Mohon tunggu...
Faris Rusydi
Faris Rusydi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Laki-laki. Mahasiswa. Aremania. Milanisti. Penggila sepakbola. Pecinta revolusi, diskusi, dan aksi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arema: Sebuah Identitas

27 Januari 2012   13:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:23 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_157762" align="aligncenter" width="500" caption="Aremania di Gajayana"][/caption]

“Arema are more than just a football club. They are a way of life. They are the St. Pauli of Indonesia. A culture within a culture. Satu Jiwa, one heart or one soul”

Sepenggal kalimat diatas ditulis oleh Anthony Sutton, seorang jurnalis ESPN setelah meliput pertandingan Persija Jakarta vs Arema Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno pada Mei 2010. Membandingkan kota Malang dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia, kota ini memiliki citarasa tersendiri bagi para penikmat sepakbola: tidak hanya permainan keras dan lugas, tetapi juga suguhan kreatifitas dari pendukungnya. Saat Arema bertanding, nuansa kota Malang berubah, seolah ada perayaan besar disana, sehingga dalam satu hari semua orang menggunakan atribut bernuansa biru-biru Arema. Walaupun laga baru dimulai pada sore hari, sejak pagi kesibukan akan persiapan menonton pertandingan Arema terlihat di berbagai sudut kota Malang.

Apabila anda berkeliling kota Malang pada pagi hari, anda akan melihat ada orang-orang yang memakai atribut biru khas Arema sedang mencari tiket, menjual tiket, mencari tumpangan, dan berbagai kegiatan lain yang berhubungan dengan pertandingan Arema di sore hari. Memasuki siang hari, nuansa biru Arema di kota Malang semakin terasa. Aremania mulai berdatangan dari berbagai penjuru kota Malang menuju Stadion Kanjuruhan yang terletak di sudut selatan Kabupaten Malang. Ada Aremania yang datang sendiri, ada yang bersama keluarga atau teman-teman, bahkan ada juga yang konvoi bersama sembari menabuh sner-drum dan bass-drum, sambil menyanyikan yel-yel dukungan terhadap Arema, dan mengibarkan bendera-bendera bergambar singa yang dibalut background warna biru-putih. Penulis masih ingat, kala Arema masih bertanding di Stadion Gajayana, untuk masuk ke dalam stadion haruslah sebelum jam dua siang, padahal pertandingan baru dimulai pukul empat sore. Bisa dipastikan sejak pukul dua siang stadion sudah hampir terisi penuh, sehingga agak sulit mencari tempat yang nyaman untuk menonton Arema.

Arema dan Aremania tidak hanya sekedar menjadi fanatisme terhadap klub sepakbola saja, tetapi juga terdapat identitas kebanggaan di dalamnya. Bagi orang Malang yang merantau, menyebut diri sebagai arema atau arek Malang menjadi kebanggaan tersendiri. Kebanggaan menyebut diri sebagai arema tidak hanya dialami oleh mereka yang menggemari sepakbola (khususnya suporter Arema Malang), tetapi juga dirasakan oleh mereka yang tidak suka sepakbola sekalipun. Uniknya, bagi mereka yang membuka usaha di berbagai bidang, juga menggunakan identitas arema sebagai identitas usahanya. Sehingga jangan heran apabila ada “Warung Makan Arema”, “Bakso Arema”, “Toko Mebel Arema”, “Kripik Singkong Arema”, dan lainnya.

Arema, Solusi Masalah Geng Pemuda

Sejak tahun 1970-an, geng-geng pemuda bermunculan di berbagai kota besar di Indonesia, tak terkecuali di Malang dan Surabaya. Kelompok geng pemuda di Jawa Timur terpusat pada dua kota yang selalu bersaing dalam segala hal: Malang dan Surabaya. Kera Ngalam tidak akan pernah mau mengalah dengan arek Suroboyo. Manifestasi dari persaingan ini diwujudkan dalam berbagai hal, terutama di bidang balapan, musik, dan tinju. Dalam pengakuannya, Lucky Acub Zaenal yang dulu dikenal sebagai atlet balap nasional mengaku tidak pernah mau kalah dari pembalap Surabaya. Begitu juga dalam bermusik, pernah suatu hari konser Slank di Stadion Tambaksari Surabaya berujung kerusuhan yang melibatkan arek Malang dengan arek Suroboyo. Setiap kali terdapat kerusuhan besar, baik di Malang maupun Surabaya, selalu saja melibatkan dua kelompok pemuda dari masing-masing kota.

Geng pemuda yang ada di Malang memiliki basis wilayah yang tersebar di berbagai sudut kota. Saat itu muncul nama-nama geng seperti Argom (Armada Gombal, asal Kidul Dalem), Fanhalen (Federasi Anak Nakal Halangan, asal Celaket), Saga (Sumbersari Anak Ganas, asal Sumbersari), Arpanja (Arek Panjaitan, asal Betek), dan lainnya. Arek-arek Malang ini tampil dengan mewakili asal wilayah dimana ia tinggal, sehingga loyalitas akan kelompok wilayah dan egoisme yang berbalut identitas wilayah masing-masing kerap menjadi pemicu tawuran antar kelompok pemuda di Malang. Area pertarungan pemuda pun menyebar di berbagai sudut kota Malang, beberapa yang tempat yang terkenal antara lain: Bioskop Jl. Kelud, Alun-alun Kota, Stadion Gajayana, dan Pujasera Pulosari.

Generasi muda di Malang saat itu kebanyakan pengangguran yang tidak memiliki penyaluran potensi dan energi berlebih. Banyak dari mereka hanya berkegiatan seperti mengamen, menjadi juru parkir, berdagang asongan, atau hanya sekedar cangkruk saja. Ketiadaan penyaluran energi serta keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan memicu pertarungan antar kelompok pemuda di Malang, serta pertarungan eksistensi & perebutan wilayah strategis seperti pada beberapa tempat yang sudah penulis sebut di atas. Kondisi inilah yang membuat Mayjend TNI (purn) H. Acub Zainal berkewajiban untuk mengelola dan mengembangkan potensi yang dimiliki arek Malang agar berproses ke arah yang positif dan mampu meningkatkan harkat dan martabat arek Malang.

Mayjend TNI (purn) H. Acub Zainal yang saat itu menjabat sebagai Danrem 084 Baladika Jaya Surabaya melihat sepakbola dapat menjadi solusi bagi masalah pemuda. Berbekal pengalaman beliau sebagai pengelola klub sepakbola NIAC Mitra dan pernah membina anak-anak muda Irian Jaya guna dikirim ke kompetisi sepakbola internasional di Bangkok, beliau menawarkan kepada putranya (Lucky Acub Zainal) untuk mendirikan klub sepakbola di Malang. Kebijakan PSSI pada tahun 1987 yang membuka keran pendirian klub sepakbola profesional untuk berlaga pada kompetisi Galatama (Liga Sepakbola Utama), serta animo masyarakat Malang yang cukup tinggi pada setiap pertandingan Persema menjadi alasan utama mengapa Arema didirikan. Selain itu, generasi muda arek Malang di mata H. Acub Zainal memiliki energi dan potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, tetapi tidak memiliki wadah pemersatu, sehingga kerap terjadi tawuran antar geng pemuda di Malang.

Walaupun di Malang ada klub sepakbola Persema, tetapi klub ini tidak mampu mengakomodir potensi yang dimiliki arek Malang saat itu. Tetap saja pada beberapa pertandingan Persema di Stadion Gajayana terjadi kericuhan antar geng pemuda. Selain karena Persema adalah klub amatir yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Malang, prestasi klub ini tidak pernah menonjol dalam kancah persepakbolaan nasional. Oleh karenanya banyak orang Malang yang menempuh perjalanan 3 jam ke Surabaya untuk menonton pertandingan NIAC Mitra dalam kompetisi Galatama. Sementara Persebaya yang bermain dalam kompetisi Perserikatan tetap menjadi musuh abadi arek Malang, sehingga tiap pertandingan Persema melawan Persebaya di Stadion Gajayana selalu dipenuhi penonton dan tak jarang terjadi kericuhan di dalam stadion.

Tanggal 11 Agustus 1987 klub sepakbola Arema resmi didirikan dan dipersiapkan untuk mengarungi kompetisi Galatama VIII / 1988. Peran militer dalam pembentukan tim sangat kuat, selain sumbangsih fisik berupa penyediaan asrama bagi pemain beserta fasilitas latihan di Kompleks TNI AU Abdulrachman Saleh, pihak TNI juga berperan dalam pelatihan dan seleksi pemain yang dilakukan dengan cara-cara militer. Guna menarik animo penonton dalam mengenalkan Arema, diundanglah tim elit Hallelujah FC asal Korea Selatan yang saat itu terkenal di wilayah Asia. Pertandingan yang dimenangkan oleh tim tamu dengan skor telak 1-5 itu mampu menarik perhatian warga Malang. Animo masyarakat terhadap Arema semakin tinggi, dan terus meningkat pada dua laga ujicoba berikutnya melawan Merpati Airlines FC dan Persema.

Arema dipilih menjadi nama resmi klub karena merupakan singkatan dari kata Arek Malang. Sudah menjadi hal yang umum bahwa nama klub saat itu bisa membedakan mana tim yang profesional dan mana yang amatir. Klub-klub sepakbola profesional yang berlaga pada kompetisi Galatama kebanyakan tidak menyebut daerah asal mereka, seperti: Pelita Jaya, Arseto, NIAC Mitra, Arema, Warna Agung, Perkesa 78, dan lainnya. Lima huruf A-R-E-M-A dipilih dengan tujuan menjadi simbol identitas pemuda (arek) yang berasal dari Malang, dengan kata lain Arema menjadi manifestasi bersatunya arek-arek Malang yang berasal dari berbagai kelompok pemuda.

Mengatasi masalah geng pemuda di Malang tidak cukup hanya dengan mendirikan Arema, tetapi setidaknya sejak tahun 1987 arek-arek Malang sudah memiliki wadah untuk menyalurkan energi dan potensi yang dimiliki. Apa yang dilakukan H. Acub Zainal dengan mendirikan Arema mampu melokalisir potensi-potensi kericuhan oleh arek Malang yang semula tersebar di berbagai wilayah Jawa Timur menjadi terpusat di Stadion Gajayana. Pemerintah beserta perangkat keamanan turut meredam masalah geng pemuda di Malang dengan berbagai cara seperti memunculkan Peraturan Daerah tentang peredaran minuman keras dan mengembangkan kebijakan tata wilayah kota. Bioskop Kelud yang kerap menjadi lokasi tawuran antar pemuda pun ditutup, fasilitas penerangan disana diperbanyak, dan dibangun pos polisi untuk menjaga keamanan. Begitu juga dengan Alun-alun Kota yang juga kerap menjadi ajang tawuran pemuda, penerangan dan fasilitas pariwisata dibangun disana, tidak lupa pos polisi di 2 sudut areal alun-alun.

Sentralisasi kegiatan arek-arek Malang di Stadion Gajayana membuat pendukung Arema saat itu memiliki kesan brutal. Yuli Sugianto yang kini menjadi dirigen Aremania menceritakan bahwa dirinya selalu membawa pedang ke stadion untuk jaga-jaga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dia mengatakan bahwa perlengkapan senjata tajam adalah hal yang umum dibawa ke dalam stadion saat itu. Suasana seperti itu membuat toko-toko dan rumah-rumah di sekitar Stadion Gajayana memilih tutup apabila Arema bertanding, geng pemuda kerap tawuran untuk memperebutkan eksistensi di dalam stadion atau sekedar membalas perlakuan kelompok lain di masa lalu. Bahkan kota Malang menjadi kota mati pada saat Arema bertanding, image buruk penonton sepakbola Arema cukup meresahkan warga Malang dan menggentarkan mereka untuk keluar rumah, apalagi bergerak ke arah stadion Gajayana.

Arema yang dikenal sebagai tim jago kandang di Galatama membuat stadion Gajayana terkesan angker bagi tim tamu yang akan melawan Arema. Raihan hasil positif Arema ketika bermain di kandang menarik animo masyarakat untuk menonton Arema. Hal ini membuat Lucky Acub Zainal berinisiatif untuk membentuk Arema Fans Club (AFC), sebuah wadah suporter yang dikelola oleh klub sepakbola Arema. Kehadiran Arema Fans Club rupanya kurang mendapat respon positif dari pendukung Arema, hal ini berujung pada pembubaran Arema Fans Club pada tahun 1994. Beberapa alasan yang mengemuka dalam pembubaran Arema Fans Club adalah masalah eksklusifitas organisasi dan tidak ada regenerasi. Arema Fans Club selama berdiri lebih banyak menjalin komunikasi dengan elemen suporter lain di luar kota. Kondisi ini tidak disukai oleh beberapa kelompok geng pemuda yang saat itu banyak menjadi pendukung Arema. Lagipula pengaruh pihak keamanan (kepolisian dan tentara) dalam Arema Fans Club sangat kental, sehingga menambah sikap antipati arek-arek Malang terhadap Arema Fans Club. Beberapa kelompok geng pemuda yang semula saling bertikai berkumpul untuk membahas penolakan terhadap Arema Fans Club. Penolakan geng-geng pemuda terhadap Arema Fans Club muncul karena keinginan untuk tidak disetir oleh Yayasan PS Arema (klub), apalagi saat itu ada isu bahwa Arema Fans Club ini memiliki “bau” aranet (tentara) dan silup (polisi), musuh utama geng-geng pemuda.

Medio 1994 Aremania muncul, belum jelas siapa dan darimana inisiator nama Aremania. Kata “Aremania” berasal dari “Arema” dan “Mania”, sebuah frase simbol fanatisme pendukung Arema. Suporter Arema yang pada dasarnya memiliki basis geng-geng pemuda dari berbagai wilayah kota Malang bersatu dalam satu identitas “Aremania” dan salam “satu jiwa”. Sikap independen Aremania terwujud pada tidak adanya pemimpin di dalam tubuh Aremania, pimpinan tertinggi adalah musyawarah mufakat dari korwil-korwil Aremania yang ada di Malang. Pembubaran Arema Fans Club sebagai instrumen suporter berbasis pada korwil tidak serta merta menghilangkan dukungan terhadap Arema. Sistem korwil (koordinator wilayah) menjadi peninggalan dari Arema Fans Club pasca pembubarannya, walaupun struktural di atas korwil secara resmi dihapuskan.

Berbagai korwil Aremania hadir di stadion membawa bendera dan desain pakaian sendiri-sendiri, dengan menitikberatkan pada warna biru, gambar singa, dan pernak-pernik lain yang membedakan dengan kelompok lain. Di dalam stadion setiap korwil Aremania memiliki wilayah sendiri-sendiri, korwil yang beranggotakan banyak orang jelas memiliki wilayah terluas di tribun stadion, sementara korwil-korwil kecil pada akhirnya masuk menjadi bagian di korwil besar tersebut. Adu kreatifitas menjadi pertarungan utama bagi kelompok-kelompok arek Malang di dalam stadion. Semula mereka saling beradu dalam bentuk desain bendera dan pakaian, selanjutnya setelah Juan Rodriguez “Pacho” Rubio bermain di Arema, persaingan mereka melebar dalam bentuk nyanyian dan tarian. Setiap korwil selalu berusaha untuk menyajikan sesuatu yang baru dan diterima oleh khalayak ramai penonton Arema. Oleh karenanya mereka berusaha mencipta yel-yel baru dan tarian-tarian baru untuk mendukung kesebelasan Arema.

Apa yang dilakukan kera-kera Ngalam ini berbuah positif. Termotivasi oleh keinginan untuk membedakan diri dengan karakter arek Suroboyo yang bondho nekat, Aremania berusaha melepaskan diri dari image brutal dan anarkis yang dulu pernah melekat erat. Kreatifitas dalam mendukung Arema di dalam stadion serta sikap santun kala melakoni tour ke luar kota berbuah apresiasi dari Agum Gumelar berupa penyerahan gelar The Best Supporter untuk pertama kalinya di Indonesia kepada Aremania pada tahun 2000. Apresiasi lain juga muncul dari luar kota Malang, banyak komunitas suporter lahir di kota-kota lain seperti The Jakmania di Jakarta, Slemania di Sleman, dan Pasoepati di Solo yang terinspirasi oleh Aremania. Pada akhirnya, sesuai dengan harapan pendirinya bahwa Arema akan mampu menjadi penyalur potensi yang dimiliki arek Malang telah terwujud. Ada rasa bangga yang lebih dari sekedar mendukung klub sepakbola, yakni tentang identitas diri dalam lima huruf A-R-E-M-A. Oleh karenanya, jangan heran apabila kata “saya orang Malang” atau “aku arek Malang” jarang terucap dari perantau asal Malang, tapi “ayas Arema!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun