Mohon tunggu...
Cahya Saputra
Cahya Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.

Singkatnya saya seorang mahasiswa yang sedang menggali dalamnya lautan pengetahuan, yang senantiasa menggali dan menghimpun pengalaman dan selalu menjadikan pengalaman sebagai guru bagi kehidupan. Sebenarnya saya tidak tau, layak atau tidaknya menerima label sebagai seorang mahasiswa, karena saya merasa belum bisa ikut berkontribusi bagi negara umumnya dan diri sendiri khususnya, karena menurut hemat saya, penamaan mahasiswa ini bukan sekedar embel-embel belaka, yang dinobatkan begitu saja kepada siswa yang berhasil mengikuti rangkaian kegiatan pengenalan lingkungan kampus, melainkan bagaimana kehormatan dan kebijaksanaan berfikir yang senantiasa menuntun untuk berfikir benar dan bertingkah laku benar, sehingga pada giliranya setiap orang yang bergelar "Mahasiswa" harus bisa membawa sedikitnya perubahan bagi diri sendiri, dan besarnya bisa berguna bagi kehidupan orang lain. Hallo, saya Cahya Saputra seorang putra yang lahir dari 2 orang terkasih, mereka adalah Aah Ahidin dan Lina Marlina, saya lahir pada 03 Mei 2005, Selasa. Saya gemar berfikir akan bagaimana kelak saya bisa hidup berguna, maka dari itu menulis adalah salah satu implementasi saya untuk berupaya mewujudkan tujuan hidup saya. Senantiasa "Bismillah", selalu diakhiri dengan "Hamdallah"

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mindset Overthinking Mengikis Psikis

28 September 2024   22:29 Diperbarui: 28 September 2024   22:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak abad ke-19 kesehatan mental menjadi satu kajian dalam ilmu kejiwaan yang
mulai dipetakan, seperti pada tahun 1875 M di Jerman. Kemudian pada abad ke-20
kajian mengenai kesehatan mental ini sudah mulai berkembang dan maju dengan
pesat sejalan dengan kemajuan ilmu dan perkembangan teknologi modern. Pada
mulanya kesehatan mental ini hanya diperuntukan untuk individu yang mempunyai
gangguan kejiwaan dan tidak diperuntukan bagi individu pada umumnya, jadi bagi
individu yang hanya mengidap gejala-gejala kejiwaan ini biasanya akan dipaksa
sembuh untuk sendirinya, dan jika terjadi gangguan kejiwaan barulah pengobatan
kesehatan mental ini harus dilakukan.
Pengobatan kesehatan mental ini mengalami perubahan ketika zaman Hipocrates
(460-367), ia beserta dengan para pengikutnya mengembangkan satu pendekatan
bernama "Naturalisme", yakni merupakan pandangan revolusioner dalam pengobatan
dan termasuk dengan kejiwaan, dalam hal ini Hippocrates mengungkapkan bahwa
"ketika ada seseorang yang memotong kepalanya, maka akan ditemukan otak
manusia yang berbau amis, dan tidak akan melihat roh atau dewa yang keluar dari
kepala orang itu" (Yusuf 2011), pada bagian ini Hippocrates berhasil memecahkan
satu pandangan orang primitif bahwa dalam dunia kesehatan tidak ada kaitan dengan
roh maupun sejenisnya. Kemudian dalam perkembangan yang berkelanjutan,
kalangan Kristen tidak menggunakan pendekatan naturalistik lagi dalam bidang
kesehatannya, melainkan dengan cara yang lebih rasional.
Philippe Pinel (1745-1826) merupakan seorang dokter asal Prancis yang
menggunakan filsafat dalam memecahkan masalah gangguan mental, beliau bekerja
di rumah sakit Bicetre, dimana orang yang mengalami gangguan kejiwaan akan
dirantai dengan kurun waktu yang lama dengan tujuan supaya tidak dapat menyakiti
orang lain dan dirinya sendiri. Kemudian pada tahun 1783 terjadi revolusi
penanggulangan gangguan kesehatan mental, dan pada masa inilah mulai adanya
psikologi abnormal dan psikiatri di Amerika. Dengan adanya perkembangan
pengobatan gangguan kesehatan ini menjadi pertanda bahwa manusia sejak dulu
1
sudah mengalami gangguan kesehatan, terlebih lagi di zaman sekarang banyak sekali
gangguan kesehatan mental yang dialami oleh segelintir orang penikmat zaman
modern, terlebih lagi dengan anak usia remaja yang rentan sekali mengalami
gangguan kesehatan mental, dengan dalih overthinking, patah hati dan segala hal
yang tercipta karena diciptakan oleh pribadinya masing-masing.

Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia yang dikutip dari Kompas.id
mengatakan bahwa per-19 Agustus 2024 tercatat 849 kasus bunuh diri, yang
didominasi oleh anak berusia remaja, salah satu faktor pemicu hal ini terjadi adalah
dengan adanya beban kognitif yang sangat besar sehingga seorang anak yang hendak
melakukan hal merugikan ini bisa nekad untuk melakukannya. Bunuh diri merupakan
satu pengambilan keputusan yang didasari oleh ketidakmatangan dalam berfikir, otak
yang berperan dalam pengambilan keputusan yang logis adalah bagian Cortex
Prefrontal, yang mana otak ini akan mengalami proses kematangan pada usia 21-23
tahun, sehingga benar adanya bahwa anak berusia remaja ini sangat rentan dalam
proses berpikir yang dapat mengakibatkan hadirnya satu keputusan yang amat
merugikan.

 
Menurut salah satu dosen dari fakultas psikologi Universitas Indonesia "Fisiologi
dan kimia otak orang muda meningkatkan kerentanan mereka sehingga lebih mudah
untuk mencetuskan ide upaya bunuh diri. Otak mereka belum sematang orang berusia
30 tahun" ujar seorang dosen bernama Adityawarman Menaldi, opini tersebut
memperkuat gagasan bahwasanya seorang anak akan mudah terbebani oleh pola
pikirnya sendiri. Seorang anak yang lahir dari keluarga yang bermasalah, pasti akan
sulit menjalani masa hidupnya apabila anak tersebut membungkam dan membiarkan
dirinya sendiri merasakan kegaduhan dalam pikirannya, sehingga hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus bunuh diri. Kemudian, faktor lain yang
didapati adalah dengan adanya tekanan mental dari orang tua seorang anak yang
dituntut harus hidup mandiri dan harus bisa meraih prestasi sebanyak mungkin, hal
ini lagi-lagi menjadi beban kognitif seorang anak yang kemudian akan mulai
2
kehilangan arah, dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan hingga kemudian
mencoba melakukan bunuh diri. Kemudian, disisi lain menurut World Health
Organization (WHO) seorang anak berusia 10 sampai 19 tahun adalah masa
perubahan biologis, psikologis, maupun sosial, termasuk mulai adanya ketertarikan
dengan lawan jenis. Analoginya, tidak sedikit remaja yang menghalalkan segala cara
hanya untuk menyenangkan pasangannya dengan berdalih atas nama cinta, tetapi
kemudian karena belum matangnya pola pikir yang dimiliki anak remaja akan sulit
untuk memecahkan segala permasalahan yang ada, yang pada akhirnya berakibat
merasakan kegalauan dan bisa saja melakukan percobaan bunuh diri karena putus asa.
Berkaitan dengan hal ini, usia remaja biasanya tidak ingin terlihat tertinggal oleh
teman sebayanya (Fomo), maka ketika ada satu trend yang muncul, remaja akan
berbondong-bondong melakukan segala hal yang ingin mereka tiru dari temannya,
seperti contoh; dengan adanya event pada game yang mereka sukai dan
mengharuskan mereka untuk membayar beberapa nominal rupiah yang tidak sedikit
untuk melakukan pembelian pada game tersebut, maka jika permintaan anak tidak
dituruti tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan melakukan hal serupa.
Semua contoh diatas adalah sebagai akibat dari terganggunya psikis seorang anak,
mulai dari tekanan lingkungan hingga proses berpikir yang berlebihan (overthink),
sehingga hal ini menjadi pemicu utama terjadinya stres yang kemudian menjadi
upaya bunuh diri. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya pendidikan entah itu
untuk anak maupun bagi orangtuanya, karena pendidikan ini sangat penting sekali
bahwasanya pola pikir ini harus berdasarkan pada logika yang berfilsafat, yang
nantinya pola pikir ini akan berjalan baik kemudian menuntun seseorang untuk
berkata yang baik hingga dapat berperilaku benar. 

Overthink menjadi satu hal yang sulit dihindari oleh kalangan remaja, tetapi bukan
berarti kita menerima apa adanya tanpa melakukan upaya agar tercapai asa. Overthink
ini adalah kecenderungan memikirkan masa lalu dan mempertanyakan masa depan
secara berlebihan, bahkan suatu hal yang tidak begitu penting untuk dipikirkan
sekalipun, biasanya kebiasaan ini banyak dilakukan oleh para remaja yang sedang  
mencari jati diri mereka sendiri, sesuai dengan perkataan seorang menteri agama
Kalimantan Selatan yakni; "Remaja adalah usia pencarian jati diri, dimana pada usia
tersebut sangat rentan dimasuki pemikiran faham radikal" ungkap H.Yusron, hal
inilah yang kemudian menjadi permasalahan yang harus dituntaskan, bagaimana
caranya supaya anak usia remaja ini tidak selalu berfikir secara berlebihan?, maka
perlu adanya pemahaman tentang "Mindfulness" serta penekanan akan arti
kedamaian dalam hidup, dan dalam hal ini keluarga kemudian para tenaga pendidik
harus turut andil dalam memberikan satu pemahaman agar mampu menghargai setiap
momen hari ini tanpa menyesali masa lalu dan tanpa mengkhawatirkan masa depan.
Dengan cara serupa setidaknya memberikan penanaman betapa berharganya arti
sebuah kehidupan, pada akhirnya akan membuat mereka yang akan melakukan hal
merugikan akan berpikir dua kali sebelum berbuat.
PENUTUP 
Pada gilirannya semua orang akan bertanggung jawab pada dirinya
masing-masing, tetapi sebagian orang selalu mengangkat tangan sebagai pertanda
ketidakmampuan untuk menjalankan kehidupan, maka dari itu sebagai seorang
manusia yang berkewajiban memberi pertolongan agar mereka bisa terus hidup,
sudah sepatutnya memberikan sumbangsih pemikiran dengan harapan bisa dipikirkan
dan menjadi jawaban atas segala permasalahan.
Kemudian dalam konteks mendirikan kesadaran akan permasalahan yang kian
merajalela yakni kasus bunuh diri ini, penulis mengangkat berbagai studi kasus yang
terjadi di lapangan, kemudian dirumuskan dan berhasil menyajikan solusi. Indonesia
bukan krisis psikologi bukan pula krisis orang peduli, melainkan kurangnya empati
yang konkret akan hal-hal serupa, dalam lembaga pendidikan kementerian pendidikan
menyediakan bimbingan konseling bagi para siswanya yang ingin berkonsultasi, lalu
apakah hal tersebut berhasil?, dan bagaimana dengan segelintir orang yang tidak
berani berkata apapun dan kepada siapapun?, maka solusi yang harus dilakukan
adalah dengan adanya pemahaman Mindfulness di sela-sela pembelajaran, dengan hal
tersebut, setiap siswa akan tersadarkan akan pentingnya memahami arti kehidupan.

Dengan upaya seperti itulah, menjadi hal konkret untuk mengatasi permasalahan yang
tak kunjung bermuara, dan pada dasarnya semua orang berhak bahagia dengan
caranya masing-masing, dan sudah seharusnya setiap orang tidak selalu merasakan
permasalahan dalam hidupnya, dan sudah menjadi haknya sebagai manusia mereka
hidup dalam kebahagian yang tak terhingga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun