Aku pernah mengalami dilema ini cukup lama waktu hubungan dengan mertuaku dalam fase yang cukup menghawatirkan. Penggalan kisahnya bisa dibaca pada artikelku sebelumnya yang berjudul "Membangun Kedekatan dengan Mertua Tidak Sesusah Itu, Kok!".
Jadi pada fase aku sedang merintis usaha itu kan pertumbuhannya tampak begitu menjanjikan. Aku berpikir kalau biaya yang aku keluarkan  untuk ngontrak bisa lebih menguntungkan kalau digunakan untuk nyicil KPR. Aku pun segera mengutarakan gagasanku itu pada pak bos.
Hasil obrolanku dengan pak bos secara singkat dapat disimpulkan aku disarankan untuk tidak buru-buru ambil KPR dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Kesetabilan jauh lebih utama daripada ambil KPR yang asal-asalan. Maksudnya asal-asalan adalah lokasinya kurang strategis, jauh dari tempat kerja, luasan areanya kurang memadai, lingkungannya kurang mendukung, dll. Meskipun harga yang ditawarkan cukup murah dan bersubsidi.
Kalau lokasinya cukup jauh dari tempat kerja bisa mengganggu kesetabilan pekerjaan maupun di rumah. Berangkat kerja pagi-pagi untuk menghindari macet. Pulang ke rumah membutuhkan energi ekstra juga untuk bisa sampai rumah. Ketika sampai rumah sudah kehabisan energi untuk menikmati waktu santai bersama keluarga. Rutinitas seperti ini lama-lama akan mengganggu kesetabikan pekerjaan dan keluarga entah karena jenuh atau kelelahan karena minimnya waktu untuk re-charge energi.
Alasan kedua adalah kalau lokasi perumahan yang dipilih tidak benar-benar strategis akan ada potensi susah untuk menjualnya kembali. Ketika kita merasa memiliki sedikit tabungan dan pengen upgrade rumah ke lokasi yang jauh lebih baik bisa terkendala ketika kesulitan menjual rumah yang lama.
Pak bos memberikan contoh beberapa temannya PNS di BPK dulu mengalami hal itu. Saat awal-awal meniti karir di BPK, mereka buru-buru beli rumah di pinggiran kota Jakarta dengan alasan untuk menabung aset. Ketika karirnya mulai menanjak dan ingin bekerja dengan lebih nyaman tabungannya tidak cukup untuk membeli rumah baru di dekat tempat kerja. Sedangkan rumah lama yang berada di pinggiran kota penjualannya susah.
Alasan ketiga adalah realistis dengan anggaran. Beban cicilan KPR mungkin secara itung-itungan bisa dipenuhi menggunakan sumber pendapatan yang ada. Hanya saja biaya yang dikeluarkan tidak berhenti di situ saja, to? Ada biaya perawatan rumah yang harus diperhitungkan dan biasa layanan fasum. Kalau kebetulan lokasinya jauh dari tempat kerja juga perlu memperhigungjan biaya tambahan untuk membeli bahan bakar atau perawatan kendaraan.
Komponen biaya yang dikeluarkan untuk mengambil KPR lebih banyak daripada komponen biaya ngontrak rumah. Beberapa komponen itu  bisa itu bisa dialihkan dulu untuk yang lain agar kesetabilan lebih terjaga dan pengembangan diri untuk menapak karir bisa lebih mulus.
Kalau kita sudah jenuh apalagi sampai burn out biasanya masalah demi masalah akan bermunculan. Ketika di rumah bermasalah dengan keluarga sedangkan di sisi lain konflik dengan rekan kerja juga tidak bisa dielakkan. Hal ini akan membuat kita jadi uring-uringan dan sulit untuk mengembangkan relasi yang positif yang bisa mendukung peningkatan kapasitas diri maupun karir.
Hal yang selalu ditekankan pak bos berulang-ulang adalah menjaga kesetabilan. Kalau dengan mengontrak rumah bisa lebih setabil mengapa tidak? Ketika kondisi pekerjaan dan rumah stabil maka kita bisa punya lebih banyak waktu dan anggaran untuk menikmati hidup, Â mengembangkan diri dan membangun relasi.
Biaya yang dikeluarkan untuk membayar kontrakan bisa diibaratkan sebagai biaya penyusutan aset jika kita mengambil KPR. Bisa juga anggap saja sebagai beban biaya operasional seperti transportasi atau kebutuhan kerja lainnya.
Nah! Ketika pekerjaan benar-benar sudah stabil, relasi terbangun dengan baik, support system terbentuk dengan baik, hubungan dengan keluarga juga sangat baik, keuangan cukup aman, baru rencanakan pembelian rumah yang akan menambah kuat unsur kesetabilan itu.
Bagaimana menurut kalian? Apakah ada pandangan lain? Yuk kita diskusi.
*Pak bos berkarir di Badan Pemeriksa Keuangan selama kurang lebih 15 tahun. Spesialisasi di bidang litugasi. Pernah memimpin penanganan kasus-kasus besar. Sekarang undur diri dari ASN dan mengajakku membangun startup bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H