Mohon tunggu...
Cahya Lintang Kusuma
Cahya Lintang Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammdiyah Malang

Hobi saya yakni menggambar dan menulis dengan hasil imajinatif dan kreativitas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisa Asa di Lorong Gelap

10 Januari 2025   23:50 Diperbarui: 10 Januari 2025   23:51 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SISA ASA DI LORONG GELAP
Cahya Lintang Kusuma
“Ada pelajaran yang hadir tanpa permisi
Yang memaksaku untuk mengerti
Bahwa hidup adalah tentang memilih
Meski kadang kehilangan arah.”
     Arzea Anindita Wijaya namanya, ia merupakan seorang gadis yang memiliki kepribadian hangat, dan memiliki suara yang merdu. Dari kecil cita-citanya adalah menjadi seorang penyanyi yang terkenal, ia memiliki seorang ibu bernama Astri Ningsih dan ayah bernama Suryo Wijaya. Kemudian ia juga memiliki adik bernama Alan Askara Wijaya, ayahnya hanyalah seorang kuli bangunan, Ibunya hanya seorang Ibu rumah tangga biasa dan mereka terbilang keluarga yang kurang mampu. Ayahnya, Pak Suryo, seorang kuli bangunan, dan ibunya. Zea memiliki seorang adik bernama Alan Askara Wijaya.
     Pak Suryo adalah ayah yang penuh kasih, ia sangat menjaga anak-anaknya karna khawatir akan pengaruh buruk lingkungan. Zea dan Alan kadang merasa terkekang, tetapi mereka mengerti bahwa sikap ayah mereka lahir dari kasih sayang yang mendalam. Sejak kecil, Zea menunjukkan bakat luar biasa dalam bernyanyi. Di usia remaja, hobinya itu semakin berkembang. Ia sering mengikuti lomba-lomba menyanyi di berbagai tingkat. Setiap kemenangan Zea selalu membawa kebahagiaan bagi keluarganya, meskipun biaya untuk mengikuti lomba sering kali menjadi beban. Ayah dan ibunya tetap setia mendukung Zea. Mereka bahkan rela memotong pengeluaran harian mereka demi biaya transportasi dan pendaftaran lomba. Bagi keluarga ini, keberhasilan Zea adalah sesuatu yang sangat berarti. Meskipun uang hadiah dari lomba kadang hanya sedikit membantu keuangan keluarga, melihat putri mereka bahagia adalah kebanggaan yang tak ternilai bagi Pak Suryo dan Bu Astri.
     Suatu pagi, di meja makan sederhana keluarga mereka, hanya ada dua telur dadar yang disajikan untuk sarapan. “Ayah, ayo makan pagi! Telurnya kelihatan enak,” seru Zea dengan semangat. Pak Suryo tersenyum lembut dan menjawab, “Sudah, nak. Ayah sudah makan tadi subuh bersama ibumu. Dua telur ini untuk anak-anak ayah tersayang.” Mendengar itu, Zea hanya mengangguk senang, tanpa tahu bahwa ayah dan ibunya sebenarnya hanya makan nasi dengan garam pagi itu. Keesokan harinya, Zea pergi ke sekolah dengan semangat. Di sekolah, ia dipanggil oleh Bu Ida, guru seni budaya yang sangat ia kagumi. Bu Ida menyampaikan kabar tentang audisi bakat menyanyi di Jakarta. “Zea, ibu punya kabar baik. Ada audisi di Jakarta, dan ini bisa jadi kesempatan besar untukmu. Kalau kamu berhasil, kamu bisa mulai berkarir dan membantu keluargamu,” ujar Bu Ida sambil menyerahkan brosur. Zea merasa sangat antusias mendengar kabar itu.
     Ia segera menyimpan brosur tersebut dan berniat menyampaikan berita baik itu kepada keluarganya. Sepulang sekolah, Zea langsung menemui ibunya di dapur. “Bu, aku punya kabar baik!” serunya riang. Ia menjelaskan tentang audisi di Jakarta dan bertanya apakah ayahnya akan mengizinkan. Sesampainya di rumah, ayahnya mengetahui rencana tersebut, ia langsung menolak. “Tidak, Zea! Jakarta itu terlalu jauh, dan pergaulan di sana berbahaya,” tegasnya. Zea merasa kecewa, tetapi ibunya mencoba menenangkan situasi. Dengan bijak, Bu Astri meyakinkan suaminya bahwa ia dan Alan akan menemani Zea ke Jakarta. Setelah berpikir panjang, Pak Suryo akhirnya mengizinkan. “Jaga dirimu baik-baik, nak. Ingat pesan ayah, jangan lupa daratan,” katanya dengan nada serius. Zea tersenyum lebar dan memeluk ayahnya dengan penuh rasa syukur.
 
     Hari audisi pun tiba. Zea, bersama ibu dan adiknya, berangkat ke Jakarta. Sesampainya di gedung audisi, Zea merasa kagum dengan megahnya bangunan tersebut. Ia bertekad memberikan yang terbaik agar bisa membanggakan keluarganya. Dengan doa dan dukungan dari ibu serta adiknya, Zea berhasil lolos ke tahap berikutnya. Karena berhasil, Zea harus menjalani karantina di Jakarta. Sebelum keberangkatannya, ayahnya kembali memberi nasihat. “Ingat, nak. Jangan lupa asal-usulmu. Jaga nama baik keluarga kita.” Zea berjanji untuk tidak mengecewakan keluarganya. Dengan semangat baru, ia berangkat ke Jakarta.
     Di Jakarta, Zea menghadapi berbagai tantangan. Proses audisi yang panjang dan ketat membuatnya harus bekerja keras. Namun, kerja keras itu terbayar. Ia berhasil menjadi juara pertama dalam ajang pencarian bakat tersebut. Selain mendapatkan hadiah uang tunai, ia juga mendapat kesempatan berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi terkenal. Keberhasilan Zea membuat karirnya mulai menanjak. Ia memutuskan untuk menetap di Jakarta demi mengejar mimpinya. Awalnya, Pak Suryo keberatan, tetapi Zea berhasil meyakinkan ayahnya bahwa ia akan tetap menjaga diri. Namun, kehidupan kota besar perlahan mengubah Zea. Lingkungan pergaulan yang buruk mulai memengaruhi Zea. Ia melupakan pesan ayahnya, jarang pulang, dan bahkan melepas hijabnya. Zea juga terlibat dalam kehidupan malam, sesuatu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan keluarganya.
     Sikap Zea terhadap keluarganya berubah drastis. Ia menjadi lebih kasar dan acuh pada keluarganya. Ketika ayahnya jatuh sakit, Zea tetap tidak peduli. Ketika ibunya memintanya pulang untuk menjenguk ayahnya, Zea hanya menjawab, “Aku sudah mengirim uang bu! Itu sudah cukup, kan? Jangan mengangguku lagi disini” Jawaban itu membuat hati ibunya hancur. Kesehatan Pak Suryo semakin memburuk. Alan, yang merasa kecewa dengan kakaknya, mencoba membujuk Zea untuk pulang, tetapi usahanya sia-sia. Hingga akhirnya, Pak Suryo mengembuskan napas terakhirnya. Saat kabar itu disampaikan oleh ibunya, Zea dilanda penyesalan yang sangat mendalam pada hatinya.
     Dengan hati yang penuh rasa bersalah, Zea pun memutuskan untuk pulang. Setibanya di rumah, ia langsung memohon maaf kepada ibunya dan Alan. “Bu, aku telah mengecewakan kalian. Aku sangat menyesal,” katanya sambil menangis. Ibunya memeluk Zea dengan lembut dan berkata, “Seburuk apa pun kamu, kamu tetap anak ibu. Yang penting sekarang, kamu berubah.” Hari-hari pun berlalu, Zea berusaha memperbaiki dirinya. Ia meninggalkan karirnya di Jakarta dan memilih tinggal bersama ibu dan adiknya. Ia bertekad menebus kesalahannya dengan menjadi anak yang lebih baik dan menjaga keluarganya Suatu hari, Zea meminta Alan untuk menemaninya ke makam ayah mereka. Di sana, Zea menangis tersedu-sedu. Ia berjanji untuk tidak lagi mengecewakan keluarganya. “Ayah, maafkan aku. Aku berjanji akan membuat ibu dan Alan bahagia,” ucapnya dengan suara bergetar.
“Ada langkah yang tak seharusnya kutempuh
kini jejaknya sudah tertanam
menggema dalam ingatan
menjerat hati di penjara rasa bersalah”
     Zea duduk diteras rumah sambil memandang pepohonan dengan lamunanya. Semilir angin menghembus sepoi-sepoi di udara tenang ini tidak bisa membuat hatinya tenang. Raut wajah yang tampak penuh penyesalan. Hari-hari memori masa kecil dengan ayahnya selalu berputar di otaknya. Meski sudah berlalu tapi rasa sakitnya masih terasa. Ia mengingat bagaimana perjuangan ayahnya dulu, ayah dan ibu selalu mengantarkannya kemanapun saat ia lomba menyanyi yang sampai akhirnya mengantarkannya menuju karir bernyanyinya namun semua hancur karena ulah ia sendiri. Namun ia sadar bahwa ia harus bangkit dan membuktikan ke ayahnya bahwa ia akan membuat ibu dan adiknya bahagia. Kemudian dari arah belakang pintu ibu memandang Zea dan langsung menghampiri anaknya. “Mari lupakan semuanya dan memulai lembaran baru ayahmu pasti sekarang sudah tenang. Jadi, mari berbahagia bersama nak. Alan dan kamu adalah harta paling berharga saat ini bagi ibu” ucap Ibu sambil memeluk Zea. “Terima kasih bu, aku berjanji akan membuktikan pada ayah bahwa aku disii akan membahagiakan ibu dan adik” balas Zea dengan senyum penuh rasa syukur dan haru. Zea dan ibunya saling memandang dengan penuh kasih sayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun