“Sudahlah Mecca, tidak usah bermimpi yang tinggi, kita hanya gadis desa dan tidak mungkin bisa menikah dengan Pangeran Arzan”
Malam mulai turun dan satu-persatu dari mereka meninggalkan taman sambil menepuk bahu Mecca agar sadar dan tidak bermimpi terlalu tinggi.
Tinggallah Mecca seorang diri. Ia hanya menyakini apa yang dikatakan hatinya, bahwa ia bisa menikah dengan Pangeran Arzan. Meski sekalipun ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Arzan, tapi ia sudah jatuh cinta mendengar kebaikan Pangeran Arzan.
Minggu demi minggu berlalu dari percakapan sore itu, bulan pun berganti, dan tidak ada yang berubah. Mecca masih teguh pada impiannya bahwa ia bisa menikah dengan Pangeran Arzan, dan teman-temannya masih saja menyarankan dirinya untuk segera sadar.
Suatu malam ketika para gadis Desa Bunaya baru saja meninggalkan taman datanglah seorang pengembara menghampiri Mecca yang sedang duduk diatas tikar. Pengembara bernama Liona, ia sedang kemalaman dan bermaksud mencari penginapan di desa itu. Dan Mecca pun menawarkan rumahnya untuk menginap karena dia juga mempunyai dua kamar kosong. Sang pengembara senang sekali.
“Mengapa semua teman-teman Anda bersikap begitu kepada Anda?” tanya Liona.
Mecca tersenyum. “Mereka berusaha menyadarkan saya agar tidak bermimpi terlalu tinggi”
“Apa yang menjadi mimpi Anda?”
“Suatu hari nanti saya ingin menikah dengan Pangeran Arzan”
“Mengapa Anda mempunyai impian seperti itu? Apa Pangeran Arzan juga jatuh cinta dengan Anda?”
“Saya tidak tahu, kami belum pernah bertemu, saya mengagumi beliau karena kebaikannya yang suka menolong rakyat dan membebaskan rakyat kecil dari biaya pendidikan.”