Kita sudah membahas tentang masa depan energi dimana diperlukan pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan agar tidak mengganggu kelayakan hidup dan menghindari dampak perubahan iklim yang lebih buruk lagi. Namun, pada kenyataannya kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pada hari ini sumber energi utama kita adalah energi fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Pasti diperlukan masa transisi dari sumber energi fosil menjadi sumber energi terbarukan – namun perlu dipikirkan suatu cara untuk menanggulangi emisi tersebut agar tidak menimbulkan dampak lebih lanjut perubahan iklim.
Lalu, apakah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi emisi tersebut?
Salah satu teknologi yang sedang marak dikembangkan akhir-akhir ini adalah carbon capture and storage (CCS) – teknologi untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida secara jangka panjang di suatu tempat penyimpanan dimana karbon dioksida tersebut tidak akan keluar ke atmosfir. Tempat penyimpanan tersebut misalnya formasi geologi dalam tanah. Setelah disimpan di dalam tanah, karbon dioksida tersebut tetap dimonitor baik kondisi bawah tanah atau subsurface-nya, kondisi permukaan tanahnya, serta udara sekitar fasilitas CCS agar memastikan keandalan proses tersebut.
Simak video dibawah ini untuk lebih memahami proses jalannya CCS!
Sebenarnya, konsep menginjeksi karbon dioksida kembali kedalam tanah bukanlah suatu hal baru. Konsep ini sudah dipakai dalam proses enhanced oil recovery, suatu proses untuk meningkatkan produksi minyak dalam operasi migas terutama di sumur-sumur tua. Namun yang berbeda dari proyek CCS ini adalah struktur penyimpanan geologis ini memang ditujukan untuk menyimpan karbon dioksida secara jangka panjang.
Proyek CCS pertama ialah penyimpanan karbon dioksida Sleipner di Norwegia yang mulai beroperasi di 1996. Selama sebelas tahun beroperasi, fasilitas yang terletak lepas pantai Norwegia ini sudah menyimpan 16,5 juta ton karbon dioksida! Fasilitas ini sebenarnya dibuat dalam rangka pengembangan proyek gas bumi, dimana dibutuhkan pengurangan kadar karbon dioksida dalam gas yang dijual untuk memenuhi spesifikasi gas yang dibutuhkan oleh konsumen. Sedangkan pada saat itu, Norwegia sudah meregulasi pajak untuk karbon yang dilepaskan ke atmosfir, sehingga jika karbon dioksida tersebut tidak diinjeksikan kembali ke dalam tanah, Statoil, perusahaan yang mengembangkan proyek migas tersebut, harus membayar pajak yang besar 1 juta krona per hari.
Hari ini, banyak proyek CCS yang sedang dalam tahap konstruksi. Salah satu proyek CCS yang paling besar ialah proyek CCS Petra Nova yang memiliki kapasitas injeksi karbon dioksida sebesar 1,4 juta ton per tahun.
Kebijakan CCS di dunia
Mari kita lihat beberapa contoh kebijakan tentang CCS yang ada di dunia.
Di Inggris Raya, terdapat kebijakan dimana pembangkit listrik tenaga uap (batubara) baru harus memasang modul CCS sebesar kapasitas pembangkit tersebut. Selain itu, pembangkit yang menghasilkan thermal yaitu pembangkit yang bersumber minyak, gas, biomassa, dan batubara, harus dirancang dengan kesiapan CCS atau CCS ready jika di masa depan diwajibkan pemasangan CCS.
Di Republik Rakyat Tiongkok, pemerintah RRT sudah mengidentifikasi CCS sebagai salah satu strategi utama untuk mencapai target lingkungan sejak tahun 2006. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah sudah melakukan studi-studi kelayakan serta melakukan pilot project di beberapa daerah.
Berdasarkan dengan survei yang dilakukan oleh Global CCS Institute yang menghitung kesiapan negara-negara di dunia untuk mengadopsi CCS, negara-negara yang secara teknis, hukum, dan kebijakan paling siap untuk mengadopsi CCS ialah Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Kesiapan CCS di Indonesia
Hari ini, belum ada proyek CCS yang sudah beroperasi di Indonesia. Bahkan, belum ada kebijakan yang secara spesifik membahas tentang CCS di Indonesia - bagaimana posisi pemerintah terhadap biaya yang dikeluarkan oleh investor CCS atau kontraktor migas yang mau memasang modul CCS dalam proyeknya, izin lingkungan apakah yang diperlukan, prosedur keselamatan apa yang harus diikuti, dan apakah aktivitas penginjeksian tersebut diperbolehkan.
Dalam Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak dituliskan secara eksplisit mengenai boleh atau tidaknya aktivitas CCS — bahkan menurut analisa Global CCS Institute nampaknya akan diperlukan persetujuan AMDAL sebelum mengembangkan proyek CCS di Indonesia.
Namun begitu, LEMIGAS sebenarnya sudah memulai studi kelayakan implementasi CCS di Indonesia, paling tidak secara kelayakan teknisnya. Dari studi tersebut dilihat bahwa beberapa basin-basin geologis di Indonesia sebenarnya cocok untuk penyimpanan karbon dioksida, dengan basin Kutai di Kalimantan menjadi basin yang paling cocok untuk penerapan proyek CCS, diikuti oleh basin Tarakan dan basin Sumatera Selatan jika diukur dari aspek teknis.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pengembangan CCS adalah biayanya yang masih tergolong mahal. Biaya untuk memasang modul CCS dalam suatu proyek pembangkit listrik bertenaga fosil, misalnya batubara, atau suatu proyek hulu migas akan mempengaruhi keekonomiannya. Untuk mengompensasikan hal tersebut, investor mungkin harus menyesuaikan harga jual akhir produk tersebut atau harga jual listrik sehingga dapat mencapai tingkat pengembalian ekonomi yang sama. Berbeda dengan kasus proyek CCS di Norwegia yang telah kita bahas diatas, tidak semua negara memiliki pajak atas emisi karbon. Hal ini membuat investor mungkin tidak merasa terdorong dan mendapatkan insentif jika ia melakukan CCS dalam proyeknya; toh jika emisi tersebut dibuang ke udara tidak ada rugi dan biayanya?
Kabar baiknya ialah terdapat tren yang melihat bahwa biaya CCS akan terus turun, seperti pada pengembangan energi angin dan surya. Namun, tidak cukup hanya mengandalkan biaya yang turun untuk mengembangkan CCS — menurut IEA dalam laporan A Policy Strategy for Carbon Capture and Storage, dibutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk kesiapan dan komitmen pemerintah dalam instrumen hukum negara yang mengatur, mendorong, atau bahkan memberi insentif untuk proyek CCS.
Melihat bahwa CCS dapat menjadi langkah penting untuk menanggulangi permasalahan emisi karbon dioksida dalam masa transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan, pengembangan CCS ini juga harus diperhatikan, menjadi sebuah aktivitas komplementer disamping pengembangan energi terbarukan.
—
Hari kesebelas dari #15HariCeritaEnergi
Informasi lebih lanjut mengenai sektor energi Indonesia dapat diakses melalui www.esdm.go.id!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H