Mohon tunggu...
Cahyadi Kurniawan
Cahyadi Kurniawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh kerah biru tinggal di Solo.

Tukang sinau.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Awas Kultus Pendidikan!

29 Mei 2013   01:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:52 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan rupanya semakin menjadi primadona untuk menjadi kunci meraih kehidupan yang lebih baik. Saya tak akan berbicara bagaimana pendidikan mamu menopang kelancaran pembangunan atau illusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Toh, saya pikir, minim orang yang memikirkan hal itu baik mereka yang tengah duduk di bangku pendidikan ataupun yang sedang memangku jabatan. Semuanya tetap fokus bagaimana pengembangan diri (dan kekayaan) bisa berjalan lancar.

Meroketnya popularitas pendidikan itu bisa diamati dari minat orang untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi. Setiap tahun grafik peminat masuk perguruan tinggi semakin tinggi. Grafik tersebut pun berbanding lurus dengan jumlah yang diterima.

Tahun ini, panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2013 mengumumkan sebanyak 133.604 peserta dinyatakan lolos. Jumlah itu sedikit jika dibandingkan peminat yang mencapai 765.531 peserta.

Sebelumnya, pada tahun 2012, jumlah pendaftar untuk SNMPTN jalur ujian tulis menembus 618.804 pendaftar. Sedangkan yang lolos hanya 106.363. Pada 2011, peserta ujian tulis SNMPTN sebanyak 540.953 tapi yang lolos hanya 118.233.  Angka yang kecil dijumpai di tahun 2009 dengan jumlah peserta SNMPTN yang lolos hanya 12.469 dan tahun 2010 sebanyak 67.848 peserta.

Jika diamati, grafik meningkat tajam pada fase 2009 ke 2010 dimana peningkatan yang lolos SNMPTN mencapai sekitar 500 persen. Namun, di tahun 2010 ke 2011 hanya terjadi peningkatan sekitar 100 persen. Lantas, angka-angka untuk jumlah peserta yang lolos seleksi setiap tahunnya merayap naik.

Mengamati grafik itu tentu ada yang janggal terkait perlakuan pemerintah kepada rakyatnya soal pendidikan. Pendidikan tidak lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya, pendidikan yang digelar hanya mencerdaskan merek a yang memang cerdas, pandai, dan sudah barang tentu kaya.

Pemerintah boleh memberikan apologi berupa beasiswa bidikmisi bagi kaum miskin namun memiliki kemampuan akademik mumpuni. Kita sepertinya patut bersyukur bahwa masih ada orang miskin untuk bisa menikmati pendidikan. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kepada setiap pergururan tinggi agar 20 persen dari kuota yang ada diberikan bagi kaum miskin.

Namun, saya masih terusik dengan sistem seleksi yang kini ada. Mengapa yang pantas kuliah adalah hanya orang-orang pandai? Itupun diukur dengan standard menjawab sejumlah soal. Lalu, menggelikan juga jika sebuah sekolah favorit di setiap kota menentukan standard siswa yang boleh duduk di bangkunya dengan model seleksi juga. Mengapa pendidikan hanya mendidik orang-orang pandai?

Pemerintah memang menetapkan anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen. Tapi hal itu tak mampu menjamin bahwa semua yang berada pada usia belajar bisa duduk di bangku institusi pendidikan formal. Meski patut diakui, pendidikan formal bukan satu-satunya tempat untuk belajar dan menuntut ilmu.

Saya kembali teringat bagaimana pengetahuan pada masa-masa sebelum abad XX selalu saja berkutat pada orang kaya, bangsawan, dan mereka yang dekat dengan penguasa. Abad XX datang dan memberikan pencerahan bagi banyak manusia melalui koran, radio, dan televisi. Kini, abad XXI, menawarkan sesuatu yang lebih mutakhir dengan jaringan yang disebut internet. Pengetahuan sepertinya tak lagi berputar di kalangan mereka yang kaya, bangsawan, dan dekat dengan penguasa.

Namun, gejala lain menunjukkan, semakin bertambah angka di tahun-tahun abad XXI, kecenderungan manusia untuk bisa menikmati pendidikan formal semakin kuat. Hegemoni penguasa yang terus menekankan pentingnya pendidikan membuat milyaran manusia semakin terobsesi untuk ngaji di dalam sebuah kapling bernama kampus dan sekolah.

Pendidikan menjadi semacam vaksin bagi patologi sosial akut, seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketakberdayaan, krisis moral, dan sebagainya. Pendidikan menjadi anak tangga bagi setiap individu meningkatkan statusnya masuk ke dalam kelas menengah dan atau atas. Dengan begitu, pendidikan lantas diukur, diperbandingkan, diberi nominasi, dan diberi label. Lantas kita tahu, siapa yang terbaik, siapa yang terrendah, yang bodoh, yang pandai, yang mampu bersaing, yang mampu bekerja, dan yang mampu mengerjakan soal!

Pendidikan menjadi agama baru bagi sebagian manusia. Ritus berangkat pagi, duduk di dalam kelas, hormat pada guru dan dosen, bekerja sama dengan teman sekelas, bekerja individu, adalah hal yang biasa. Seperti agama, kegiatan itu nyaris tanpa bantahan dari mereka yang menganutnya.

Kini pun kita tahu, tak ada yang membantah kenapa harus sekolah pagi dan pulang siang bahkan sore. Kenapa harus kuliah pagi dan pulang sore kendati hanya kuliah yang tak lebih dari 50menit untuk setiap pertemuan? Kenapa harus mengerjakan tugas? Kenapa nilai dari guru dan dosen menjadi semacam suratan yang berdampak di masa depan? Kenapa omongan guru dan dosen itu bak nabi atau dewa yang selalu benar? Dan sederet pertanyaan lain yang tak pernah terungkap.

Begitu pula saat sebuah pekerjaan menyaratkan selembar surat sakti bernama ijazah. Surat itu jauh lebih berharga daripada skill yang terasah. Petani yang memiliki pengalaman 50 tahun menanam padi tak akan pernah menjadi pakar soal menanam padi. Sebaliknya, manusia yang baru saja menyelesaikan disertasinya bisa menyandang gelar pakar pertanian kendati mereka tak pernah mencangkul.

Ironis, ternyata ada kepala daerah yang tak lulus SD bisa memajukan daerahnya hingga dianggap berprestasi pada level nasional. Tapi, akhirnya dipenjara. Sebab, ia terbukti memalsukan ijazah (tentu di luar konteks dia terlibat kasus korupsi).

Ijazah sudah bukan lagi surat tapi kitab suci. Ia ditenteng kemana-mana dalam map demi mendapatkan pekerjaan. Ia diperjuangkan begitu heroik, sehingga mereka yang gagal akan stress, frutrasi lalu bunuh diri.

Barangkali itu memang takdir pendidikan kini. Ia adalah mesiah. Tanpa sadar, kita terus memuja, memuja, dan memuja seraya percaya, ia akan memberikan keselamatan dan kemakmuran![]

sumber: klik sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun