Mohon tunggu...
Cak Bud
Cak Bud Mohon Tunggu... Programmer - Kader GP Ansor

Aku suka membaca buku psikologi dan belajar khidmah di masyarakat melalui Nahdlatul Ulama. Aku berharap bisa mengendorkan saraf dengan menulis artikel. Artikel yang kutulis di sini murni sudut pandang pribadi dan bukan mewakili pandangan organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

House vs Home: Menjadikan Rumah Lebih dari Sekedar Bangunan Singgah

26 Mei 2024   11:36 Diperbarui: 26 Mei 2024   12:09 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertamu ke Ndalem Kapitikan Yogyakarta | dok. Pribadi

Salah satu ungkapan yang sangat populer di kalangan komunitas muslim Indonesia adalah "Rumahku Surgaku". Tak sedikit pula dari mereka yang membuatnya dalam bentuk kaligrafi dalam bahasa Arab lalu dipajang di dinding atau pintu rumah. Namun pernahkah terpikirkan olehmu rumah yang seperti apa konsep rumah surga itu? Nah pada artikel kali ini pertanyaan itu akan dijawab melalui pendekatan konsep "house" dan "home".

House secara sederhana dapat dimaknai sebagai  sebuah bangunan atau struktur fisik yang digunakan untuk sekedar singgah atau tempat tinggal. Jika lebih disederhanakan lagi maka house bisa dikatakan sebagai sebuah bangunan rumah. Sebagai contoh jika seseorang ada yang bilang memiliki rumah di suatu tempat maka itu artinya dia memiliki kekuasaan terhadap  bangunan fisik untuk tempat tinggal. Kepemilikan itu dijamin secara hukum entah berupa kepemilikan penuh yang dibuktikan dengan adanya sertipikat atau sekedar kepemilikan hak guna semisal rumah kontrakan atau rumah singgah (guest house).

Sedangkan Home memiliki arti yang lebih subyektif dan memiliki ikatan emosional bagi pemiliknya. Konsep ini merujuk pada suatu tempat yang bisa ditinggali secara nyaman, aman, dan memiliki ikatan emosional pada seseorang. Home bisa berupa house atau rumah, apartemen, kontrakan, atau kamar kos. Konsep "home" ini lah yang lebih cocok dengan konsep "rumahku surgaku". Maka tidaklah aneh jika kaligrafi rumahku surgaku dalam bahasa Indonesia ataupun Arab banyak ditemukan di pintu atau dinding kontrakan pelajar muslim Indonesia.

Lalu bagaimana caranya membuat rumah menjadi semacam surga yang nyaman untuk ditinggali dan tidak hanya sekedar menjadi tempat singgah saja? Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi seperti tamu di rumah sendiri yang hanya numpang makan dan tidur di sana?

Pertama, kita perlu membuat kesepakatan apa arti surga yang dimaksud itu. Gus Baha' dalam suatu kajiannya pernah menyampaikan kalau surga itu adalah salah satu manifestasi Ridho Allah pada hambanya. Tidak penting kita berada di mana saja asal mendapatkan ridho Allah maka akan merasakan aman, nyaman, dan tenang. Bahkan andaikata kita dilemparkan ke dalam kobaran api yang menyala-nyala asal mendapat ridho dari Allah maka akan selamat dan tenang di sana. Kita bisa mengambil hikmah dari kisah nabi Ibrahim yang dibakar hidup-hidup oleh raja Namrud.

Kata kunci yang dapat kita gunakan untuk merujuk pada surga adalah adanya ridho. Ketika dua sejoli yang terikat dalam jalinan pernikahan saling ridho satu sama lain maka modal utama untuk membangun surga di rumah telah dimiliki. Ridho di sini bisa bearti tidak ada pihak yang merasa terpaksa tinggal di situ, tidak ada yang merasa tertekan karena salah satu lebih berkuasa sedangkan lainnya merasa tidak memiliki hak apa-apa, atau hal lain yang menyebabkan salah satu penghuni rumah merasa terabaikan haknya.

Keridhoan satu sama lain dua sejoli itu bisa terus dipupuk dengan cara menjadikan rumah sebagai wasilah untuk mendapatkan ridho Allah secara bersama-sama. Gotong royong, saling percaya dan mengingatkan hak maupun kewajiban satu sama lain bisa menjadi tanggungjawab bersama.

Kedua, menghadirkan budaya musyawarah di rumah. Keputusan sepihak salah satu penghuni rumah terkadang dapat membuat penghuni lainnya merasa tak dihargai atau bahkan dipecundangi. Oleh sebab itu keputusan bersama bisa menjaga perasaan tenang, nyaman, dan puas seluruh penghuni rumah. Hal-hal sepele seperti menata layout furniture, hiasan dinding, warna cat, atau sekedar jenis dan corak keset bisa menjadi polemik jika tidak dikomunikasikan dengan baik.

Manusia pada dasarnya makhluk sosial namun mereka tetap memiliki kotak atau wadah tersendiri yang tidak bisa lebur dengan orang lain begitu saja. Pernikahan tidak hanya menyatukan fisik, pemikiran, dan sifat dua sejoli melainkan juga kotak yang dibawa masing-masing. Nah kotak ini yang sering diabaikan.

Pernah ada dua orang yang tinggal dalam sebuah kamar kos. Mereka tidak bisa mencapai kata sepakat untuk menata layout dan dekorasi kamar itu. Walhasil kamar itu diberi semacam garis imajiner untuk menandai daerah kekuasaan masing-masing. Dengan begitu, mereka menjadi leluasa untuk mengatur segala sesuatunya di daerah kekuasaan masing-masing.

Ketiga, bangun support system yang baik. Banyak orang yang seringkali lari dari kenyataan. Mereka acuh ketika tidak memiliki teman atau dikucilkan di lingkungan tempat tinggalnya dengan alasan memiliki banyak teman dan perhatian di tempat lain. Perasaan ini jika tidak segera diatasi bisa melambung menjadi apatis atau anti sosial.

Bangunlah support system dengan mulai dari hal kecil. Misalnya dengan rajin mengikuti acara seperti kenduren, jaga ronda, atau acara kumpul-kumpul lainnya. Gunakan ini sebagai jalan untuk mencari orang-orang memiliki frekuensi pemikiran sama. Setelah ditemukan, buatlah komunitas kecil bersama mereka.

Bukankah baginda Nabi pernah mengisyaratkan kalau manusia cenderung berkelompok dengan yang memiliki frekuensi sama  "Al-arwahu junudun mujannadah ..."? Nah kalau kita tidak berusaha mencarinya di lingkungan tempat tinggal mungkin memang tidak ada niatan untuk menjadikan rumah sebagai surga. Mungkin saja unsur pertama yang kutulis (ridha) tidak terpenuhi. Mungkin merasa terpaksa tinggal di sana dengan menganggap tetangganya sebagai orang toksik yang tak pantas untuk digauli.

Adanya komunitas kecil yang se-frekuensi bisa membuat kita merasa aman menempati rumah tersebut. Mereka bisa menjadi partner untuk saling jaga, saling bantu, dan saling berbagi satu sama lain. Betapa menyenangkannya bercengkerama bersama mereka sambil menikmati kopi atau teh yang disajikan di teras atau ruang tamu. Saling kunjung atau bergantian bertamu ke rumah tetangga bukankah tampak menyenangkan? Di samping itu baginda Nabi juga pernah menyampaikan kalau tamu yang datang ke rumah itu membawa berkah. Semakin banyak tamu maka semakin banyak berkah yang akan dibawa ke dalam rumah dan meliputi penghuninya.

Namun kalau kita menempati rumah hanya sebagai tempat singgah. Sekedar untuk tidur, makan, bereproduksi dan lebih banyak aktivitas di luar rumah maka kapan bisa menerima tamu-tamu itu? Jangan sampai kita terlihat kuat di luar namun sejatinya rapuh di dalam. Seakan-akan kita memiliki banyak teman di luar sana namun sejatinya batinnya merasakan kesepian yang amat dalam. Jujurlah pada diri sendiri.

Sebagai penutup, aku akan mengutip terjemahan hadis nabi "Rumah yang tidak pernah ada tamunya sama dengan rumah yang tidak pernah didatangi malaikat rahmat,". Semakin banyak orang yang suka bertamu itu tandanya rumah kita memang terasa menarik dan nyaman untuk ditempati, bukan? Itulah barangkali yang membuat orang-orang  tertarik masuk surga karena dianggapnya di sanalah tempat yang paling nyaman untuk ditinggali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun