Tahun 1990-an menjadi awal perkenalan dengan transportasi publik, bersama orang tua naik bus menuju tempat kakek nenek di Jakarta. Sejak dahulu, sudah penuh sesak, pengamen menjual suara dan karya, pedagang menjajakan berbagai jajanan ringan.Â
Abang mainan tidak mau ketinggalan merayu dengan ramah agar bocah seperti saya merengek minta belikan mainan. Risihkah kita dengan kondisi demikian di dalam transportasi public? Bisa ya dan tidak.Â
Saya sendiri tidak ada masalah dengan kondisi demikian, akan tetapi hidup itu proses, dan pasti akan mengalami perubahan. Bagi yang pernah merasakan KRL Ekonomi dengan banyak pedagang bersesakan, penumpang naik ke atas gerbong, dan disaat sepi, ada adik kecil yang menyapu lantai gerbong seraya menengadahkan tangan. Iba, recehan pun berpindah ke tangan adik tersebut.Â
Tidak berapa lama, pedagang dengan kotak besar berisi buah, tahu sumedang dan makanan ringan lainnya mendorong kotanya seraya menawarkan dagangannya. Suasana yang sulit dilupakan.
Sekarang, semuanya sudah berubah menjadi lebih baik, karena tidak sedikit ada kasus pelecehan seksual dalam kereta, bahkan bisa terjadi di dalam bus. Perubahan pun terus dilanjutkan, yang akhirnya ada inovasi berupa bus transjakarta.Â
Sekali lagi, celah kejahatan tetap saja ada, karena pernah ada kasus pelecehan seksual di halte transitnya. Yah, semua ada proses dan ada saja kejadian yang tidak terduga.Â
Terlepas itu semua, inovasi yang ada di perkotaan terkait dengan transportasi publik, sudah sangat baik dan perlu dukungan penuh dari para pengguna layanan.
Jika kita bicara hal yang berkaitan dengan tranportasi publik, seperti tarifnya, tentu itu semua sudah disesuaikan dengan kekuatan ekonomi masyarakatnya.Â
Saya tidak akan membahas lebih dlam soal ini. Saya ingin membahas perkembangan kota yang sangat erat dengan aksesibilitas dan dukungan transportasi yang layak untuk masyarakatnya.
Saya coba awali dengan konsep perkembangan kota menurut salah satu ahli, yaitu teori tempat sentral oleh walter christaller, menjadi salah satu dasar dalam perkembangan suatu wilayah. Khususnya kota.Â
Dalam teorinya, tempat sentral merupakan lokasi yang menjadi titik pusat interaksi antar individu yang intens. Sehingga dapat memberi pengaruh terhadap wilayah sekitarnya.Â
Pada teori ini, perkembangan suatu wilayah dapat dikategorikan menjadi 3 hierarki. Hierarki 3, 4 dan 7. Pada hierarki 3, interaksi intens terjadi hanya di satu titik saja dan belum meluas. Barulah pada herarki 7 mulai ada perkembangan kea rah wilayah tertentu dengan dibangunnya jaringan jalan yang memudahkan interaksi antar wilayah. Jaringan jalan inilah yang memicu perkembangan kota dan menjadi lebih terintegrasi dengan berbagai fungsi kota (Hierarki 7).
Dengan samakin baiknya jaringan jalan di suatu wilayah, maka akan terbuka pula berbagai peluang usaha, alih fungsi lahan hingga inovasi berupa transportasi publik, agar masyarakat dapat bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Disinilah permasalahannya.
Apakah sudah merata pembangunan wilayah di Indonesia? Tentu saja jawabannya belum, bahkan sekelas pulau jawa yang sudah banyak sekali kota besarnya, bahkan ada smart city, masih ada wilayah pelosok yang untuk jaringan jalannya saja belum bisa dikatakan layak.Â
Jadi, untuk bicara banyak soal transportasi publik, rasanya masih terbatas di kota besar saja. Padahal, semua pasokan bahan bangunan, makanan (buah dan sayuran) berasal dari desa -tentu saja yang dimaksud desa yang berada di pelosok.
Contohnya di tempat saya bekerja saat ini. Transportasi publik yang digunakan di sini biasa disebut dengan elf. Mobil elf ini hanya beroperasi pukul 05.00 hingga 07.00 pagi, dan baru kembali ke desa kami sekitar pukul 14.00 siang.Â
Dengan rute perjalanan desa padasuka -- ciwidey. Jalan yang rusak meyebabkan perkembangan desa menjadi agak terhambat, meskipun sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi.Â
Sebenarnya, jika saja pembangunan jalan padasuka -- ciwidey diperbaiki, perkembangan desa akan semakin pesat. Jadi saat ini hanya bisa melihat  perkembangan kota yang semakin pesat, namun akses ke desa saja belum optimal. Mungkin tidak hanya desa tempat saya tinggal saja yang demikian, masih banyak desa lain yang aksesibilitasnya perlu diperhatikan.
Tentu saja impian setiap individu yang tinggal di suatu negara, menginginkan perkembangan wilayahnya tidak tertinggal dibanding dengan wilayah lainnya. Dalam konteks ini transportasi publik yang baik.Â
Kesimpulannya, pemerataan pembangunan kondisi jalan perlu diprioritaskan untuk mewujudkan kondisi perwilayahan yang terintegrasi antar fungsinya. Mungkin agak melenceng pembahasan saya, karena saya melihat perlunya perhatian lebih untuk pemerataan kualitas akses jalan di pelosok.
Mungkin itu saja, semoga motivasi untuk meningkatkan pelayanan transportasi publik di perkotaan, juga memotivasi pembangunan jalan di pedesaan. Hatur Nuhun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H