“Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada negara.” Kata-kata John F. Kennedy ini sangat fenomenal. Saya mengerti kata-kata ini saat aku duduk di bangku SMA. Mungkin tergolong terlambat.
Kata-kata itu pula yang menginspirasi saya bagaimana seharusnya sikap saya pada negara untuk urusan politik. Lalu, saya memilih menjadi golongan putih (golput) untuk urusan memilih pemimpin dan wakil rakyat. Bagi saya, golput bukan berarti saya apatis pada negara. Tapi, Pak Presiden, saya peduli bahkan melebihi kepedulian para koruptor, penjilat, dan bedebah bangsa lainnya.
Saya selalu absen pada setiap undangan untuk hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) kecuali untuk pemilihan lurah. Bagi saya, pemilu paling demokratis itu justru ada di pemilihan lurah hingga pemilihan ketua RT. Kendati, pemilihan di tingkat administratif terkecil itu sarat dengan money politic.
Di desa saya di Kabupaten Purworejo, money politic memang menjadi rahasia umum. Kami di desa menyebutnya dengan sebutan “bom”. Saat pemungutan suara, seluruh partisipan disilakan untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh para kandidat. Bagiku, ini juga lagi-lagi termasuk money politic. Setelah terpilih dan dilantik, pemerintahan desa pun berjalan seperti sedia kala. Adem ayem, tata tentrem kerta raharja. Nyaris tanpa program dan pembangunan!
Saya menarik garis merah pada pemilihan lurah dan pemilihan umum. Keduanya adalah money politic dan pembangunan. Saya mengerti, pembangunan butuh uang dan kekuasaan. Lalu, kekuasaan pasti butuh tawar menawar.
Pak Presiden, saya tidak golput untuk pemilihan lurah. Sebab, saya sadar, saya mengenal calon. Kadang, bisa dipastikan bahwa calon sendiri adalah masih dalam lingkaran sanak atau kerabat keluarga. Lalu, saya berpikir, 1 suara dalam pemilihan lurah itu lebih berarti meski 1 suara itu sama nilai dengan 1 suara yang diberikan si calon lurah.
Berbeda dengan pemilihan umum. 1 suara saya sama nilai dengan 1 suara yang diberikan presiden. Saya pikir itu bernilai jika memang kandidat yang ada sesuai dengan yang saya inginkan. Tapi toh, nyatanya, kandidat itu adalah muka lama dengan fenomena yang hampir mirip setiap periode pemilihan umum. Saya memilih absen!
Pak Presiden, maaf saya tidak memilih Bapak dan partai Bapak pada setiap pemilihan presiden (pilpres). Tapi bapak perlu tahu, saya lebih peduli dibanding Bapak untuk urusan negeri ini. Bapak Presiden, akan saya tunjukkan betapa saya peduli untuk negeri ini.
Pak, secara statistikal, saya masuk ke dalam kelompok miskin. Tapi, setiap tahun saya rajin membayar pajak. Saya bayar pajak tepat waktu meski tanpa potongan, diskon, atau keringan karena saya miskin. Sebab, saya takut denda jika terlambat membayar pajak. Saya selalu membayar pajak sesuai dengan nilai yang dibebankan dalam SPPT. Pak, seandainya saya jadi presiden, Saya akan beri keringanan pajak bagi mereka yang miskin.
Pak, setiap tahun Bapak selalu memasukkan saya dalam kelompok miskin. Tapi saya masih bisa hidup walau harga gas naik, harga beras naik, harga kedelai naik, harga BBM naik. Saya sakit hati, kenapa Bapak tidak menyensus mereka yang korupsi lalu membagi hartanya untuk saya melalui program pembangunan. Tapi itu tak mungkin. Tawar menawar Bapak dengan para koruptor itu terlalu lemah.
Pak, saya kaya. Saya tidak miskin. Lihat saja bagaimana saya masih bisa membayar rumah sakit, membeli obat, membeli susu untuk anak saya meski saya harus hutang tetangga atau saudara. Lalu, saya nyatanya masih hidup.
Kenapa bapak tidak bunuh saja saya sehingga mengurangi angka kemiskinan dalam daftar Bapak. Sebaliknya, Bapak justru memelihara saya. Lalu, saya tersadar, inilah cara Bapak melanggengkan kekuasaan. Bapak menciptakan suatu mekanisme ampuh bernama kemiskinan struktural.
Saya juga kini mengerti, Bapak butuh saya untuk menghidupi negara ini melalui pajak, listrik, beras, minyak, sapi, dan sebagainya. Negara ini terlalu lemah tanpa orang miskin. Seandainya semua orang negara ini kaya, aku pikir semuanya tidak butuh dan negara ini. Bapak justru jadi rendah, hina. Sebab, Bapak bukan lagi menjadi pemimpin melainkan menjadi anjing penjaga.
Pak Presiden, saya kaya. Saya tidak miskin. Pak, saya masih bisa bayar sekolah meski harus hutang sana-sini. Saya masih bisa bayar pajak meski lagi-lagi harus hutang. Saya kuat, Pak.
Justru saya berpikir, Bapaklah yang lemah. Bapak tidak punya kemampuan untuk menarik saya dari kemiskinan. Bapak lemah menghadapi tarikan kepentingan lawan politik dalam kebijakan Bapak. Barangkali, sudah menjadi kutukan negeri ini bahwa yang miskin itu kuat dan penguasa itu sejatinya lemah. Lalu, negeri ini pun butuh orang miskin dalam setiap pemilihan umum sebagaimana butuh orang miskin untuk menghidupi APBN.[]
Source: klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H