Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seeing is Believing : dari Aspirin, Gayus, hingga Taufik Ismail

14 November 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:38 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali berkunjung ke Spring 8, Hyogo, Jepang, saya selalu tergelitik dengan tulisan yang jelas terpampang di kantor atau brosur-brosur  mereka : Seeing is Believing. Moto ini juga rasanya melekat hampir di setiap orang, yang kadang tidak bisa percaya begitu saja jika tidak dibarengi dengan melihat/menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Seeing is believing ! Karea kita melihat, maka kita (lebih) percaya!, begitu kira-kira pesan yang ingin disampakan. Pasca beredarnya foto "mirip Gayus" yang tengah asik nonton tenis di Bali, saya menjadi makin tergelitik dengan moto ini. Betapa tidak, dengan melihat langsung bahwa Gayus begitu mudahnya "jalan-jalan" meskipun sedang dalam belenggu tahanan, membangunkan kepercayaan kita tentang bobroknya sistem hukum di negara ini dengan banyaknya mafia hukum bergentayangan hingga ke level sipir penjara. Saya kemudian mengerti makin dalam, kenapa Spring 8, sebuah sinkroton generasi ke-3 terbesar di dunia, menggunakan kalimat ini sebagai moto mereka. Spring 8 memfasilitasi para peneliti dan penggiat sains untuk bisa "melihat" secara langsung objek penelitian mereka di tingkat paling kecil, yakni atom. Dengan melihat bagaimana atom-atom menyusun objek tersebut, maka makin mendalam tingkat pemahaman kita tentang objek tersebut. Tingkat pemahaman yang tentu saja membangun kepercayaan kita lebih tinggi tentang apa yang (bisa) dilakukan oleh objek tersebut. Cerita tentang Aspirin mungkin bisa membuat imajinasi kita lebih baik tentang "seeing" dan "believing" ini. Obat yang biasa digunakan untuk menahan rasa nyeri, demam dan anti peradangan ini pada prinsipnya bekerja dengan menghambat produksi senyawa prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh kita oleh enzim yang bernama : siklooksigenase. Pemahaman mekanisme tersebut awalnya sangat kabur, hingga kemudian teknologi sinkroton memfasilitasi membaca misteri alam tersebut. Lewat teknik X-ray kristalografi yang difasilitasi oleh teknologi sinkroton, orang akhirnya bisa "melihat" secara langsung bentuk enzim siklooksigenasi tersebut, dari bentuk ini mereka juga bisa mengerti bagaimana enzim ini bekerja. Teknik ini memberikan "potret" keberadaan cekungan/rongga (cavity) dalam struktur enzim yang berfungsi untuk menagkap bahan baku (substrat) yang digunakan untuk pembuatan prostaglandin (salah satunya). Jika rongga ini dihilangkan, enzim akan kehilangan kemampuan mensintesis prostaglandin karena ketidak mampuan mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan. Tapi tentu susah membuang atau menghilangkan cavity tersebut. Strategi lain yang bisa digunakan adalah : memblok atau menutup cavity atau merusaknya sekalian. Seperti gua yang kita tutup mulutnya dengan menggunakan batu besar, atau kita isi gua tersebut dengan batu-batuan hingga penuh yang memungkinkan benda lain tidak bisa memasukinya. Ide inilah yang mendasari kinerja aspirin. Aspirin akan masuk ke dalam cavity siklooksigenase, dan mengunci atau memblok rapat-rapat. Walhasil, karena cavity itu sudah terisi (oleh aspirin), bahan baku prostaglandin tidak bisa masuk lagi kedalamnya. Singkat kata, enzim pun tidak bisa bekerja lagi. Rasa nyeri, demam dan sejenisnya pun hilang dari kepala kita. Fasilitas sinkroton ( salah satunya di Spring 8) mampu menghasilkan X-ray tersebut dan kemudian bisa kita pakai untuk "melihat" secara langsung benda-benda (molekul) yang sedang kita amati, salah satunya enzim atau protein. Aspek "seeing" ini yang kemudian membuat kita lebih memahami secara mendalam dan akhirnya meningkatkan aspek "believing" kita. [caption id="attachment_72841" align="alignright" width="285" caption="http://www.indonesianewstoday.com/national/gayus-di-bali-gayus-was-seen-in-bali/"]

1289706179118734312
1289706179118734312
[/caption] Foto Gayus di Bali adalah aspek "seeing" dalam konteks yang lain. Sebagian dari kita tentu sudah merasa banyak dijejali dengan informasi maraknya mafia hukum yang membuat begitu nyamannya para pelanggar hukum tinggal dipenjara karena kekuatan uang mereka. Bagi sebagian kita, isu-isu ini mungkin masih dianggap gosip atau angin lalu saja. Tapi fakta foto Gayus tentu akan turut mentransformasi berbagai "gosip" tentang mafia hukum dan sejenisnya menjadi sebuah "fakta" yang harus kita percayai. Rasa terima kasih yang mendalam perlu kita sematkan kepada fotografer Kompas, Agus Susanto, yang memfasilitas "penglihatan" kita dalam membangun "kepercayaan" tentang keberadaan mafia hukum di negara ini. Sama seperti sinkroton di Spring 8 yang membangun rasa percaya saya tentang bentuk dan kinerja sebuah molekul, foto Gayus pun membuat saya (makin percaya) bahwa ada yang tidak beres dalam hukum negeri ini.Sebagai penutup, rasanya potongan bait puisi Taufik Ismail ini juga menjadi bagian fakta yang harus saya (juga) percayai !
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Champs Élysées dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.

*dikutip dari puisi : Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Taufik Ismail, 1998)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun