Membiasakan Membaca 15 Menit sebelum pelajaran dimulai
Saat saya duduk di bangku sekolah SD-SMA saya tak pernah berinteraksi dengan buku-buku Novel, atau cerita pendek tentang kisah majapahit atau yang lainnya. Saya hanya dicekoki dengan buku-buku diktat yang saya rasa itu sangat formal dan membosankan. Semasa sekolah hamper tak pernah saya membaca karya chairil anwar yang masyhur itu, saya tak mengerti bagaimana taufik ismail menuliskan sajak-sajaknya yang begitu menawan. Deretan soal-soal yang begitu membosankan selalu menemani saya ketika duduk di bangku sekolah.
Sebuah strategi yang indah nan menawan tentunya ketika Mendikbud Anies Baswedan mengerahkan seluruh sekolah-sekolah untuk membaca buku bebas yang memiliki nilai positif tentunya, 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Setidaknya hal semacam ini mampu menumbuhkan kecintaan siswa terhadap buku, agar nantinya kecintaan siswa terhadap buku tidak hanya di sekolah, namun mereka bisa lebih erat lagi dengan buku dimanapun mereka berada.
Membiasakan dengan membawa buku bacaan kemanapun pergi
Tak mungkin rasanya bila apa yang kita bawa nantinya bakalan tidak kita lihat, ataupun kit abaca. Dari berbagai aktivitas yang kita jalani misalnya, ada banyak waktu yang senggang dan seringkali tidak kita manfaatkan secara efektif. Misalnya saat kita dalam perjalanan menggunakan transportasi umum. Alangkah baiknya waktu tersebut kita gunakan untuk membaca beberapa halaman buku yang telah kita bawa dari rumah tadi.
Tak hanya membaca, waktu yang luang seperti halnya dalam perjalanan bisa kita gunakan untuk menulis, entah itu untuk menulis diary kita ataupun reportse tentang kegiatan yang telah kita lakukan. Sejatinya membaca adalah menanam, menulis adalah memanen. Tanpa membaca kita kesulitan bahan untuk menulis, karena membaca merupakan sebuah nutrisi bagi otak manusia, tanpa membaca orang tak akan tau apa yang terjadi diseberang dunia sana.
Mengerakkan hati kita untuk membantu komunitas Literasi
Tentunya mereka yang berjuang untuk mengkampanyekan literasi akan melewati jalan yang berliku-liku dan penuh dengan perjuangan yang keras. Dalam perjuangan awal ketika saya memulai membuka perpustakaan jalanan tepatnya di area car free day bungkul, tak kurang banyak sekali hambatan yang saya temui. Di awal beberapa kali saya membuka lapak di area tersebut, saya selalu diusir oleh Satpol PP. Saya dikira akan menjual buku bagi orang-orang yang tengah lalu lalang di sepanjang jl darmo. Hampir 2 jam, saya kesana-kemari untuk mencari tempat guna menggelar 3 dus buku yang saya sodorkan bagi para pembaca di area car free day tersebut. Setelah menemukan tempat yang pas, mulailah kami menggelar buku yang kami bawa ke sebuah tikar, kami tata satu persatu dengan memperlihatkan judul bukunya. Kami merasa lega tatkala seseorang datang mengunjungi kami lantaran, melihat-lihat apa yang kita lakukan. Bahkan ada yang sampai bertanya berapa harga buku-buku yang kita jual. Dengan gembira kami menyampaikan bahwa buku yang ada disini bukan untuk dijual, melainkan untuk dibaca secara gratis.
Selain itu, hal serupa juga di gagas oleh kawan-kawan yang berada di Kabupaten Gresik. Terkumpul dalam kesatuan yang diberi nama “Oemah Boekoe” mereka melakukan aksi dengan memnggelar lapak baca buku gratis yang dinamai Book on the street (BOTS). Sebuah dukungan yang kuat dari seorang alumni yang mampu meminjami rumah beserta isinya guna dijadikan pusat kegiatan peningkatan budaya literasi di kawasan gresik. Seluruh kegiatan diatas tentunya tak lepas dari inspirasi dan dorongan yang kuat dari sebuah kumpulan pemuda yang peduli akan nasib generasinya. Di himpun dalam sebuah Rumah yang dikenal dengan nama RBK (Rumah Baca Komunitas), merupakan sebuah gagasan nyata bagi negeri ini setidaknya untuk membantu pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang handal. ROTS (Rbk On The Street) merupakan perpustakaan jalanan yang berada di alun-alun kidul Yogyakarta setiap hari minggu pagi.
Dengan demikian, perjuangan untuk menumbuhkan budaya literasi tentunya akan menemui jalan yang panjang nan melelahkan. Uluran tangan dan bantuan baik secara moriil maupun financial akan menjadikan para pegiat literasi lebih hidup. Terkadang dalam membiayai operasional, mereka harus memutar otak. Berjualan merchandise, dan melakukan fundrising adalah kebiasan yang harus mereka laksanakan untuk memenuhi kebutuhan operasional komunitas. Karena sejatinya gerakan ini mandiri, tanpa ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
Oleh karena itu, melihat realita yang terjadi pada masyarakat belakangan ini tentunya mampu menjadikan kita berfikir kembali dan berrefleksi sejenak atas apa yang telah kita lakukakan apakah sudah bermanfaat atau belum. Sejatinya bila kita belum bisa berperan secara aktif dalam mendrong sebuah perubahan, tentunya kita mampu terlibat di dalamnya dengan menjadi bagian dari keluarga pegiat literasi. Dengan menjadi donator misalnya, menysisihkan sebagian rezeki yang telah kita dapat untuk membantu mereka yang berjuang di medan Jihad literasi.