Bagaikan “Isra akademik antara dua benua” (Amerika-Eropa), karena di malam pergantian umur (ke-41) itu saya dalam penerbangan dari Montreal ke London dengan “buraq” (British Airways), di bawah panduan “Jibril” (Hasan Hanafi); dilanjutkan “Mi’raj” akademik (presentasi dihadapan dua raksasa dunia Orientalisme dan Oksidentalisme (M. Arkoun dan Edward W. Said) di “Sidratul Muntaha” (Inggris, Negara Barat yang mampu menggantikan kejayaan Dunia Islam karena berhasil menaklukan Mughal Empire dan Ottoman Empire, yang kemudian melahirkan peradaban Amerika Utara). “Berita Gaib” yang saya bawa pulang ke bumi adalah perubahan sikap Inggris terhadap Islam. The University of Exeter mendirikan Arab and Islamic Studies untuk memahami Islam secara obyektif karena tuntutan perkembangan Islam di Inggris.
Petikan “nyentrik” di atas saya temukan dalam buku “Jihad Ilmiah; Dari Tremas ke Harvard” (Pesantren Nawesea Press: 2009, hal. 127) . Buku ini ditulis oleh seorang santri yang bahkan sambil mancing pun bisa sukses menancapkan tajinya di Barat (Amerika dan Eropa), Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D.
Saya kira tidak belebihan jika Prof. Yudian mengumpamakan jihad ilmiahnya dengan peristiwa Isra Mi’raj yang besok hari (29/6) diperingati oleh seluruh Kaum Muslimin. Apa gerangan yang telah dicatatkannya dalam sejarah Muslim Indonesia hingga petikan kalimat di atas muncul?
Prestasi Langka
Perjalanan “Isra dan Mi’raj”-nya itu dimulai dengan hijrahnya Yudian belia dari kampung halamannya, Balik Papan ke kota-asal petinggi RI saat ini, Pacitan. Di Pacitan, tepatnya di Pesantren Tremas, Arjosari, Yudian belia mendapatkan bekal yang menurutnya sebagai kunci kesuksesannya mengalami “Isra dan Mi’raj Akademiknya” itu.
“…dapat disimpulkan orang lulusan pondok pesantren yang bahasa Arabnya bagus, itulah orang yang mempunyai kesempatan besar untuk menjadi profesor Islamic Studies di Barat kalau kuliah MA dan doktor di sana”.
“Karena bahasa Arab merupakan bahasa yang sulit bagi orang Indonesia. Jadi, kalau orang Indonesia sudah bisa bahasa Arab, hampir 100 persen akan bisa bahasa-bahasa lain, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman”.
[Kutipan wawancara di Koran Republika, April 2009]
Dengan penguasaan bahasa Arab itu, Yudian muda, sukses menerbitkan 53 terjemahan dari Arab, Inggris dan Prancis. Salah satu karyanya bahkan terbit dalam Journal of Islamic Studies (Oxford University Press: 1998). Prestasi ini belum pernah dicapai seorang Muslim Indonesia manapun, bahkan Cak Nur (Nurcholis Madjid) sempat surprised dengan kabar ini (hal. 26). Pasalnya, Cak Nur sempat mengeluarkan statement:
“Deliar Noer adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan karyanya di Oxford”.
Deliar Noer memang sukses menerbitkan karya di Oxford, tetapi Oxford yang di Singapura, bukan yang di Inggris seperti Prof. Yudian (hal. 26).
Prestasi-prestasi langka orang Indonesia yang dicatatkan Prof. Yudian lainnya adalah merekomendasikan 2004 MESA Mentoring Award untuk Prof. Issa J. Boullata. Jadi, jika biasanya seorang Indonesia minta rekomendasi seorang profesor barat, dalam kasus ini, seorang mahasiswa Indonesia justeru yang memberi rekomendasi untuk seorang profesor barat.
Selain itu, Prof. Yudian juga sukses melakukan presentasi ilmiah di forum-forum internasional. Di Harvard misalnya, sepanjang 2003 – 2004 beliau empat kali melakukan presentasi (hal.233). Jika pakar-pakar Studi Islam di Indonesia sangat gandrung mengutip pemikiran Hassan Hanafi, M. Arkoun dan Edward W. Sa’id beliau justeru duduk bersama menjadi presentator dalam sebuah seminar (Bab VIII).
Kuncinya, 'Tahajud Ilmiah'. Tahajud berasal dari kata jahada. Ijtihad berasal dari kata jahada dan jihad juga berasal dari kata jahada (kerja keras). Artinya, setelah shalat tahajud, tidak langsung tidur. Tetapi, dilanjutkan dengan ijtihad atau kerja pikir, membaca buku 100-200 halaman. Kemudian, hasil membaca dituangkan dalam satu hingga dua lembar tulisan. Itu namanya jihad ilmiah.Kalau itu dilakukan setiap hari, dalam satu tahun akan diperoleh 730 lembar artikel. Kalau ini dilakukan secara kontinyu, akan terjadi perubahan sejarah.
Selama ini kelemahan umat Islam memahami tahajud hanya pada shalat. Tidak dilanjutkan dengan ijtihad dan jihad. Jihad itu ada bermacam-macam, ada jihad ekonomi, politik, lingkungan, dan lain-lain. Tetapi, yang saya lakukan yang saya suka, yaitu jihad ilmiah.
[Kutipan wawancara di Koran Republika, April 2009]
Narsis
Mungkin bagi sebagian pembaca buku “Jihad Ilmiah; dari Tremas ke Harvard” menangkap kesan arogan dan keangkuhan Prof. Yudian di dalamnya. Bahasa “Aku” dalam buku ini bagi sebagian penulis biasanya menjadi salah satu indikasinya.
Selain itu, dalam beberapa bab (VII, IX, X) beliau sering membandingkan antara dirinya dan beberapa tokoh seperti Cak Nur, Harun Nasution, Azyumardi Azra dan Komarudin Hidayat mengenai prestasi. Perbandingannya (didukung fakta) itu seperti sebuah deklarasi bahwa beliau adalah yang terbaik diantara tokoh-tokoh itu. Sindiran pedas beliau untuk Komarudin Hidayat (Rektor UIN Jakarta saat ini) bahkan seolah-olah sebagai tsunami kekesalan masa lampau beliau yang deras menghantam (hal. 154).
Namun demikian, prestasi Prof. Yudian adalah inspirasi luar biasa bagi generasi muda muslim khususnya, dan bangsa Indonesia secara umum. Bahwa siapa pun yang bersunguh-sungguh (ber-jihad dan segala derivasi maknanya, termasuk ijtihad dan tahajjud) pasti bisa meraih segala apa yang dicita-citakan. Pada momentum Isra Mi’raj 1432 H ini, mudah-mudahan “Isra dan Mi’raj Akademik” Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D bisa dicapai dan bahkan dilampaui oleh generasi-generasi muslim berikutnya.
Jika pada masa-masa yang telah dilalui Umat Islam hanya mampu shalat lima waktu, kini saatnya mengikuti amalan tahajjud- ijtihad-jihad- nya Yudian Wahyudi. Mari dicoba!
Tulisan terkait: "Maaf Rambutmu Gondrong,Nggak Boleh Masuk!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI