Terdapat tiga pilar utama dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan dan menanggulangi dampak negatif perubahan iklim, yaitu memastikan adanya akses terhadap energi modern, meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi global, dan yang terakhir adalah meningkatkan efisiensi energi di dunia[1]. Logis saja, dengan adanya akses terhadap energi modern, standar kehidupan masyarakat menjadi lebih tinggi dan lebih layak, mendukung untuk pembangunan manusia yang lebih tinggi. Sedangkan meningkatkan porsi energi terbarukan erat dan langsung kaitannya denagn pengurangan emisi gas rumah kaca yang menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan mengancam kelayakan dan ketahanan hidup kita. Lalu poin terakhir, yaitu efisiensi energi – bagaimanakah hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan?
Efisiensi energi sendiri dapat diartikan sebagai penggunaan energi yang lebih sedikit untuk mencapai hasil yang sama. Misalnya, pemilihan penggunaan lampu LED dibandingkan dengan lampu pijar – lampu LED merupakan lampu yang paling hemat energi dibanding yang lain karena menggunakan daya (dihitung dalam satuan watt) yang lebih kecil untuk menghasilkan kadar keterangan yang sama. Lampu LED hanya membutuhkan 4 watt untuk menghasilkan keterangan yang sama dengan lampu pijar berdaya 25 watt. Praktis, selama masa hidup lampu tersebut, jumlah listrik yang digunakan akan jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah listrik yang dibutuhkan lampu pijar.
Memahami hal tersebut, dapat kita kembali menyambungkan hubungan efisiensi energi dengan pembangunan berkelanjutan – karena dengan program-program efisiensi energi, jumlah energi yang diperlukan akan berkurang. Jika peningkatan sumber energi terbarukan dalam bauran energi total merubah sisi suplai atau penawaran, “bermain” dengan efisiensi energi merubah sisi permintaan. Jika dilakukan bersama-sama, hal ini tentu akan memastikan keandalan energi untuk masa depan yang berkelanjutan dan lebih baik.
Jangan sepelekan efisiensi energi – menurut International Energy Agency, inisiatif-inisiatif efisiensi energi di tahun 2015 setara dengan menghemat 870 juta barel minyak, 205 juta ton batubara, atau 224 miliar meter kubik gas bumi! Dengan turunnya energi yang dipakai tersebut, emisi gas rumah kaca potensial berkurang sebesar 1,5 giga ton atau sama dengan 13% dari total emisi karbon diokisa dari pembakaran bahan bakar di tahun 2015.
Jika kita lihat grafik perbandingan kebutuhan energi tanpa dan dengan konservasi energi, dapat dilihat bahwa jika tanpa program-program efisiensi energi, kebutuhan energi di negara-negara yang tergabung dalam IEA akan lebih tinggi 12% daripada kebutuhan yang ada sekarang.
Hal lain lagi ialah konservasi energi. Walaupun secara tujuan dan konsep sedikit banyak mirip, konservasi energi juga mencakup perubahan kebiasaan dari pengguna energi. Misalnya, jika kita sudah membeli lampu LED dibanding lampu pijar (yang menunjukkan semangat efisiensi energi), kita juga jangan lupa untuk memiliki kesadaran untuk mematikannya di siang hari agar energi yang dipakai lebih sedikit lagi. Kedua hal ini sangatlah berkaitan dan dibutuhkan dalam mengurangi kebutuhan dan pemakaian energi dari pengguna.
Intensitas dan elastisitas energi
Intensitas energi diartikan sebagai alat ukur efisiensi energi dalam ekonomi suatu bangsa. Intensitas energi dihitung dalam unit energi per unit Produk Domestik Bruto (PDB) – semakin tinggi sebuah indeks intensitas energi berarti semakin banyak biaya yang dibutuhkan untuk merubah energi menjadi PDB atau semakin tingginya kontribusi sektor industri bagi keekonomian negara tersebut.
Sedangkan, elastisitas energi (RUEN 2017) merupakan rasio pertumbuhan konsumsi energi final dengan pertumbuhan PDB pada periode waktu yang sama. Semakin kecil nilainya, semakin efisien pula penggunaan energi negara tersebut dalam mendorong perekonomian – misalnya, elastisitas energi sebesar 0,6 berarti untuk meningkatkan 1% PDB, hanya dibutuhkan 0,6% kenaikan energi tambahan.
Kedua indeks diatas merupakan salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi energi suatu negara. Pada tahun 2015, menurut RUEN 2017, elastisitas Indonesia masih berada di angka 1,54 – yang berarti dibutuhkan kenaikan energi sebesar 1,54% untuk meningkatkan 1% PDB. Kedepannya, pemerintah telah berkomitmen dan beraspirasi untuk lebih membuat banyak efisiensi energi untuk perekonomian, terlihat dari target yang tertulis dalam RUEN dimana dari tahun ke tahun akan terus turun, terutama dari tahun 2015 hingga tahun 2030.
Aspek “bisnis” dalam konservasidan efisiensi energi
Lebih mudah mengaitkan konservasi dan efisiensi energi dengan lingkungan hidup dan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan segi bisnis. Tapi, tahukah anda bahwa menurut ACEEE, konservasi energi merupakan cara paling murah untuk memberikan akses listrik bagi masyarakat Amerika Serikat?
Seperti yang kita lihat pada grafik diatas, konservasi energi umumnya memiliki investasi yang paling rendah dan dapat menciptakan pengaruh yang paling signifikan, bahkan dibanding pembangkit listrik fosil seperti batu bara. Dikutip dari studi yang dilakukan oleh American Council for Energy Efficient Economy (ACEEE), di negara Paman Sam, jauh lebih ekonomis bagi perusahaan penyedia listrik untuk mengurangi pemakaian listrik pelanggannya, daripada menambah pembangkit listriknya. Rata-rata, untuk mengurangi pemakaian pelanggan sebanyak 1 kWh, hanya dibutuhkan 2.8 USD sen/kWh. Harga ini dua sampai tiga kali lebih murah dibanding membangkitkan listrik dengan jumlah yang sama.
Studi ini mengambil data bertahun-tahun dari program-program konservasi energi di Amerika yang terdiri dari berbagai macam inisiatif energi, dari mempromosikan lampu hemat energi, memberikan insentif untuk pembelian alat-alat hemat energi, sampai mensosialisasikan penerapan efisiensi energi di rumah-rumah dan kantor.
Di Amerika Serikat sendiri, perusahaan-perusahaan penyedia listrik sudah berinvestasi 7,2 milyar US Dollar per tahunnya untuk meningkatkan efisiensi energi. Dari investasi ini sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut sudah mendapatkan Return on Investment (ROI) yang luar biasa besar, terutama dibandingkan dengan biaya pembangkitan listrik.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, konservasi energi bukanlah hanya sebuah gerakan untuk “go green” belaka. Melainkan, konservasi energi adalah sebuah keputusan bisnis yang memiliki capital cost yang rendah dan juga berpotensi memiliki return yang tinggi!
Efisiensi energi dan kebijakan
Dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, kebijakan mengenai efisiensi energi dapat dikatakan sebagai kebijakan yang paling hemat biaya – tidak seperti pengembangan sumber energi terbarukan yang terkadang masih membutuhkan insentif finansial, atau pengembangan CCS yang masih membutuhkan proses perizinan dan kerangka hukum yang rumit, atau pemerataan energi yang membutuhkan pembangunan infrastruktur.
Sayangnya, pada hari ini masih banyak negara-negara yang belum mengadopsi target efisiensi wajib, yaitu 70% dari total negara yang dipelajari. Padahal sudah terdapat bukti dimana pengadopsian kebijakan efisiensi energi sudah membawa bukti konkrit – misalnya dengan adanya penerapan standar minimum bahan bakar minyak (BBM), di tahun 2015, minyak sejumlah 2,3 juta barel minyak tidak digunakan (sebagai komparasi, 2,3 juta barel BBM kira-kira sama dengan produksi minyak nasional di Brazil.
Contoh-contoh pengimplementasian kebijakan efisiensi energi adalah sebagai berikut:
- India –India berencana untuk mengimplementasikan “pajak hijau” sebesar 1% untuk mobil bensin, LPG, dan CNG; sebesar 2,5% untuk beberapa mobil diesel; dan 4% untuk mobil besar dan SUV. Dengan begitu, pembeli akan lebih memperhitungkan lagi jenis mobil seperti apa yang akan dia beli – diharapkan dari peraturan tersebut pembeli akan lebih memilih membeli mobil yang memiliki pajak yang lebih sedikit, yang secara energi paling efisien.
- Jepang- Jepang menerapkan standar efisiensi energi wajib bagi bangunan-bangunan baru non-residensial sejak tahun 2017. Jepang juga merencanakan menghilangkan lampu pijar dan lampu fluorescent pada tahun 2020, agar dapat menggunakan lampu yang lebih hemat energi.
- Amerika Serikat- memperkenalkan standar konservasi energi untuk air conditioner,pendingin, residential boilers,chargerbaterai, dan banyak lainnya. Untuk sektor industri juga diperkenalkan standar konservasi energi baru untuk pompa air bersih.
Di Indonesia, konservasi dan efisiensi energi juga bukanlah hal yang baru. Buktinya, dalam struktur pemerintah sendiri, konservasi energi secara struktural berada dalam lingkup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, secara khususnya dalam Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Selain itu, kebijakan wajib manajemen energi juga dituangkan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dan secara khususnya dalam Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi.
Potensi konservasi energi nasional pun juga masih sangat besar - sesuai dengan Draft Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN) 2011, potensi konservasi energi sektor industri dan komersial berada di kisaran 10 - 30%, 15- 30 % untuk rumah tangga, dan 15-35% untuk transportasi. Sesuai dari Studi Indonesia-DJLPE dengan Jepang-JICA di tahun 2008 pun juga terlihat bahwa pemakaian energi di Indonesia masih sangat boros.
Nah, melihat pentingnya efisiensi dan konservasi energi, dan melihat sebegitu potensialnya konservasi energi itu, bagaimanakah langkah konkrit yang dapat kita aplikasikan sehari-hari? Akan kita bahas lebih lanjut besok tetap dalam #15HariCeritaEnergi!
___
Referensi
[1] Konsep dasar ini merupakan misi utama dari Sustainable Energy for All, suatu organisasi kerjasama antara PBB dan World Bank.
___
Hari ke-dua belas dari #15HariCeritaEnergi
Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H