Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salaman Sunda Ala Pak Tifatul

11 November 2010   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_72439" align="alignright" width="179" caption="TV one/vivanews"][/caption] Saya ikut kaget ketika melihat Metro TV mengulas  'insiden' salaman antara Menkominfo Tifatul Sembiring dengan judul 'bombastis' : Dusta Tifatul !. Wajar saja jika kemudian mantan Presiden salah satu partai politik besar ini terlihat "marah" (cuma beliau yang tahu apakah marah atau tidak) lewat twitter-nya. Metro TV menurut beliau agak berlebihan dengan judul tersebut, karena beliau merasa tidak ada dusta dalam insiden itu (saya tampilkan saja laman twitter beliau tentang itu). Beruntun kemudian, Pak Tif (saya panggil saja demikian biar lebih akrab kesanya :D ) menyampaikan empat belas poin klarifikasinya terhadap hal tersebut. Lagi-lagi esensinya : tidak ada dusta yang muncul.

1289459520365556064
1289459520365556064
Bagi yang belum sempat membaca, saya transkripkan kembali 14 poin tersebut sebagai berikut : 1. Sy tetap pada pendirian/sikap utk tidak bersalaman dg wanita yg bukan muhrim. 2. Ini pandangan fikih Islam yg sy fahami. Sy juga tahu ada tokoh2 besar muslim yg tetap bersalaman dg wanita bukan muhrim, itu urusan ybs. 3. Namun kadang2 ada situasi terdadak (tiba2) atau bertemu dg org2 yg tidak tahu sikap saya ini. 4. Biasanya dalam situasi acr kenegaraan atau kadang2 selepas mengisi pengajian di majelis taklim, ada bbrp ibu2 yg berebut mau bersalaman. 5. Dalam keadaan begitu, sentuhan dan bersalaman tdk bisa saya hindari. Saya memaklumi situasinya, hal ini tdk merubah pendapat sy semula. 6. Inilah yg terjadi ketika bertemu bu Michele Obama, beliau tamu negara, sy agk menahan tangan Obama saat bersalaman, lalu sampaikan pesan. 7. Menyusul dg Bu Michele, ini yg saya sebut dg situasi terdadak. Saya majukan 2 tangan, spt cara org Sunda bersalaman. 8.Dan terjadilah insiden salaman itu. Setelah kembali ke kantor, sy baca di twitter ada mention dari @unilubis. 9. Kok Tifatul bersalaman dg bu Michele, tapi kalau dg kita2 perempuan tidak mau bersalaman. 10. Saya jawab di TL sy: Sdh ditahan 2 tangan, eh bu michele nya nyodorin tangannya maju banget...kena deh. @unilubis jadi tersungging..? 11. Saya merasa heran juga hal ini kemudian dikembangkan dan menjadi berita internasional. 12. Fadjroel menuduh sy bohong, ini orang tdk pernah saya layani lagi, sy block, sebab selalu berpandangan negatif thd apapun yg sy lakukan. 13. Lalu Metro TV mengulasnya, menurut saya agak berlebihan dg membuat judul "Dusta Tifatul". TIDAK ada dusta disitu, itu prinsip saya. 14. Dlm situasi tertentu ada hal2 yg saya tolerir dan hal tsb dalam Islam tdk termasuk Kabair (dosa2 besar). Mudah2an teman2 memakluminya. Awalnya, saya berfikir klarifikasi akan menyelesaikan masalah. Tapi rupanya, Pak Tif sepertinya alpa bahwa masalah ini melebar bukan karena "jabat tangannya", tapi karena sanggahan beliau bahwa beliau menjabat tangannya karena "dipaksa" oleh Sang First Lady. Versi Pak Tifatul, tangannya dia sudah tahan sedemikian rupa, tapi tangan Michele terlalu maju hingga akhirnya "tersentuh" (baca: salaman). Saya tampilkan saja jawaban Pak Tif di twitternya tentang ini, mohon koreksi jika saya salah memahaminya.
12894597891189335103
12894597891189335103
Sanggahan ini jadi menarik, karena faktanya di video dan foto yang beredar luas, yang terjadi justru sebaliknya. Pa Tif yang menyodorkan tangan terlebih dahulu (dengan merendahkan badan). Jika merujuk pada poin nomor 12 klarifikasi di atas, beliau berdalih itu gaya orang sunda. Saya coba cek rekan-rekan saya yang juga banyak orang sunda, plus saya sendiri lama hidup di tanah sunda. Agak janggal rasanya jika menganggap gaya itu sebagai gaya salaman orang sunda. Bagi yang lebih faham "gaya salaman sunda" ini, silahkan cek langsung di video ini (silahkan mulai dari detik menit ke 1:00 supaya lebih jelas kronologisnya). Saya pun jadi ingat mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono yang juga saya tahu persis berprinsip sama dengan beliau, yakni tidak menyentuh langsung saat bersalaman dengan lawan jenisnya yang bukan mukhrim. Beda dengan Pak Tif, Pak Anton benar-benar menggunakan "sunda style" dalam menghindari sentuhan tersebut. Dua tangannya sudah dia siapkan tertangkup di dadanya  (bukan cuma orang sunda sebenarnya yang menggunakan style seperti ini sebenarnya, orang India atau Thailad pun sama-sama menangkupkan kedua tangan didadanya). Gaya orang sunda seperti yang ditunjukkan oleh Pak Anton ini yang saya kenal, sementara gaya Pak Tif seperti ditunjukkan di video atau foto jujur saja masih begitu asing buat saya. Kejanggalan ini pula yang (mungkin) dilihat oleh publik atau media massa. Sehingga metro TV lalu menuduhnya sebagai bentuk "kedustaan" (memang kebangetan juga sih pilihan kata yang digunakan Metro TV :D). Saya sangat yakin, banyak orang menghargai prinsip-prinsip yang dipegang Pak Tif, termasuk diantaranya soal sentuh-menyentuh saat bersalaman ini. Jika Pak Tif dari awal cukup klarifikasi seperti poin nomor 14 di atas ( dalam situasi tertentu (dan mendesak/mendadak) ada hal-hal yang beliau toleransi karena tidak termasuk dosa besar dalam Islam), tentu publik akan makin memahami dan bahkan akan makin terdidik bahwa Islam tidaklah sekaku itu. Beliau tidak perlu membangun segudang "sanggahan" yang terkesan "janggal" bagi banyak fihak termasuk misalnya dengan dalih "gaya sunda". Saya berfikir positif bahwa Pak Tif tidaklah berdusta (saya hormati beliu yang sosok ustadz besar tentu saja). Gaya sunda yang beliau "tampilkan" saat bersalaman, mungkin lebih dikarenakan karena beliau memang tidak begitu faham budaya sunda. Tentu berbeda dengan Pak Anton yang lahir di Serang Banten plus berkuliah dan bekerja bertahun-tahun di Bogor. Sisi "sunda"-nya tentu lebih kental ketimbang Pak Tif yang dari pulau seberang. Saya berfikir positif, karena perbedaan ini saja sehingga gaya "salaman sunda" Pak Tif jadi terkesan janggal, meski memang beliau sudah berusaha untuk mencoba mencegah adanya kontak langsung. Dalam konteks ini, maka saya coba sampaikan akar masalahnya ke beliau lewat twitter yang berisi tiga poin pokok. Pokok pertama, penghargaan atas klarifikasinya sebagai upaya menjernihkan masalah. Ini penting karena kalau tanpa klarifikasi, fitnah akan makin tersebar. Kedua, mengingatkan pokok masalahnya seperti saya sampaikan di atas agar beliau tidak alpa bahwa sisi kedustaan yang dituduhkan (atau di-fitnahkan) ke beliau itu muncul karena sanggahan beliau. Dan terakhir, saya menyampaikan penghargaan dan apresiasi saya terhadap prinsip dan pemahaman fiqih yang beliau pegang tentu saja, sebagaimana juga dalam beberapa hal saya memiliki kesamaan pemahamaan dengan beliau. Meski tanpa berbalas (emang siapa guwe minta ditanggapin Pak Mentri :D), tapi saya yakin beliau bisa membacanya dengan baik dan tenang dan tidak menghukum "kelancangan" saya dengan meng-unblock seperti yang beliau lakukan terhadap Fadjrul Rahman :D. Terakhir, selamat hari pahlawan untuk warga Kompasiana, mari berbuat lebih banyak untuk negeri ini dengan tidak terus memperpanjang masalah "salam-salam"an ini. Merapi dan Mentawai lebih butuh mata, telinga, dan tangan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun