Mohon tunggu...
Mohammad Iqbal Fardian
Mohammad Iqbal Fardian Mohon Tunggu... -

Pendidikan Terakhir saya Pasca sarjana Universitas Jember, Magister Ekonomi Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi Teori W.Edward Deming dalam Dunia Pendidikan

4 Desember 2012   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:12 2814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : M.Iqbal Fardian

Saya mungkin adalah salah yang tidak percaya bahwa untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia atau dimanapun saja, hanya dengan menyerahkan kepada ilmu keguruan saja. Memang konstribusi ilmu keguruan dalam mengatasi masalah pendidikan tidaklah kecil. Namun dalam beberapa bagian masih diperlukan disiplin ilmu lain dalam mengatasi kompleksitas masalah yang dihadapi. Salah satunya adalah Ilmu pendidikan harus berkolaborasi dengan misalnya dengan ilmu ekonomi ( management, Ekonomi pembangunan, dan akuntasi, ataupun dengan ilmu- ilmu yang lain. Khususnya nya ilmu management, dunia pendidikan nampaknya memang harus melakukan fabrikasi systemic antar kedua disiplin ilmu tersebut.

Dalam tulisan singkat saya kali saya mencoba untuk menyampaikan gagasan, yang entah gagasan ini adalah gagasan yang pertama kali atau gagasan yang sudah disampaikan banyak ilmuwan sebelumnya. Gagasan pokok yang ingin saya sampaikan adalah perihal sebuah teori management modern yang diperkenalkan seorang ahli statistic Amerika yang memiliki gelar PhD dalam bidang Fisika yang bernama W.Edward Deming. Barang kali tokoh ini terasa asing di dunia kependidikan.

Menjadi sangat fonumenal karena pengaruhnya sebagai teoriktikus manajemen di Barat, namun justru Populer di Jepang sejak Tahun 1950. Deming mulai memformulasikan idenya pada tahun 1930-an. Ketika dia mencoba menghilangkan variabilitas dan pemborosan dalam proses produksi. Deming mengunjungi Jepang pada tahun 1950-an ketika dia diundang untuk mengajarkan teorinya di Jepang yang mengalami kehancuran akibat Perang.

Ayunan langkahnya dimulai ketika dia memberikan rekomendasi berupa penyelidikan terhadap apa yang diinginkan pelanggan mereka. Deming mengajurkan agar mereka mendesign metode produksi serta produk mereka memiliki standard tertinggi. Melalui konsep Deming inilah jepang selanjutnya mereka sebut sebagai Total Quality Management (TQM).

Singkat kata nampaknya dunia pendidikan memang harus mencoba melirik untuk mengimplementasikan konsep ini kedalam instutusi pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Beberapa decade yang lalu memang terdengan tentang penggunaan konsep ini di dunia pendidikan. Namun hiruk pikuk nya lambat laun seolah menghilang. Gerakan mutu terpadu dalam dunia pendidikan memang terbilang masih baru. Hanya sedikit literature yang memberikan perjalanan implementasi TQM di Indonesia, hingga bagaimana progress nyamasih belum dapat diketahui secara pasti.

Apa sih sebenarnya TQM itu ? TQMadalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap instusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang (Edward Salis: 2006).

Muncul sebuah pertanyaan dalam implementasi secara implementasi. Apakah perangkat teoritis tentang tentang TQM dapat diadaptasikan dari proses produksi kedalam institusi pendidikan seperti sekolah.Perbedaan karakteristik antara keduanya memanf berbeda. Pendefinisian mutu produk berbeda dari pendefinisian mutu jasa layanan pendidikan. Karena kita dapat dengan mudah melihat secara fisik ketika terjadinya mutu produk yang rusak, karena hal ini dapat dirunut dari kesalahan komponen dan bahan yang bermutu jelek. Sementara mutu jasa yang jelek dapat ditelusuri dari kelakuan atau sifat pekerja.

Berikutnya secara metodologis jasa juga berbeda dari proses produksi. Perbedaan paling mencolok terletak padadalam jasa terdapatnya hubungan langsung antara pemberi jasa dengan orang yang membutuhkan jasa. Sementara dalam produksi barang tidak demikian adanya.Selanjutnya perbedaan lainnya adalah jasa tidak bisa ditambal atau diperbaiki tidak seperti barang yang masih dapat diperbaikiketika terjadi kerusakan.

Selain itu perbedaan konseptual juga terjadi pada apa yang menjadi produk dari lembaga pendidikan.Ada yang beranggapan bahwa produk yang dihasilkan sebuah lembaga pendidikan adalah siswa. Jika kita mengikuti alur berpikir ini maka yang akan terjadi sebuah kesulitan tersendiri dalam penentuan bagaimana menstandarisasi input dari lembaga pendidikan. Beberapa sekolah bisa saja melakukan dengan menggunakan seleksi penerimaan siswa baru. Tetapi bagi sekolah sekolah yang pilihan input yang sangat terbatas akan menjadi kesulitan tersendiri.

Dengan melihat posisi demikian konsepsi awal yang menjadikan siswa yang dianalogikan sebagai masukan awal, menjadi tidak relevan lagi.Karena menghasilkan pelajar dengan standard jaminan tertentu adalah hal yang sangat sulit. Letak kesulitannya adalah bahwa manusia tidak sama, dan mereka berada dalam dalam situasi pendidikan dengan pengalaan, emosi dan opini yang tidak bias disama ratakan. Ide tentang pelajar sebagai produk menghilangkan kompleksitas proses belajar dan keunikan setiap individu pelajar.

Lantas apa yang seharusnya digunakan sebagai produk dari lembaga pendidikan. Pendapat yang lebih masuk akal yang berpendapat bahwaproduk lembaga pendidikan itu adalah jasa layanan pendidikan yang ada disekolah itu sendiri. Dalam posisi ini kita akan melihat bahwa pendidikan sebagai jasa layanan dan bukan bentuk produksi. Perbedaan antara produk dan jasa layanan adalah sangat penting, sebab ada perbedaan fundamental antara keduanya yang akan melahirkan tentang bagaimana mutu keduanya dapat dijamin.

Implemtasiteori dari W.Edward Deming ini memang tidak semati mata harus menggunakan nama TQM. Beberapa organisasi memasukkan filsofi TQM dengan menggunakan nama mereka pilih. Ada yang member nama Total Quality Control, Total Quality Service, Quality First dan lain sebagainya. Namun pada intinya semua nama tersebut merujuk pada sebuah metode perbaikan mutu terus menerus.Salah satu tokoh yang tidak bias kita anggap sepele dalam merumuskan tentang mutu adalah Philip Crosby, menurutnya terlalu banyak pemborosan dalam system saat mengupayakan peningkatan mutu. Kesalahan, kegagalan dan pemborosan serta penundaan waktu adalah perilaku yang tidak bermutu.Maka diperluakan sebuah system untuk menaggulanginya dengan semboyan zero defect (Tanpa cacat). Gagasan bahwa peningkatan mutu semacam ini menarik untuk dapat di implementasikan di dunia pendidikan. Selanjutnya Crosby menyampaikan bahwa mutu itu adalah gratis ( quality is free) artinya jika perbaikan mutu dilakukan secara terus menerus mulai dari awal hingga akhir maka akan mengurangi kemungkinan kegagalan dan biaya yang ada padanya merupakan biaya yang inheren sistemik yang melekat pada proses yang dilakukan. Tidak perlu biaya lagi untuk mendapatkan mutu.

Genderang Zero Deffect menarik untuk di implementasikan dalam pendidikan dalam metode ini mampu memberikan jaminan kepada pelajar untuk dapat memperoleh kesuksesan dan mengembangkan potensi mereka secara optimal. Hal ini bias dilakukan sejak awal sejak mereka mulai mendaftarkan didri di sekolah, dalam proses pendidikan hingga dia menyelesaikan masa studinya. Siswa mendapatkan pelayanan bermutu dari sekolah sesuai dengan apa yang seharusnya dia dapatkan sebagai customer.

Paradigmanya berubah dari Institusional Oriented menjadi customer iriented. Artinya paradigm lama bahwa mutu itu merupakan ssuatu layanan yang memuaskan dalam versi sekolah tetapi berubah menjadi memuaskan dalam versi customer. Ambil contoh, guru memaki-mak dan menghukum secara keras murid bias jadi memuaskan guru dalam sekolah, tetapi apakah perlakuan tersebut dapat memuaskan siswa sebagai customer ? tentu tidak.Dengan model pendekatan yang customer driven semacam inisekolah dengan sendirinya akan menahan diri dari perbuatan perbuatan yang tidak bermutu yang dapat menghacurkan kepercayaan pelanggan kepada sekolah.

Dengan model perbaikan mutu yang terus menurus mulai dari awal hingga akhir disatu sisi akan menguntungkan sekolah untuk meningkatkan Competitive Adventage. Artinya ketika sekolah dapat memuaskan pelanggan maka dengan sendirinya pelanggan berada dalam kendali kita. Kualitas atau mutu yang baik akan memungkinkan kita dapat menjual produk jasa dengan harga lebih tinggi tanpa kita harus kawatir pelanggan beralih kepada competitor.

Implementasi teori ini memang tidak mudah diperlukan komitmen yang kuat untuk merealisasikannya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perubahan paradigm dan cultur di lembaga pendidikan. Penciptaan kultur mutu Quality-centered culture dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini quality-centered culture bukan saja hanya berisi komitmen kososng tatapi hal ini merupakan suatu perjalanan, proses dan juga cara berpikir. Adapaun tujuannya adalah memerikan ruang perbaikan yang terus menerus kepada sekolah untuk melaksanakan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Selain komitmen berupa team work commitment karena metode inimerupakan proses yang harus bias dievaluasi secara akurat maka diperlukan standarisasi dari perlakuan perlakuan yang bermutu yang dapat di jalankan oleh semua stake holder yang ada di sekolah.

Inilah sekelumi gagasan yang bisa saya hadirkan dalam mengisi ruang untuk turut serta dalam proses pembangunan bangsa dalam bidang pendidikan. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun