Musim dingin sepertinya sedang memuncak. Salju-salju yang beku menggelayut di atap dan dinding rumah, di dahan pohon dan papan billboard di area pertokoan. Meniru bentuk stalagmit dan stalaktit di goa-goa kapur. Jarang sekali terlihat orang berlalu lalang. Sama sepertiku, pasti malas sekali untuk keluar rumah. Saat beku seperti ini, tak cukup hanya dengan sepotong baju melapisi tubuh. Paling tidak, dua atau tiga lapis baju harus dipakai. Itu belum termasuk kaos dalam, palto, syal, sarung tangan dan penutup kepala. Ribet sekali. Kamarlah satu-satunya tempat yang paling nyaman. Bermalas-malasan di atas futon sambil membebat diri dengan selimut tebal, menyalakan penghangat ruangan dan tiduran. Memang nyaman, tapi perasaan tatap saja tak bisa dibohongi. Dalam kesendirian seperti ini, ada sesuatu yang tak ada di hati, sunyii. Tak ada teman untuk berbagi.
***
Pagi baru saja merangkak. Pagi yang berbeda. Tak seperti biasanya, pagi ini hangat.
Duhai, ternyata mentari telah menyelusup diantara awan dan kabut pagi. Kebekuan hari kemarin hanya tinggal bekasnya saja. Hanya meninggalkan tanah-tanah yang gembur dan basah, jalanan dan trotoar basah serta tugas merapikan rumah. Tentu aku senang sekali menyambut pagi seperti ini. Kukeluarkan sepeda lipat milikku. Pagi ini akan kusambut dengan berkeliling sepeda. Menyapa pohon ringin di alun-alun, mengelilingi stadion kebanggan kota lalu sarapan pagi di tempat biasa, sup ayam pagi khas kaki lima.
Aku tak tahu jika hari ini akan menjadi awal kita bertemu. Ya, pertamakali Tuhan mengenalkan kau, Bunga Musim Semi-ku. Hmh... jika mengingat ini aku sering senyum-senyum sendiri. How embarrasing incident!. Tak jarang kubenamkan bantal ke wajahku sambil menggoyang-goyangnya, atau kugigilkan badan sambil menjerit pelan. "Maluuu... maluuu...". Seperti anak perempuan saja.
Saat itu, sebuah perusahaan ternama bekerjasama dengan salahsatu Rumah Sakit mengadakan kegiatan sosial, AKSI DONOR DARAH. Entah apa yang mendorongku untuk mengikuti aksi sosial ini, padahal, sejak kecil aku paling takut dengan jarum suntik. Ah, aku ingat. Alasannya selain ingin melawan rasa takut itu, aku juga belum tahu golongan darahku. Hehehe... titel sudah mahasiswa tapi golongan darah sendiri saja belum tahu. Shame!
"Terimakasih sudah mengikuti kegiatan ini. Mudah-mudahan menjadi amal baik untuk bekal kehidupan Kakak nanti. Mari isi biodatanya dulu Kak?" katamu santun.
Beberapa detik mata kita beradu. Tak ada perasaan apa-apa. Langsung saja kuambil formulir biodata yang kau sodorkan itu. Kuisi semaunya. Beberapa yang kuanggap tak penting kulewati saja. coret, coret, coret, tanda tangan, selesai. Sepertinya tulisanku lebih jelek dari tulisan dokter manapun.
"Nih!". Ketus kukembalikan formulir itu kepadamu.
"What a!". Katamu sedikit berteriak. Tak berselang lama, seperti peluru bedil mitraliyur kau berondongkan ribuan kata padaku, "Yang bener saja. Biodata apa ini? nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan semuanya gak diisi. Cuma nomor telepon dan tanda tangan yang diisi. Tulisannya juga gak kebaca sama sekali. Lebih jelek dari tulisan dokter yang mirip ceker ayam itu, ini..bla...bla..bla...bla..bla.."
Kulihat semakin lama mulutmu semakin lebar, bibirmu memerah, sepasang taring keluar, juga sepasang tanduk muncul dari kepalamu, semakin cepat dan semakin keras saja kau mengomeliku, membentak-bantak sambil menunjuk-nunjuk hidungku, menjambak dan membenturkan kepalaku ke meja dan...
ARRRRRGGGHHHHHH... STOP! STOP! STOP! kalau ceritanya seperti ini gak romantis. ULANG! ULANG! ULANG!
Heuu... kita ulang saja ceritanya ya. Kita ulang dari bagian ini...
ACTION!
"Terimakasih sudah mengikuti kegiatan ini. Mudah-mudahan menjadi amal baik untuk bekal kehidupan Kakak nanti. Mari isi biodatanya dulu Kak?" katamu santun.
Beberapa detik mata kita beradu...
... ..... ..................
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H