"Ya, kalian orang-orang berhati mulia akan kami jemput untuk kami antar ke surga. Sebab, bumi akan kiamat. Dunia akan dimusnahkan sebentar lagi,"
"Orang mulia? Aku orang mulia? Yang benar saja," sahut ku.
Meski sering mengumandangkan adzan, aku tetap tak merasa mulia. Kemarin di bioskop, aku beradu lumat lidah dengan seorang kawan perempuan. Seminggu yang lalu, hal yang sama kulakukan dengan kawan perempuan yang lain. Jadi, dari mana aku bisa dibilang mulia? Menggelikan.
"Siapa yang akan memusnahkan bumi?" aku bertanya dengan sedikit senyum geli. "Tuhan," jawab dia.
"Dhuar!" guntur berbunyi mantap selepas kilat berkelebat. Gerimis turun. Seolah-olah, fenomena alam tersebut menjadi suara latar dari jawaban sosok yang mengaku peri: tuhan, sepersekian detik sebelumnya.
"Tuhan yang mana?" aku mencoba tetap tenang dan berwajah santai, meski jujur, aku mulai agak merinding.
"Tuhan ku dan Tuhan mu,"
"Dhuar!" guntur kembali bergemuruh. Kali ini lebih bergema. Rintik hujan lebih deras.
"Tapi, Tuhanku tak pernah sekalipun mengaku kalau punya makhluk sepertimu. Tuhanku tak pernah berkata bahwa orang-orang mulia akan dijemput peri naik ke langit. Dan Tuhanku tak pernah bilang kalau akan mengirim ciptaan yang serupa perempuan bugil bersayap untuk menemui seorang lelaki di serambi masjid. Semua tidak ada di kitab suci,"
Aku agak berdalil. Mendengar ucapanku sendiri, aku sedikit bangga. Tak disangka, aku bisa berucap sedemikian berani dan bijak.
"Kau banyak omong!"