Aku ingin memulai artikel ini dengan sedikit mengutip pendapat ning Evi Ghozali, penulis buku Mendidik dengan Cinta yang mengatakan kurang lebih begini "Mendidik anak itu tidak membutuhkan teori. Kita jalani saja apa adanya. Setumpuk teori yang kupelajari dan jauh hari telah kusiapkan untuk mendidik anak buktinya  menguap begitu saja ketika dihadapkan dengan kenyataan anak-anak kita lebih unik dari yang pernah dibayangkan. Jadi tidak ada teori baku untuk menghadapi mereka" kata beliau saat kami berdiskusi di salah satu hotel di kota Solo. Saat itu, ning Evi akan mengisi workshop tentang pernikahan yang diikuti oleh kepala KUA se Jawa Tengah. Malam itu, kami berkesempatan nderekke beliau berkeliling Solo sebelum acara dimulai keesokan harinya.
Meskipun apa yang disampaikan ning Evi itu konteksnya parenting atau mendidik anak, aku merasa hal itu berlaku juga untuk suatu hubungan pernikahan. Teori juga tidak berlaku seratus persen di dalam menjalani kehidupan pernikahan. Teori, kisah, atau pengalaman seseorang yang pernah kita dengar atau baca ibarat segepok lembaran resep masakan yang dikumpulkan dengan rapi. Kita akan menggunakannya beberapa mana kala diperlukan. Itupun seringkali tidak dilakukan persis sesuai yang tertulis di dalam lembaran itu. Bukankah begitu?
Jadi apa yang akan aku sampaikan bukanlah suatu yang dapat digunakan sebagai pegangan hidup. Apalagi untuk dipertentangkan dengan pasangan. Anggap saja sebagai bagian dari lembaran kertas resep masakan tadi.
__*__
Pernikahan tidaklah prosesi agung yang hanya bertujuan mengikat sepasang pria dan wanita  agar menjadi halal satu sama lain melainkan juga menyatukan keluarga besar keduanya. Sehingga bisa dikatakan ketika kelak ada masalah di keluarga yang satu, keluarga yang lain akan ikut menanggungnya bersama-sama. Namun bukan bearti semua masalah harus diselesaikan bersama-sama juga.
Kaitannya hubungan dengan mertua atau keluarga pasangan memang tak dapat dipungkiri seringkali terjadi konflik yang tak berkesudahan. Seorang kyai pernah menyampaikan padaku bahwa di sinilah letaknya perbedaan manusia dengan kambing yang bisa dipetik sebagai pelajaran: Kalau kambing itu saat awal bertemu biasanya akan saling tanduk, saling serang satu sama lain namun lama kelamaan akan akur dengan sendirinya. Sebaliknya kalau manusia itu seringkali sangat terlihat baik dan ramah saat awal bertemu namun seiring berjalannya waktu akan timbul pertikaian dan saling menyalahkan seiring terlihatnya sifat basyariyah satu sama lain.
Aku melihat banyak istri yang mengalami ketidak harmonisan hubungan dengan keluarga suami dikarenakan minimnya kepercayaan pada suami. Mereka menganggap suaminya lebih mementingkan keluarga besarnya dibandingkan dengan keluarga kecil (rumah tangga) mereka sendiri. Ketidakpercayaan itu bisa saja bersumber dari banyak hal. Aku tidak akan membahasnya di sini.
Bagi sebagian besar laki-laki, keluarga besar mereka adalah salah satu manifestasi harga dirinya. Siapapun yang mengusiknya tak terkecuali istrinya sendiri itu sama saja mengusik harga diri laki-laki. Akibatnya biasanya akan terjadi konflik besar meskipun pemicunya hanya masalah sepele. Itu terjadi karena laki-laki sangat menjunjung harga diri.
Ada titik sensitif masing-masing pada setiap manusia. Salah satu titik sensitif laki-laki adalah keluarga. Boleh jadi dia akan biasa saja saat  dicemooh atau dihina orang lain. Akan tetapi beda cerita kalau yang dihina adalah keluarganya. Aku rasa kecenderungan laki-laki untuk melindungi keluarga ini adalah sifat alamiah atau bawaan dari lahir. Menurutku hal itu bagus dan memang diperlukan.
Hanya saja istri seringkali salah memahami suaminya. Menganggap suaminya lebih mementingkan keluarga besarnya, lebih mendengarkan mereka daripada istrinya sendiri. Apakah memang benar demikian? Menurutku pribadi tidak sepenuhnya benar.
Laki-laki itu secara umum memiliki watak yang suka membalas budi orang lain. Itulah cara mereka untuk menjaga martabatnya. Ketika selama ini dia banyak dibantu keluarga besarnya untuk menjalani hidup, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, bahkan barangkali juga modal pernikahan, dia tidak akan melupakan itu  sepanjang hidupnya. Sebisa mungkin dia akan pasang badan pertama kali mana kala dibutuhkan mereka. Sekali lagi ini masalah harga diri.
"Kamu lebih memilih aku atau keluargamu?" Ketika misalnya ada seorang istri dengan muka marah melontarkan pertanyaan itu setelah merasa suaminya lebih mementingkan keluarganya dibanding keluarga kecil maka aku yakin seribu persen banyak dari mereka akan memilih keluarganya. Terutama jika ayah atau ibunya masih ada. Bagiku itu adalah pertanyaan yang sangat konyol.
Masalah kasih sayang dan tanggungjawab itu tidak bisa diperbandingkan. Misal apakah kita lebih menyayangi anak pertama, kedua, atau lainnya. Ketika kita lebih memperhatikan salah satu dari mereka bukan bearti kita lebih menyayangi anak itu. Boleh jadi memang dia memerlukan perhatian khusus.
Percayalah bahwa suami tidak akan gegabah dalam mengambil suatu keputusan. Banyak waktu yang digunakan untuk menimbang sebelum akhirnya memutuskan. Bahkan aku yakin banyak yang telah mencari second opinion untuk menguatkan pendapatnya sendiri.
Suami yang merasa mendapat kepercayaan penuh dari istrinya akan lebih percaya diri dalam membangun martabat keluarga inti. Dia akan bisa dengan sangat baik membalas budi itu dan membuktikan bahwa dia adalah laki-laki yang bertanggungjawab. Sebaliknya jika dia merasa tidak dipercaya, harga dirinya tercabik. Dia akan kesulitan menentukan arah karena kemanapun ia membawa kapal yang dinahkodainya selalu dicurigai bahkan disalahkan keputusannya.
Aku sering berpesan pada Ayi untuk tidak melihatku dalam kaitannya bergaul dengan keluargaku. "Jangan melakukannya karena aku. Lakukanlah itu dengan sadar bahwa memang ada kewajiban dari Allah untukmu melakukan pergaulan yang baik dengan mereka". Karena jika kebaikan itu dilakukan karena aku lalu suatu saat Ayi bermasalah denganku maka akan memutus kebaikan itu. Itu menurutku tidaklah tepat.
Yai Asrori Al-Ishaqi dalam suatu mauidhohnya pernah berpesan jika kita merasa kurang sreg atau jengkel pada seseorang maka jadikan orang itu sebagai wasilah untuk mendekat pada Allah "ya Allah, barokahnya orang itu semoga dapat  menambah iman, taqwa, cinta, dan rinduku pada-Mu". Hal ini bertujuan untuk mendidik hati agar tidak merasa lebih baik dari orang lain. Kenapa demikian? Karena biasanya orang mencari luberan berkah (tabarukan) dari orang lain yang dianggap lebih baik. Kali ini, yai mengajari tabarukan dengan orang yang yang membuat kita jengkel dan umumnya hati kita akan menganggap dia tidak lebih baik dari kita.
Setelah kepercayaan pada suami bisa ditumbuhkan, selanjutnya adalah memperbaiki hubungan dengan keluarga besarnya. Banyak cara yang bisa dilakukan. Pada artikel sebelumnya, aku menuliskan pengalamanku membangun hubungan dengan mertua. Bisa disimak kalau berkenan. Mungkin bisa menjadi tambahan referensi resep untuk menjalani kehidupan bersama orang terkasih.
__*__
Keterangan:
Keluarga besar: keluarga besar dari sisi suami
Keluarga inti/kecil: keluarga yang isinya suami, istri, dan anak-anak yang dibina dalam rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H