Pada dasarnya, kelurahan dibentuk berdasarkan Undang undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah bahwa Kelurahan adalah wilayah sebagai perangkat daerah Kabupaten dan Kota. Kelurahan dikepalai oleh seorang Lurah sebagai pemimpin dan pelaksanaan proses pembangunan daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang tercantum dalam Pasal 228 dan 229 yakni di tuntut agar bisa membuat masyarakat sejahtera dan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan daerah baik dalam pemberdayaan masyarakat untuk bertujuan agar proses pembangunan berjalan sesuai tujuan pembangunan dan kemajuan suatu daerah.
Istilah Lurah seringkali diartikan dengan jabatan Kepala Desa, di Jawa pada umumnya, secara historis pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah Lurah. Namun dalam konteks pemerintahan Indonesia, sebuah kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedangkan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab kepada Camat, sedangkan Kepala Desa bisa dijabat oleh siapa saja yang memenuhi syarat, dan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala Desa (Pilkades).
Berkaitan dengan anggaran operasional juga sangat berbeda. Kelurahan merupakan bagian dari perangkat daerah Kabupaten atau Kota, maka program kegiatan dan anggaran berdasarkan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten atau Kota tersebut. Sedangkan Pemerintah Desa, sejak awal negara di pimpin oleh Presiden Jokowi dan sesuai dengan komitmen dalam kampanye, maka anggaran yang dikelola Pemerintah Desa dengan besaran sekitar Rp 1 milyar setiap desa.
Alokasi anggaran tersebut berasal dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) selaku pengampu atau pembina sesuai dengan Permendes No. 6 Tahun 2015, salah satu tugas adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa. Selain itu, Â dimungkinkan adanya program tambahan lainya yang berasal dari Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan tugasnya yang tercantum Permendagri Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri salah satunya adalah berupa perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pembinaan di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dan aset desa.
- Masa Jabatan Kepala Desa
Berkaitan dengan masa jabatan kepala desa tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 39 (1) disebutkan bahwa Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Sedangkan pada pasal 39 (2) menyebutkan bahwa Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Pemberhentian sebagai Kepala Desa dapat dilakukan juga  tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 39 (1) yakni karena meninggal dunia, permintaan sendiri; atau diberhentikan, atau pasal 39 (2) yakni berakhir masa jabatannya; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
Selain itu, Kepala Desa dapat diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 41), setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 42), dan dapat diberhentikan setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 43).
- Pentingkah Merevisi Masa Jabatan Kepala Desa?
Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menyatakan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tidak sesuai dengan konstitusi yang mengatur bahwa masa jabatan seseorang mesti dibatasi, seharusnya jabatan kepala desa itu mengikuti konstitusi bahwa masa jabatan 5 tahun, itu dulu sudah diperpanjang jadi 6 tahun. Sebagai tambahan, perpajangan masa jabatan tersebut berdampak negatif karena dapat membuat Kades menjadi "raja kecil" yang memerintah tanpa pengawasan ketat, selain itu dapat meminggirkan aspirasi warga yang tidak mendukungnya sehingga pembangunan desa tidak dapat berjalan dengan baik.
Hal senada diungkapkan pula oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari bahwa perubahan masa jabatan Kades akan memperlama menjabat dan berdampak dapat menimbulkan sifat koruptif karena Kades berwenang mengelola dana desa dengan jumlah anggaran tidak sedikit dan kekuasaan yang terlalu lama akan menimbulkan dampak buruk dalam pengelolaan negara secara administratif.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, seperti yang telah diungkapkan di awal artikel, sebagai wakil pemerintah merupakan pihak yang mendukung penambahan masa jabatan Kades. Dengan alasan, pemerintah mempertimbangkan kondusifitas hubungan antar warga di desa selama pasca Pilkades hingga menjelang Pilkades berikutnya. Oleh karena itu, sebaiknya masa jabatan Kades ditambah menjadi 9 tahun untuk meredam tensi antar warga akibat perbedaan pilihan dalam Pilkades sebelumnya.
Seperti diketahui bahwa dampak Pilkades itu melebihi dampak pilgub (Pemilihan Gubernur) bahkan Pilpres (Pemilihan Presiden). Berbagai upaya persuasi perlu di lakukan dan digerakkan di desa sebagai ikhtiar meredakan dampak Pilkades yang cukup kental, dan untuk itu perlu ditambah masa jabatannya.