Mohon tunggu...
CAHYA KAMILA
CAHYA KAMILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - IPB University

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembangunan Geothermal Wae Sano, Proyek Transisi Energi Tanpa Pedulikan Masyarakat Asli?

10 Juni 2024   23:15 Diperbarui: 14 Juni 2024   21:33 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Desa Wae Sano merupakan salah satu daerah yang menjadi titik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau geothermal. Namun dalam proses pembangunan tersebut terdapat penolakan dan konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan pihak perusahaan. Apakah hal ini menjadi salah satu bentuk kurangnya kepedulian negara atas hak sumber daya alam masyarakatnya sendiri?.

Pada tahun 2016, proyek PLTPB atau geothermal sudah mulai direncanakan di Desa Wae Sano yang mencakup  tiga kampung adat yaitu Nunang, Lempe dan Dasak, NTT. Pembangunan geothermal tersebut merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) bidang energi dan sumber daya mineral melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017. PSN ini yang dikenal dengan nama proyek pengeboran pemerintah atau government drilling (GEUDPP).

Menyadur dari tanahkita.id, Wae Sano memiliki cadangan atau menyimpan potensi energi panas bumi yang sangat besar yakni mencapai angka 50 megawatt (MW). Dalam proses pembangunannya, dibutuhkan dana sebesar Rp 3,1 triliun yang diambil dari APBN dan sebagai bentuk wujud penugasan pemerintah pusat berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.08/2017. Bukan hanya ada campur tangan pemerintah saja, pembangunan geothermal ini juga melibatkatkan PT Geo Dipa Energi, yang sebelumnya oleh PT Sarana Multi Infrastruktur serta Bank Dunia (sebelum membatalkan pembiayaan) juga menjadi penyedia pembiayaan sebesar Rp 711 miliar yang disebut dengan Clean Technology Fund (CTF) – Global Environment Facility (GEF) dalam proses eksplorasi pengeboran.

Proyek geothermal menjadi bentuk komitmen untuk menghadapi perubahan iklim dengan menggunakan perubahan energi baru yang terbarukan. Melansir dari ekorantt.com, Indonesia memasang target dalam peralihan energi dari batu bara menjadi energi hijau dan bersih. Kemudian pembangunan geothermal ini ditujukan untuk menunjang wisata premium di Labuan Bajo dan daerah sekitarnya untuk mendapatkan tenaga listrik.

Penolakan Masyarakat
Pembangunan geothermal yang telah direncanakan oleh pemerintah tidak bisa lepas dari penolakan oleh masyarakat adat hingga menimbulkan konflik. Proyek tersebut hendak dibangun pada titik pengeboran di Danau Sano Nggoang, sehingga dari hal tersebut masyarakat lingkar danau melakukan penolakan karena dianggap akan mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Mengutip dari floresa.co, mayoritas pekerjaan utama masyarakat sekitar danau Sano Nggoang adalah bermata pencaharian utama sebagai petani. Mereka bertanam sirih, kemiri, kelapa, kakao, cengkih, lada, vanili dan buah-buahan di perladangan. Alasan utama mereka melakukan penolakan yaitu karena ketakutan terhadap kerusakan alam. Mereka menilai bahwa proyek geothermal tersebut bukan hanya membutuhkan air, tetapi rakus akan air sehingga bisa mengancam sumber penghidupan mereka dari sektor pertanian.

Mereka juga membandingkan dengan proyek geothermal yang pernah dilaksanakan sebelumnya. Misalnya di Kampung Mata Lako, Kabupaten Ngada yang gagal total sekaligus memberikan dampak kerusakan bagi lingkungan sekitar. Akibatnya, area persawahan warga yang berjarak dari lokasi 2-3 KM tidak dapat digunakan kembali karena tidak adanya sumber air karena sudah kering.

Kemudian Jaringan Advokasi Tampang (JATAM) Melky Nahar mengutip dari mongabay.co.id (18/1/2022) menbeberkan bahwa aktivitas tektonik di NTT sangat tinggi sehingga memicu terjadinya lebih dari 14 gempa besar. Lebih dari itu, akan terjadi pencemaran air serta  amblasnya tanah di wilayah di sekitar operasi geothermal. Metode ini juga membutuhkan air dalam jumlah besar untuk proses injeksi.

Sehingga hal utama dalam penolakan proyek pembangunan geothermal ini dikarenakan titik pengeboran yang terlalu dekat dengan area pemukiman. Kemudian juga kegiatan pengeboran tersebut dapat mengancam lingkungan hidup seperti tanaman pertanian masyarakat adat yang menjadi sumber kehidupan dari alam. Selain itu, terdapat nilai budaya juga yang dijadikan landasan penolakan tersebut. Seperti tanah yang hendak digunakan untuk pembangunan geothermal merupakan tanah adat seperti ada kuburan adat, benda-benda, dan berbagai alat yang bersangkutan dengan adat mereka.

Perbaikan dalam Tata Kelola Sosial Lingkungan
Tentu tujuan awal dari proyek pembangunan geothermal ini sebagai wujud transisi energi yang hijau/bersih. Namun fakta-fakta dilapangan tidak selalu berjalan dengan lancar. Sehingga dari hal tersebut, pihak pemerintah seharusnya tidak mengabaikan fenomena yang ada dan menanggulangi konflik di dalam masyarakat. Praktik kapitalisme akan sangat jelas terlihat jika pembangunan tersebut tetap dipaksa untuk dilaksanakan tanpa memperhatikan kembali kondisi masyarakat yang terdampak.

Geothermal memiliki manfaat yang cukup banyak bagi daerah sekitar, namun apa artinya hal tersebut jika masyarakat yang berada di area pengeboran hanya menerima dampak negatifnya saja. Titik pengeboran yang berada dekat di area pemukiman warga menjadi salah satu problematik utama. Sehingga, baik pemerintah maupun perusahaan perlu mengkaji ulang titik-titik yang akan digunakan untuk pengeboran. Hal tersebut menyangkut dengan kondisi ketentraman masyarakat.

Kemudian lebih dari itu, proyek ini juga harus menitik beratkan pada aspek lingkungan. Dimana masyarakat Wae Sano yang memiliki sumber daya alam secara turun temurun, tetapi mereka harus tergusur di suatu hari nanti karena adanya pembangunan geothermal ini.

Berangkat dari hal tersebut, perlu adanya perbaikan dari segi governance untuk lebih memperhatikan lingkungan.  Pembangunan seharusnya tidak dilakukan langsung dalam skala yang besar, tapi cobalah dengan membangun dalam skala kecil terlebih dahulu. Sehingga harapannya dari hal tersebut bisa meminimalisir kerusakan yang akan ditimbulkan. Kemudian buatlah masyarakat di sekitar kawasan turut merasakan manfaatnya terlebih dahulu, sebelum untuk masyarakat skala yang lebih luas lagi.

good governance perlu dilakukan secara bertahap, aspek kunci yang paling penting adalah harus melibatkan tiga subjek sekaligus seperti pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sangat penting ada di dalamnya. Namun kembali lagi pada realitanya, jika dilakukan dalam skala kecil terlebih dahulu dan bertahap, apakah hal tersebut bisa menarik investor untuk masuk?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun