Mohon tunggu...
Cahyo Prasongko
Cahyo Prasongko Mohon Tunggu... Guru - Guru

saya adalah pengajar di SMP Katolik St. Yustinus de Yacobis, juga seorang Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Sidoarjo

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dilema Seorang Guru Penggerak di Sekolah Swasta

3 Desember 2022   17:00 Diperbarui: 3 Desember 2022   17:00 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan program Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Sidoarjo telah berakhir pada tanggal 26 November 2022. Program yang seharusnya selesai dalam waktu 9 bulan namun karena suatu hal maka baru selesai setelah 14 bulan kemudian. Suatu perjalan panjang yang harus dilalui oleh seorang Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 4 Kabupaten Sidoarjo. Selain aktivitas pengisian LMS (Learning Manajemen System) yang telah disediakan, seorang CGP juga harus menjalani 9 Lokakarya dan 8 Pendampingan Individu. Ada 1 orang Fasilitator dan 2 orang Pengajar Praktik yang siap mendampingi.

Penulis bersama 13 rekan lain didampingi oleh Pengajar Praktik Bapak Muammal Jasin, M.Pd dan Bapak Muhammad Hari Purnomo yang luar biasa dan selalu memberi energi positif bagi penulis dan rekan-rekan dalam mewujudkan Pembelajaran yang berpihak pada murid dan juga dukungan keluarga serta Kepala Sekolah masing-masing.

Lokakarya 9 merupakan puncak dari pelaksanaan program Guru Penggerak dimana bisa dikatakan dengan berakhirnya Lokakarya 9 maka berakhir pula program Guru Penggerak tersebut. Perasaan haru, Bahagia dan kebanggan tersendiri bagi kami yang telah menyelesaikan program tersebut. Namun, dengan berakhirnya program bukan berakhir pula tugas seorang Guru Penggerak karena Guru Penggerak diwajibkan untuk bisa mengembangkan diri sendiri dan orang lain, menjadi pemimpin pembelajaran, pemimpin manajemen sekolah serta memimpin dan mengelola program sekolah yang berdampak pada murid.

Bukan lah pekerjaan yang mudah untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Diperlukan dukungan penuh dari semua pihak yaitu Kepala Sekolah, Yayasan (bagi yang bekerja di sekolah swasta), Komite serta masyarakat sekitar. Jika terjalin hubungan yang sinergis diantara semua komponen tersebut, maka menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak bukanlah persoalan rumit.

Dengan disandangnya predikat Guru Penggerak, selain memunculkan kebanggaan tersendiri bagi sekolah karena gurunya terpilih dari sekian banyak calon yang mendaftar mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak juga memunculkan kegelisahan karena dikuatirkan gurunya tersebut akan meninggalkan sekolah yang selama ini selalu memberi kesempatan serta dukungan dalam pengembangan karier bagi guru yang bersangkutan. Guru Penggerak tersebut akan mengikuti program yang diluncurkan oleh Pemerintah misalnya dengan mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Jika hal tersebut terjadi, maka merupakan suatu kerugian yang besar bagi sekolah swasta. Memang semua nya itu kembali pada diri Guru tersebut, namun harapan untuk memperbaiki hidup akan mendorong seorang Guru Penggerak di sekolah swasta untuk berpindah tempat.

Harapan pemerintah untuk memajukan Pendidikan bukan tidak mungkin justru menjadi buah simalakama bagi sekolah swasta karena kehilangan tenaga potensial yang diharapkan mampu membawa perubahan Pendidikan seperti harapan Pemerintah. Selama tidak ada regulasi atau kebijakan yang berpihak pada sekolah swasta maka ancaman untuk terus kehilangan tenaga potensial akan terus ada.

Mungkin hal ini tidak terpikirkan lebih dalam, dan menjadi tidak mungkin akhirnya Yayasan selaku pemilik Sekolah Swasta akhirnya bersikap dengan cara memberikan aturan tegas bagi pegawainya misalnya memberhentikan pegawainya jika kedapatan mengikuti seleksi PPPK, atau saat mengikuti program Guru Penggerak namun pada saat yang sama mengikuti seleksi PPPK maka selain dikeluarkan juga tidak membantu semua hal terkait proses pelaksanaan program Guru Penggerak.

Besar harapan Penulis agar kiranya kejadian “bedol sekolah” tidak terjadi sehingga Pendidikan antara sekolah negeri dengan sekolah swasta dapat berjalan beriringan karena sama-sama memiliki tenaga-tenaga potensial Guru Penggerak yang sungguh-sungguh dapat membawa perubahan dan mewujudkan program sekolah yang berdampak pada murid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun