Mohon tunggu...
Cak Bro Cak Bro
Cak Bro Cak Bro Mohon Tunggu... Administrasi - Bagian dari Butiran debu Di Bumi pertiwi

Menumpahkan barisan Kata yang muncul di Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengapa BI Mempertahankan Suku Bunga? (Bagian II)

20 Desember 2021   10:45 Diperbarui: 20 Desember 2021   10:52 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

(lanjutan)......

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Suku Bunga

Menurut Teguh Sihono dan Rohaila Yusof (2012) dalam penelitiannya yang berjudul "Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Bank Indonesia Semenjak Maret 2011 Hingga Maret 2012" menyebutkan bahwa suku bunga harus memperhatikan aspek moneter baik dari sisi internal dan eksternal. Aspek internal kebijakan moneter meliputi: a) kondisi inflasi, b) perubahan harga komoditas energi/minyak, c) perubahan harga komoditas bahan pangan, d) perubahan harga komoditas internasional, e) pertumbuhan ekonomi, f) perubahan komoditas energi, h) pertumbuhan konsumsi, i) pertumbuhan invetasi, dan j) kinerja ekspor dan impor.

Sedangkan dari sisi eksternal meliputi a) Neraca Pembayaran Internasional (NPI), b) Transaksi Modal dan Finansial (TMF), c) Cadangan Devisa, d) Perubahan kurs mata uang rupiah, e) kinerja industry perbankan, f) kinerja pasar keuangan, g) capital inflow di Indonesia, dan h) perubahan suku bunga bank umunya (BI Rate). Dengan demikian, tugas Bank Indonesia tidak sekedar menetapkan besaran suku bunga, namun juga harus memperhatikan dampak suku bunga berkaitan dengan kebijakan moneter dengan faktor-faktor variabel yang mempengaruhinya.

Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia

Hantaman krisis global pada 1998, 2008, dan 2012 menyadarkan banyak negara bahwa betapa penting terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan negara lainnya. Selain itu, untuk mengelola risiko sebagai reaksi kebijakan negara lain diperlukan "kesamaan cara pandang", khususnya dari sisi moneter dan fiskal, dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan, yang dikenal sebagai kebijakan makroprudensial.

Dengan demikian, kita membutuhkan satu atau lebih institusi yang berwenang mengawasi setiap pergerakan pasar keuangan, sektor riil, dan dinamika sektor moneter, sebagai variabel penting untuk mendeteksi potensi datangnya krisis sistemis. Makroprudensial pada masa kini dipahami sebagai kebijakan yang bertujuan membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemis. Dalam Undang-Undang No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) mencantumkan pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan.

Dalam Pasal 3 UU PPKSK juga dijelaskan kegiatan pencegahan dan penanganan krisis, akan dilalui dengan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas serta penanganan krisis. Pihak-pihak tersebut tergabung dalam Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan menteri Keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan Komisioner OJK, serta ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Langkah Kebijakan Makroprudensial

Pasal 12 UU PPKSK mengenai pertukaran data dan informasi, sebagai bagian dari koordinasi kelembagaan untuk melahirkan regulasi yang satu visi atau padangan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang dilakukan untuk menunjang harmonisasi kebijakan makroprudensial yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, pemerintah melalui Menko Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Bappenas akan mengoordinasikan kinerja otoritas fiskal dan sektor riil. Misalnya, pada Paket Kebijakan Ekonomi XIII, pemerintah memfasilitasi beberapa jenis deregulasi: a) kebijakan deregulasi bertujuan menurunkan biaya transaksi investasi, b) kebijakan deregulasi pendukung, seperti pengendalian inflasi dan pemberian subsidi yang outcome-nya bisa berpengaruh terhadap daya tawar dan daya beli masyarakat. Hal berikutnya, pemerintah akan berkoordinasi dengan otoritas moneter, misalnya mempersiapkan akses kredit pemilikan rumah yang terjangkau bagi MBR.

Kedua, performa otoritas moneter (khususnya antara BI dan OJK) dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIII akan menjadi titik episentrum keberhasilan/kegagalan program yang ada. Kebijakan otoritas moneter diharapkan akan menggeliatnya investasi di sektor perumahan yang berdampak positif terhadap kinerja makroekonomi.

Ketiga, BI selaku pihak berwenang di sisi makroprudensial akan menerapkan kebijakan loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) dalam rangka mengendalikan risiko sistemis dari kebijakan kredit. Namun, BI perlu koordinasi dengan OJK, selaku pemegang kendali mikroprudensial untuk mengetahui seberapa besar angka LTV dan FTV dengan informasi yang komprehensif.

Selain itu, sektor perbankan perlu terlibat terkait dinamika perubahan LTV dan FTV tersebut. Berkaitan dengan adanya potensi terjadinya kredit macet, maka perlu diinventarisasi agar risiko negatifnya tetap bisa ditekan. Hal berikutnya, BI dan OJK juga harus berkoordinasi dengan pemerintah, terkait keseimbangan pasar secara riil dalam jangka waktu tertentu. Jangan sampai keduanya memiliki gap yang relatif tinggi karena akan berpengaruh terhadap naik/turunnya harga riil perumahan.

Penutup

Berdasarkan paparan tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai jawaban adalah sebagai berikut:

  1. Walaupun pasar keuangan masih bergejolak karena berlarutnya penyelesaian krisis keuangan akibat kondisi pandemi Covid-19 di seluruh negara dan ketatnya likuiditas pasar keuangan global bahkan adanya penurunan rating di beberapa negara eropa yang memicu sentiment negative, maka kebijakan BI tetap mempertahankan BI rate sebesar 3,5% sudahlah tepat. Hal tersebut dilakukan karena fundamental perekonomian Indoensia cukup kuat untuk mengatasinya dengan mempertimbangkan sebelumnya pada faktor internal dan eksternal dari kebijakan moneter seperti yang dijelaskan di atas. Hal tersebut sebagai dasar, dimana secara periodik BI akan mengeluarkan kebijakan suku bunga-nya atau BI-rate melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG).
  2. Adanya pengaruh suku bunga atas BI Rate yang berpengaruh pada suku bunga antar bank dan deposito dan akhirnya berdampak pada suku bunga kredit yang diberikan kepada perusahaan untuk menggerakkan sektor riil sehingga mendukung lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan BI-rate akan mempengaruhi suku bunga antar bank termasuk kredit yang diberikan, dan sebaliknya jika BI-rate diturunkan akan memicu pelarian dana jangka pendek yang akan mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi karena nantinya akan berdampak pula pada inflasi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membutuhkan suatu kebijakan holistic dan kerjasama dengan institusi lainnya untuk memonitor pergerakan pasar keuangan, sektor riil dan dinamika sektor moneter yang akan berdampak terjadinya inflasi yang tidak terkendali (hyperinflation) dan bisa mengarah terjadinya krisis ekonomi secara sistemis. Kebijakan suatu negara dalam mengelola risiko untuk menangani baik dari sisi moneter dan fiskal dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dikenal dengan kebijakan makroprudensial.
  3. Untuk mengatasi permasalahan dalam kebijakan makroprudensial, maka dibentuk UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) mencantumkan pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan. Berdasarkan UU tersebut untuk menjalankan tugas, maka dibentuk Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan Komisioner OJK, serta ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Berdasarkan UU tersebut, Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menjalankan tugas sesuai dengan Pasal 12 UU Nomor 9 Tahun 2019 dengan contoh langkah-langkah seperti yang telah dijelaskan diatas.

 

Sumber Referensi:

  • Teguh Sihono dan Rohaila Yusof (2012), Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Bank Indoensia Semenjak Maret 2021 Hingga Maret 2012, Jurnal Economia, Vol. 8 No. 1, April 2012.
  • Tim TvOne, Bank Indonesia Bank Indonesia Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 3,5 Persen, www.tvonenews.com, 16 Desember 2021.
  • ......, Teori Suku Bungan dan Inflasi, Jurnal Manajemen, Bahan Kuliah Manajemen, www.jurnal-sdm.blogspot.com, diakses 19 Desember 2021. 
  • Siwi Nur Indriyani (2016), Analisis Pengaruh Inflasi dan Suku Bunga Terhadap Pertumbuhan EKonomi Di Indonesia Tahun 2005-2015, Jurnal Manajemen Bisnis Krisnadwipayana, Vol.4 No.2, Mei 2016.
  • Candra Fajri Ananda, Kebijakan Makro Prudensial, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, https://feb.ub.ac.id/id/kebijakan-makroprudensial.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun