Konon katanya, orang yang masuk ke dalam toko buku itu tidak pernah keluar lagi. Orang yang mencoba merubuhkan toko itu menghilang tanpa sebab. Toko itu dikaitkan dengan kejadian tragis yang menimpa pemiliknya. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati toko buku itu. Hingga suatu hari, datang segerombolan anak-anak yang menatap bangunan tua itu dengan penasaran.
"Ini kenapa kok ditutup? Pakai dikasih palang segala?" celetuk Anggi sambil mengetuk-ngetuk palang bambu yang mengunci toko buku itu.Â
"Yang punya nggak tau ada teknologi gembok manual, mungkin?" jawab Adri asal-asalan.Â
Glodakk!Â
"Lah, enteng banget," ucap Doni dengan polosnya. Dia mengangkat palang bambu itu. Menyingkirkan gembok lapuk yang tak berguna.Â
Anggi langsung kegirangan, melompat-lompat menghampiri Doni. Anggi meminta agar Doni segera membuka pintunya. Dia menggoyang-goyangkan bahu Doni. Untung, Doni bukan tipe yang mudah terganggu.Â
Sedangkan, Adri mulai mengawasi keadaan sekitar. Takut kelakuan mereka ketahuan. Tidak ada orang disekitar. Letak toko buku itu memang di ujung kampung. Terpisah jauh dengan rumah-rumah yang ramai.
Krieettt... Pintu tua itu benar-benar terbuka sekarang. Anggi yang tadinya heboh mulai berpikir dua kali.
"Kita beneran masuk?" tanya Anggi ragu.
"Masuk aja, toh nggak ada yang lihat." jawab Doni enteng. "Andri, kamu masuk nggak?" sekalian, Doni menawarkan Andri untuk masuk.
Andri menoleh setelah bengong sesaat, "Nggak deh. Aku jaga di sini aja, biar nggak ada yang ngunciin dari luar." Andri dengan santainya duduk di bawah pohon beringin, tak berminat dengan hal-hal yang berbau buku.Â