Di kos lantai 2 pada malam menjelang pagi, rekan se kamar di kos yang belum merdeka melontarkan sebuah pertanyaan yang seharusnya tak mungkin saya jawab. Sambil menghadap laptop kusutnya, ia sengaja menanyakan tentang skripsinya yang belum kelar.
" Aku sudah seminar proposal, tapi kok otakku tambah mbulet ngene." katanyaÂ
Akupun menyahutinya dengan sedikit memberikan masukan, maksudku agar ia bisa lebih semangat dalam mengerjakan skripsinya.
" Lanjut, boy. Seminar proposal itu gerbang. ibarat kalo jaman angling dharma, ente harus nglewati gerbang malowopati yang di jaga pasukan elitenya." kataku.
Ia pun merasa, kalau proses yang dilaluinya saat ini merupakan tingkatan yang  begitu sulit dan penuh dengan terpaan. Bagaimana tidak, karier yang sudah ia jajaki sejak sekolah SMA hingga saat ini tengah mencapai tahap merasakan dari susah payah di awal. Memang, sedari kecil teman se kos saya ini merupakan seorang pekerja keras. Sejak SMA, ia sudah getol bekerja. Apapun yang ia kerjakan, selalu membawa kemajuan dalam proses hidupnya.
Mulai dari berjualan keliling pernah ia lakoni agar tetap bisa menempuh pendidikan yang setara. Hingga akhirnya, ia menentukan pilihannya untuk masuk ke dunia perkuliahan. Dimana dalam perkuliahan, belum tentu bidang jurusan kita nantinya merupakan lahan pekerjaan bagi masa depan kita.
Saat ini, rekan saya, sebut saja namanya Asoyy, tengah bekerja menjadi seorang supervisor di sebuah toko ritel terkemuka seantero indonesia. Tak main-main, dalam satu bulan gajinya setara dengan I phone 7 s. Bukankah seorang mahasiswa yang nyambi kerja, dengan penghasilan semacam itu adalah sebuah kecukupan yang hqq. Dengan gaji setara i phone 7 s, setidaknya tak bakalan ada menu indomie dalam kamusnya. yang ada mungkin menu ayam-bebek tiap harinya. Tapi kadang di ganti nasi bungkus, sebab perlu tabungan untuk nikah juga.
Dalam dialog pendeknya dengan saya, ia berpikir untuk resign dari pekerjaannya saat ini. Sontak saya berkata, " lha, kamu ndak eman to kalo resign dari pekerjaan sekarang."
" Pekerjaan bisa dicari lagi nanti, 6 tahun lebih pengalaman kerjaku masak ndak bisa dipakek." jawabnya dengan nada rendah.
Saya pun memahami, bagaimana kondisi seorang mahasiswa yang tengah di kebut dengan skripsi. Prediksi saya, jika saja kepalanya transapran mungkin saya akan melihat selaput otaknya yang njelimet macam benang yang bercampur. Tapi, ia masih terus meyakini, kalau tenggat waktu 2 bulan yang di berikan bisa selesai. Namun, tetap saja, dimanan ada keyakinan kuat di situ pasti ada setan yang berusaha untuk menggoyahkan imannya.
Akhirnya, ia pun lebih memilih untuk memesan mie setan lewat aplikasi go-food. Pikir saya, karena terlalu tingginya tingkat stress yang dimiliknya sehingga membuatnya untuk melampiaskan hasratnya kepada mie setan dengan level tertinggi. Tak lama kemudian, ponselnya berdering pertanda pesanannya telah tiba. Saat kembali ke kamar, ia malah mengungkapkan," Jadi go-jek kok kelihatanya tebel banget dompetnya." lontarnya. Dalam hatipun saya menjawab yang ia katakan, kecukupan seorang mahasiswa bukan di lihat dari seberapa tebal dompetnya. Namun, kecukupan manusia terletak pada ketahanannya dalam mengerjaan skripsinya.
Kalau kurang memahami kalimat terakhir, itu pertanda bahwa anda telah memasuki masa di mana kelopak mata anda sudah semakin berat dan ingin terlelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H