Baru saja Gilang akan membalas sambil tertawa, tiba-tiba saja Ayahnya datang ke tongkrongan terebut. Kedatangan yang mampu membuat semuanya bungkam, bahkan Bianca tak berkutik lagi dan Gilang membulatkan kedua bola matanya. Ayahnya melihat sekitar, lalu menggelengkan kepalanya tidak puas dan langsung menatap ke arah anak lelakinya.
"Gilang, ayo pulang."
"Gak, Yah." Gilang langsung menolak permintaan Ayahnya. "Gilang lagi di sini sama teman-teman. Gilang bisa pulang sendiri, orang Gilang bawa sepeda."
Tetapi wajah Ayahnya memerah, seolah naik pitam. "Cepat sebelum Ayah seret kamu."
"Maaf Yah, tapi gak bisa." ucap Gilang lagi.
Semuanya membisu, hany ada percakapan antara Ayah dan anak tersebut.
"Mau jadi apa kamu? Bukannya belajar malah jadi anak tongkrongan kayak gini?" tanya Ayahnya cukup keras. Saking kerasnya, Pak Ahmad sampai keluar untuk melihat keadaaan.
Gilang tak ingin tinggal diam, maka dia membela diri dan teman-temannya. "Yah, Ayah pikir kami jadi anak tongkrongan cuma buat nongkrong gak jelas? Ayah salah, Yah. Kami di sini belajar bareng, memang Ayah gak bisa lihat?"
Ayahnya terdiam.
Gilang menunjuk ke satu per satu temannya. "Bianca ahli pelajaran matematika. Citra ahli pelajaran Bahasa Inggris. Devan ahli pelajaran Bahasa Indonesia. Eja ahli pelajaran fisika. Fahri ahli pelajaran biologi dan Gilang sendiri di sini nguasain kimia. Kami belajar bareng pulang sekolah dan saling bantu satu sama lain, bukan buat nongkrong gak jelas."
Pak Ahmad ikut bicara. "Benar, Pak. Mereka berenam tiap hari datang untuk belajar, saya saksinya."