Mohon tunggu...
Mochamad Faizal Rizki
Mochamad Faizal Rizki Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumnus Magister Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Terjadi Jika Bank Century Tidak Dibailout?

8 April 2014   00:57 Diperbarui: 8 Desember 2015   13:56 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Bank Indonesia dan  Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mengeluarkan kebijakan bailout kepada Bank Century menuai kontrovesi yang tidak berujung. Persoalan Bank Century sebenarnya mencuat ke publik sejak di bentuknya Panitia Khusus (selanjutnya disebut Pansus) Angket Bank Century membuat kasus tersebut semakin kabur dan tidak jelas kemana arahnya (Okezone.com). Secara politik, kasus bail-out Bank Century telah dinyatakan DPR RI sebagai penyimpangan. Keputusan tersebut diambil pada 3 Maret 2010 dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dengan melalui sebuah proses voting terbuka. Sebanyak 315 anggota DPR menyetujui opsi C yang menyatakan proses pemberian FPJP dan Bailout pada Bank Century menyimpang, mengalahkan 212 anggota DPR pendukung opsi A yang menganggap tidak ada persoalan pada proses tersebut.

Hingga saat ini antara pihak pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya kebijakan bailout Bank Century masih menjadi perdebatan panjang. Bagi pihak yang pro keputusan untuk membailout Bank Century merupakan salah satu alternative dari beberapa kebijakan guna mencegah kerusakan perekonomian nasional yang lebih parah lagi akibat Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Bagi pihak yang kontra bailout Bank Century dianggap menyimpang.

Beberapa pihak mempertanyakan banyak hal. Dimulai dari tidak adanya criteria terukur tentang dampak sistemik, apa dasar penilaian Bank Century sebagai bak gagal berdampak sistemik sehingga perlu di selamatkan? Adakah motif dibalik penyelamatan bank Century ? Sampai dengan mempermasalahkan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak transparan, karena KSSK tidak berkonsultasi dulu dengan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pandangan negatif lainnya adalah KSSK dianggap bertanggung jawab atas penyaluran dana penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century.

Untuk itu mari kita telaah, apakah keputusan penyelamatan Bank Century merupakan kebijakan terbaik dari alternative-alternatif kebijakan yang ada mengingat pada saat itu (2008) dunia sedang mengalami depresi ekonomi yang luar biasa.

 

Krisis Finansial Global 2008 Menjalar Ke Seluruh Dunia

 

Selama bertahun-tahun orang Amerika hidup dengan kemudahan kredit, baik itu kredit kendaraan, perumahan dan konsumsi lainnya. Hal inilah yang pada puncaknya memicu terjadinya kegagalan pembayaran kredit perumahan atau yang  dinamakan sub prime mortgage default. Kreditur di Amerika Serikat selama ini memberikan kredit dengan sangat mudah kepada masyarakat tanpa melihat kemampuan bayar dan collateral yang dimiliki.

Salah satu contoh adalah perusahaan bernama Lehman Brothers yang menjalankan praktek agen atau perantara dengan menyalurkan dana dari mereka yang mempunyai kelebihan uang kepada penduduk calon debitur sub prime mortgage di sector property. Raksasa keuangan AS ini akhirnya tumbang setelah mengalami kesulitan ketika para debitur kredit pemilikan rumah satu per satu tidak sanggup lagi membayar bunga dan angsuran pokok kredit pemilikan rumah mereka.

Meski sempat dilakukan penyelamatan oleh otoritas moneter berdasarkan opsi Chapter 11 Protection, namun  lembaga keuangan non bank raksasa yang berdiri sejak 1847 mengumumkan kerugian secara bertahap sebelum akhirnya tidak berhasil tertolong dan dinyatakan bangkrut (Mirhad: 2014).

Kebangkrutan Lehman Brothers ini tidak berhenti sampai di situ namun menjadi efek domino kemudian berimbas ke pelemahan sektor riil ditandai kebangkrutan dan kekacauan berbagai perusahan besar di AS seperti General Motors, Ford, Chrysler yang terpaksa memutuskan kelangsungan kerja ribuan karyawannya. Tidak hanya mengakibatkan resesi di Amerika Serikat tetapi juga mengakibatkan resesi global. Resesi pada tahun 2008 dianggap oleh berbagai kalangan sebagai resesi yang lebih besar daripada depresi ekonomi1930-an.

Krisis perbankan di Eropa ditandai dengan permasalahan sebuah bank swasta berukuran kecil di Inggris yaitu Northern Rock. Walaupun kecil, bank ini jadi sorotan publik ketika terjadi gonjang-ganjing krisis pada waktu itu. Perlu dicatat bahwa dalam keadaan normal, bank ini tidak masuk kategori bank berdampak sistemik (systemically important bank). 

Penarikan dana besar-besaran yang dilakukan oleh para nasabahnya memicu sentimen negatif di pasar. Antrian panjang nasabah yang ingin menarik dananya dari bank ini disiarkan oleh berbagai stasiun TV di dunia. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, Inggris mengalami kekacauan perbankan.

Meskipun sudah diberikan pinjaman darurat pada 13 September 2007 oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England), Northern Rock akhirnya di- nasionalisasi pada 17 Februari 2008, semata-mata demi menghindari kerusakan yang lebih luas terhadap perekonomian di Inggris. Sejak kejadian itu, beberapa bank di Inggris juga di-nasionalisasi. Pemerintah mengambil sebagian porsi saham di bank-bank swasta tersebut sebagai bagian dari program rekapitalisasi. Kasus Northern Rock ini menjadi pelajaran berharga, bahwa sesungguhnya, sekalipun bank itu berukuran kecil, apabila tidak diselamatkan, bank tersebut dapat menimbulkan dampak sistemik terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. (sumber: Reflections on Modern Bank Runs: A Case Study of Northern Rock, Hyun Song Shin, Princeton University, August 2008)  

Di Indonesua, sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global, Indonesia pasti tidak luput dari tekanan dan  ancaman krisis tersebut. Tekanan dan ancaman krisis tersebut ditandai dengan kondisi-kondisi seperti : 

  1. Situasi pasar keuangan pada Q-IV/2008 tertekan tajam, sebagai reaksi terhadap berita negatif pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga- lembaga keuangan global lainnya.
  2. Pasar modal domestik mengalami gejolak dan harga saham terjun bebas, yang ditunjukkan dengan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) secara tajam yakni dari 2830 pada tanggal 9 Januari 2008 menjadi 1155 pada tanggal 20 November 2008 atau menurun lebih dari 50%. Secara individu beberapa perusahaan besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri mengalami penurunan nilai kapitalisasi pasar yang sangat besar.
  3. Tekanan yang sangat hebat terjadi di pasar Surat Utang Negara/SUN, yang tercermin dari kenaikan yield atau penurunan  harga SUN Rupiah yang sangat tajam. Yield SUN naik dari awal tahun rata-rata 10% menjadi rata-rata 20%  pada bulan Oktober 2008 dan 17% pada bulan November 2008. Kenaikan yield akan meningkatkan biaya utang secara signifikan dalam APBN karena setiap kenaikan 1% (100bps) akan mengakibatkan tambahan biaya utang sekitar Rp 1 triliun.
  4. Credit Default Swap (CDS) Indonesia meningkat tajam. Ini mengindikasikan risiko (country risk) Indonesia sedang tinggi.
  5. Kelangkaan dan kesulitan likuiditas di pasar keuangan, yang menyebabkan pinjaman antar bank tidak jalan, kepanikan para pelaku pasar, dan kepercayaan antar pelaku di pasar uang semakin rendah. Keadaan ini mendorong mereka mencari asset atau lokasi yang paling aman untuk berinvestasi, yang berimbas pada pelarian dana ke luar negeri (capital flight).
  6. Cadangan devisa turun 12% dari USD 57.11 milyar per September 2008 menjadi USD 50.18 milyar per November 2008.
  7. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.393 per Januari 2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas tinggi.
  8. Depresiasi Rupiah yang sangat tajam mengakibatkan investor asing melakukan ‘redemption’ atau melepas /menjual SUN dalam jumlah cukup besar  sekitar Rp20 triliun dalam periode Agustus – November 2008.
  9. Banking Pressure Index (dikeluarkan Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) masuk ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan terhadap sistem perbankan yang cukup tinggi dan potensi terjadinya kegagalan (default) yang sangat besar. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Kedua indikator ini menunjukkan sistem perbankan dan sistem keuangan nasional dalam keadaan genting.
  10. Terdapat potensi capital flight yang besar dari para deposan bank. Ini karena di Indonesia tidak ada sistem penjaminan nasabah bank secara penuh (full guarantee) seperti yang sudah diterapkan Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan, Korea, serta Uni Eropa. (Buku Putih DepKeu: 2010)

 

Berdasarkan fakta-fakta tersebut apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah ? Thomas R Dye (1987) seorang ahli kebijakan publik mengatakan bahwa kebijakan publik adalah whatever governments choose to do or not to do. Kebijakan negara menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan pemerintah, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Namun ketika pemerintah mengambil keputusan terhadap suatu alternative kebijakan ia dipersoalkan. Lalu bagaimana bila ia sama sekali tidak mengambil suatu tindakan apapun meskipun dihadapannya terdapat potensi kerusakan yang lebih besar lagi. Apakah sikap pemerintah untuk choose not to do juga akan dipersoalkan ketika perekonomian nasional hancur lebur seperti pengalaman ketika krisis 1997-1998 ?

 

Penyelamatan vs Penutupan Century

 

Dalam situasi yang sangat genting di tengah-tengah ancaman krisis global. Pemerintah dalam hal ini BI dan KSSK sebagai otoritas yang berwenang. Membaca dan menganalisis informasi yang beredar meskipun dalam keterbatasan yang ada namun keputusan harus segera ditetapkan.

Denni P Purbasari Ekonom UGM dalam sebuah diskusi di Jakarta mengatakan dalam menentukan kebijakan dalam menghadapi krisis ekonomi, Biasanya ekonom memang menggunakan data-data yang sifatnya kuantitatif untuk kemudian mengambil suatu kesimpulan mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan perekonomian.

Ketika bicara dengan perekonomian, kita perlu menelaah bahwa krisis yang menghantam tahun 2008 itu terjadi pada pasar finansial, oleh karena itu, maka data yang harus dilihat pun adalah data finansial bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi. Bila berbicara mengenai data finansial, maka yang harus dilihat adalah karakteristik dari pasar finansial itu. Bahwa pasar finansial itu operasinya 24 jam 7 hari dalam satu minggu.

Oleh karena itu bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi yang dijadikan tujuakan . Karena data-data tersebut semua berada di sektor riil yang mana pelaporannya dilakukan per-kuartal sekali dengan leg bisa sampai sekali dalam dua bulan. Di era informasi dan teknologi yang pesat perubahan di pasar finansial terjadi dalam hitungan detik. Untuk itu berkaca pada pengalaman negara-negara yang tengah diterjang krisis financial, keputusan cepat dan tepat harus segera diambil.

Dalam kasus Bank Century, kita perlu melihat apakah keputusan bailout tersebut dialamatkan untuk menyelamatkan sebuah bank bobrok ataukah menyelamatkan system perekonomian nasional secara keseluruhan? Bank Century bisa saja ditutup apabila pada saat itu pemerintah melaksanakan blanket guarantee yang memberikan jaminan pelindungan dana nasabah secara penuh guna menghindari dampak psikologis nasabah untuk menarik dananya.

Terdapat kesalahan persepsi secara umum bahwa seolah-olah penutupan Bank Century tidak membutuhkan ongkos sama sekali, sementara ongkos penyelamatan menelan dana Rp 6,7 triliun yang dinilai sebagai kerugian negara. Padahal, sesungguhnya ongkos penutupan akan menelan dana sekitar Rp 6,4 triliun, yaitu untuk penggantian dana nasabah yang dijamin oleh pemerintah (maksimum Rp 2 miliar) (notulen rapat KSSK, 13 November 2008). Karena itu, jika Bank Mutiara bisa dijual dengan harga tinggi, maka sudah pasti ongkos penyelamatan akan menjadi lebih murah ketimbang penutupan (Katadata Research: 2014).

Akuntan senior dan mantan anggota Dewan Audit Bank Indonesia Ahmadi Hadibroto menyatakan bahwa kerugian negara yang dinyatakan BPK sebesar Rp 7,45 triliun belum terjadi dalam kasus Bank Century. Alasannya, dana penyertaan modal Rp 6,76 triliun yang dikucurkan ke bank itu hingga kini tercatat di pembukuan sebagai bagian dari aset perusahaan. Sementara, bank ini pun hingga kini masih sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah

Kemudian dalam sebuah berita dikatakan konsorsium pemegang saham PT Citra Marga Nushapala Persada Tbk (CMNP) telah mengajukan penawaran untuk mengakuisisi 99,9 persen saham PT Bank Mutuara Tbk (BCIC) milik lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Konsorsium itu siap membeli Bank Mutiara senilai Rp 8 triliun atau melebihi target minimal divestasi sebesar Rp 6,7 triliun. Apabila hal tersebut terealisasi, lalu dimana letak kerugian negara?

Bukankah keputusan pemerintah untuk choose to do daripada not to do sudah tepat ? Yakni guna menghindari dampak krisis global yang lebih besar lagi ? Lalu bagaimana sikap kita sebagai rakyat melihat para pengambil kebijakan yang kini dipolitisasi, dimana sebenarnya mereka memiliki kewenangan yang sah dan bertanggungjawab penuh atas sistem perekonomian kita. Peristiwa ini setidaknya harus menjadi refleksi kita bersama sebagai persiapan dalam menghadapi berbagai krisis yang berpotensi akan melanda dimasa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun