungu". Dan sang guru tidak boleh marah, karena dungu telah menjadi bagian dari ekspresi budaya kita. Kebebesan dalam berbicara.

Puncak dari demokrasi adalah penghargaan perbedaan, ada kecerdasan dalam mengkritik, memilih kata yang baik, bisa jadi sebuah pilihan kata penuh metafora.

Tapi bisakah sebuah negara mencapai puncak demokrasi ?? Amerika Serikat yang dianggap sebagai mayong demokrasi menampilkan kekonyolan yang memuakkan. Setiap pemilihan presiden, kata-kata yang saling serang secara terbuka ditampilkan. Itulah wajah demokrasi ?? apalagi saat ini negeri Mr Trump itu terjebak dalam isu rasisme.

Untuk kebaikan demokrasi di negara kita. Kita rasanya harus membiasakan caci maki, biarlah diksi cebong dan kampret, dungu dan plonga plongo menjadi saksi bagi kebebasan berpendapat. 

Kita tidak perlu tipis telinga kita. Jika ada yang menyebut kita dungu, kadal gurun, cebong, atau bisa tikus got, terimalah dengan rasa penuh syukur bahwa negeri kita sudah pada level demokrasi yang tinggi. Akhirnya kata-kata itu hanya akan menjadi kata-kata yang tak lagi bermakna. Karena sudah terbiasa diucapkan. 

Ibarat cacing yang nyaman tinggal di kotoran babi. Sehingga ia tidak ingin meninggalknnya walau ada banyak sahabatnya mengajak keluar dari kotoran babi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun