Mohon tunggu...
Eko Nur Syahputro
Eko Nur Syahputro Mohon Tunggu... Sales - Karyawan, Nulis kalo sudah pulang

Kerja dulu di kantor, nulisnya nanti kalo sudah pulang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jihad Literasi

26 Mei 2016   06:50 Diperbarui: 26 Mei 2016   07:46 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pepatah berkata “Buku adalah jendela dunia” dengan membaca kita bisa mengerti gagasan yang dituliskan oleh orang lain. Dengan memiliki kebiasaan membaca buku secara rutin berarti kita memiliki keistimewaan, kita memiliki imajinasi yang luar biasa dari orang yang tak pernah membaca, begitu pungkas kata Aan mansyur dalam serial talkshow Mata Najwa. Di awal masa penjajahan penduduk Indonesia mayoritas buta aksara, mereka tak mengerti huruf yang sekarang kita gunakan sehari-hari dalam membaca dan menulis. Namun saat ini, status buta aksara telah tiada, dan berganti dengan status melek aksara.

Tak mudah upaya merubah hal tersebut, berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah dalam mencerdaskan generasi bangsa. Melalui regulasi, pemerintah mencanangkann wajib belajar 9 tahun pada awalnya, dengan harapan melalui pendidikan masyarakat bisa memutus rantai keimiskinan yang tengah menghantui negara. Tak cukup dengan hal itu, di Jawa Timur misalnya, pemerintah setempat menggenjot bukan hanya 9 tahun wajib belajar, namun ditambah menjadi 12 tahun wajib belajar, dengan harapan seluruh anak-anak Indonesia memiliki hak yang sama, yakni hak untuk memperoleh pendidikan di bangku sekolah.

Serasa tak ada habisnya bilamana bercerita tentang pendidikan. Beribu-ribu orang telah bergerak hatinya dalam turut serta membantu negara dalam menyamaratakan pendidikan yang tak bisa dijangkau oleh pemerintah. Salah satunya apa yang diinisiasi oleh butet manurung, seorang perempuan yang rela meninggalkan kehidupan yang mewah di kota, demi mengajarkan cara membaca dan menulis bagi orang yang tinggal di pedalaman hutan Sumatera. Dalam aksinya ia mendirikan Sokola Rimba, dimana berdirinya sekolah tersebut dilatar belakangi atas rasa keprihatinanya dengan keadaan suku anak dalam(baca:orang rimba) yang tak bisa membaca dan menulis.

Kesulitan semacam itu tentunya sangat menyulitkan orang rimba untuk berkomunikasi dengan masyarakat lainnya, tatkala bila mereka harus beberapa kali ke kota untuk membeli barang-barang yang mereka butuhkan. Orang rimba sendiri merupakan penghuni dari Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBDB). Dimana Taman Nasional tersebut dilindungi oleh Keberadaanya, letaknya di pulau Sumatera berdekatan dengan Kota Jambi. Meskipun Taman Nasional Bukit Dua Belas merupakan hutan konservasi, keberadaan orang rimba disana guna menjaga ekosistem dari hutan. Kabarnya hutan tersebut kerap terjadi illegal logging (baca:penebangan liar), oleh karena itu dengan mengajari orang rimba membaca dan menulis sejatinya mampu memberikan pengaruh bagi kelangsungan hidup mereka. Agar dikemudian hari mereka tidak terus mendapat perlakuan yang merugikan kehidupan mereka.

Lain tempat tentu lain ceritanya, rendahnya minat baca masyarakat membuat seorang Ridwan alimuddin berpikir bagaimana caranya ia bisa merubah hal tersebut. Bertempat tinggal di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat tak membuat ia berat hati untuk mengerakkan kampanye literasi. Berawal dari data yang telah dirilis UNESCO pada tahun 2012 menngungkapkan bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia ialah 0,001. Artinya , dari 1000 orang yang dikumpulkan hanya ada 1 orang yang mempunyai minat baca. Tinggal kita samakan bila sekarang jumlah penduduk Indonesia mencapai 250 Juta jiwa, berarti hanya 250 Ribu orang yang memiliki minat baca. Belum lagi riset yang dikemukakan oleh UNDP bahwasanya angka melek huruf orang dewasa di Indonesia berada pada kisaran 65,5 persen, sebagai pembanding negara tetangga Malaysia angka melek huruf orang dewasa mencapai 86,4 persen.

Lantas, dengan data tersebut apa yang mampu kita lakukan?. Tak lama dengan bantuan rekan-rekanya Ridwan alimuddin menggagas adanya Perahu pustaka. Dimana dalam perahu tersebut terdapat buku-buku yang tersusun rapi, dan bisa dibaca kapanpun bilamana perahu tersebut berkunjung. Biasanya perahu yang dibawa oleh ridwan sendiri akan berkunjung ke berbagai pulau yang sulit diakses oleh kendaraan darat. Dengan adanya perahu pustaka jaringan informasi dalam buku akan mudah diakses oleh para pembacanya meskipun berada di daerah terdepan,terluar dan terbelakang di Republik ini. Perjalanan perahu pustaka tak semulus yang kita bayangkan, beberapa bulan silam perahu pustaka terbalik pasca pulang dari Festival Sungai di daerah mandar. Alhasil,ratusan buku yang ada di dalam perahu basah, untungnya bisa beberapa buku bisa diselamatkan  kemudian dikeringkan dengan menyeterika bagian dalam buku-buku tersebut.

Sementara di bagian pula jawa ada yang lebih ekstrem lagi, biasa di sebut Kuda Pustaka. Di balik perjalanannya ada seorang Ridwan sururi yang mengkomandoi berjalannya Kuda Pustaka. Awalnya pak ridwan sururi merupakan seorang tukang ojek kuda,(bahkan sampai sekarang) diselang-selang waktu kosongnya beliau merasa terpanggil untuk memberikan bahan bacaan bagi anak-anak yang berada di kaki gunung Slamet tepatnya di daerah purbalingga, Jawa Tengah. Buku-buku yang beliau bawa merupakan donasi dari beberapa orang yang rela menyumbangkan bukunya. Baginya, hal semacam ini merupakan kebanggan selain ia mendapat pahala, ia juga mampu berbagi kebahagian dengan meminjamkan buku-buku yang ia bawa bersama Luna. Luna merupakan kuda yang diberi nama oleh pak ridwan lantaran kecantikan dari kuda yang bisa dibilang mirip dengan artis luna maya, gumamnya dalam serial talkshow tv swasta.

Jika harus bercerita satu persatu tentunya banyak sekali komunitas-komunitas literasi yang tengah bergerak dalam membantu pemerintah untuk mengentaskan rendahnya minat baca. Sebagai seorang muslim tentunya, apakah kita lupa bahwa wahyu allah yang pertama kali diturunkan ke nabi Muhammad ialah perintah iqra’(Qs Al-alaq : 1). Apa tidak malu sebagai seorang muslim tapi kita tidak pernah membaca, kita tidak pernah menulis. Apa yang bisa kita tinggalkan pada generasi-generasi nanti selain buah pemikiran dan gagasan dalam bentuk tulisan.

Lantas Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Meningkatkan Budaya Literasi ?

Berbagai upaya dan pemikiran tentunya harus kita gerakkan dalam meningkatkan budaya literasi yang saat ini tengah menjadi pembahasan bagi para pegiat literasi. Bermacam-macam upaya digunakan untuk mendekatkan manusia dengan buku. Beberapa orang menganggap buku di perpustakaan merupakan barang yang sakral untuk disentuh, bahkan untuk dibawa kemana kita akan pergi. Di saat ini kita hidup di mana masyarakat sangat bangga ketika bisa memakai kartu kredit, daripada memakai kartu perpustakaan. Kita hidup di era orang tua lebih gemar mengajak anak-anaknya untuk belanja ke Mall, daripada mengajaknya ke Toko buku. Di kota-kota besar kita lebih sering melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi, namun hanya diisi dengan kegiatan perkantoran, perbelanjaan, dan hiburan-hiburan. Jarang sekali kita temui deretan buku yang terpampang rapi dalam sebua rak Toko buku.

Menyedihkan, bahkan sangat ironis bilamana generasi setelah kita nantinya tak mengenal siapa itu Andrea Hirata, siapa itu Butet Manurung dan para penulis-penulis buku lainnya. Sebuah kabar baik terdengar, pasca Konferensi Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Surabaya, dalam rangkaiannya mengesahkan bahwasannya Jihad Literasi merupakan isu-isu yang menjadi prioritas Gerakan Nasional. Selian itu Jihad Literasi juga merupakan gagasan yang harus segera di garap oleh generasi-generasi muda agar nantinya masalah literasi ini tidak semakin terpuruk, tapi mampu meningkat minat baca dan tulisnya sehingga kelak menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang literasi. Setidaknya ada beberapa poin yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan Budaya literasi bagi bangsa ini.

Membiasakan Membaca 15 Menit sebelum pelajaran dimulai

Saat saya duduk di bangku sekolah SD-SMA saya tak pernah berinteraksi dengan buku-buku Novel, atau cerita pendek tentang kisah majapahit atau yang lainnya. Saya hanya dicekoki dengan buku-buku diktat yang  saya rasa itu sangat formal dan membosankan. Semasa sekolah hamper tak pernah saya membaca karya chairil anwar yang masyhur itu, saya tak mengerti bagaimana taufik ismail menuliskan sajak-sajaknya yang begitu menawan. Deretan soal-soal yang begitu membosankan selalu menemani saya ketika duduk di bangku sekolah.

Sebuah strategi yang indah nan menawan tentunya ketika Mendikbud Anies Baswedan mengerahkan seluruh sekolah-sekolah untuk membaca buku bebas yang memiliki nilai positif tentunya, 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Setidaknya hal semacam ini mampu menumbuhkan kecintaan siswa terhadap buku, agar nantinya kecintaan siswa terhadap buku tidak hanya di sekolah, namun mereka bisa lebih erat lagi dengan buku dimanapun mereka berada.

Membiasakan dengan membawa buku bacaan kemanapun pergi

Tak mungkin rasanya bila apa yang kita bawa nantinya bakalan tidak kita lihat, ataupun kit abaca. Dari berbagai aktivitas yang kita jalani misalnya, ada banyak waktu yang senggang dan seringkali tidak kita manfaatkan secara efektif. Misalnya saat kita dalam perjalanan menggunakan transportasi umum. Alangkah baiknya waktu tersebut kita gunakan untuk membaca beberapa halaman buku yang telah kita bawa dari rumah tadi.

Tak hanya membaca, waktu yang luang seperti halnya dalam perjalanan bisa kita gunakan untuk menulis, entah itu untuk menulis diary kita ataupun reportse tentang kegiatan yang telah kita lakukan. Sejatinya membaca adalah menanam, menulis adalah memanen. Tanpa membaca kita kesulitan bahan untuk menulis, karena membaca merupakan sebuah nutrisi bagi otak manusia, tanpa membaca orang tak akan tau apa yang terjadi diseberang dunia sana.

Mengerakkan hati kita untuk membantu komunitas Literasi

Tentunya mereka yang berjuang untuk mengkampanyekan literasi akan melewati jalan yang berliku-liku dan penuh dengan perjuangan yang keras. Dalam perjuangan awal ketika saya memulai membuka perpustakaan jalanan tepatnya di area car free day bungkul, tak kurang banyak sekali hambatan yang saya temui. Di awal beberapa kali saya membuka lapak di area tersebut, saya selalu diusir oleh Satpol PP. Saya dikira akan menjual buku bagi orang-orang yang tengah lalu lalang di sepanjang jl darmo. Hampir 2 jam, saya kesana-kemari untuk mencari tempat guna menggelar 3 dus buku yang saya sodorkan bagi para pembaca di area car free day tersebut. Setelah menemukan tempat yang pas, mulailah kami menggelar buku yang kami bawa ke sebuah tikar, kami tata satu persatu dengan memperlihatkan judul bukunya. Kami merasa lega tatkala seseorang datang mengunjungi kami lantaran, melihat-lihat apa yang kita lakukan. Bahkan ada yang sampai bertanya berapa harga buku-buku yang kita jual. Dengan gembira kami menyampaikan bahwa buku yang ada disini bukan untuk dijual, melainkan untuk dibaca secara gratis.

Selain itu, hal serupa juga di gagas oleh kawan-kawan yang berada di Kabupaten Gresik. Terkumpul dalam kesatuan yang diberi nama “Oemah Boekoe” mereka melakukan aksi dengan memnggelar lapak baca buku gratis yang dinamai Book on the street (BOTS). Sebuah dukungan yang kuat dari seorang alumni yang mampu meminjami rumah beserta isinya guna dijadikan pusat kegiatan peningkatan budaya literasi di kawasan gresik. Seluruh kegiatan diatas tentunya tak lepas dari inspirasi dan dorongan yang kuat dari sebuah kumpulan pemuda yang peduli akan nasib generasinya. Di himpun dalam sebuah Rumah yang dikenal dengan nama RBK (Rumah Baca Komunitas), merupakan sebuah gagasan nyata bagi negeri ini setidaknya untuk membantu pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang handal. ROTS (Rbk On The Street) merupakan perpustakaan jalanan yang berada di alun-alun kidul Yogyakarta setiap hari minggu pagi.

Dengan demikian, perjuangan untuk menumbuhkan budaya literasi tentunya akan menemui jalan yang panjang nan melelahkan. Uluran tangan dan bantuan baik secara moriil maupun financial akan menjadikan para pegiat literasi lebih hidup. Terkadang dalam membiayai operasional, mereka harus memutar otak. Berjualan merchandise, dan melakukan fundrising adalah kebiasan yang harus mereka laksanakan untuk memenuhi kebutuhan operasional komunitas. Karena sejatinya gerakan ini mandiri, tanpa ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

Oleh karena itu, melihat realita yang terjadi pada masyarakat belakangan ini tentunya mampu menjadikan kita berfikir kembali dan berrefleksi sejenak atas apa yang telah kita lakukakan apakah sudah bermanfaat atau belum. Sejatinya bila kita belum bisa berperan secara aktif dalam mendrong sebuah perubahan, tentunya kita mampu terlibat di dalamnya dengan menjadi bagian dari keluarga pegiat literasi. Dengan menjadi donator misalnya, menysisihkan sebagian rezeki yang telah kita dapat untuk membantu mereka yang berjuang di medan Jihad literasi.

Wallahu a’lam bis shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun