Paulus Romindo, Richard Sukarno, Khusnul Nurul, Dodi Hendaryadi dan Della Novianti bikin heboh. Rabu, 22 Juni 2016, di sebuah Cafe di daerah Cikini Jakarta Pusat, mereka berlima mengadakan konferensi pers. Kepada wartawan, mereka membuka rahasia di balik kesuksesan Teman Ahok mengumpulkan lebih dari satu juta KTP. Kontan saja, berita ini segera menjadi headline di beberapa media mainstream. Di media kompasiana, berita ini menjadi “bahan bakar” baru yang makin mengobarkan “perang opini” di antara dua kubu, pecinta dan pembenci Ahok.
Bagi saya, apa yang mereka paparkan sama sekali tidak mengejutkan. Sejak awal saya yakin bahwa hal-hal seperti yang mereka ceritakan pasti terjadi. Bukan berarti saya menganggap seluruh TA seperti itu, saya justru menganggap TA sebagai kumpulan anak muda yang idealis, seperti saya tulis di sini dan di sini. Tapi jumlah mereka banyak, dan datang secara sukarela. Tidak mungkin melakukan seleksi untuk memastikan bahwa semuanya berperilaku jujur. Jadi pasti ada sebagian (kecil/besar) dari anggotanya yang mengambil jalan pintas seperti itu. Juga, saya yakin bahwa petugas lapangan pasti mendapatkan imbalan berupa “uang bensin” atau “uang rokok” yang lumayan. Ini hal biasa dan sah-sah saja. Hanya saja, hal-hal begini biasanya tidak diakui karena dianggap tidak sesuai dengan predikat “relawan” yang bersedia bekerja tanpa pamrih.
Yang mengejutkan saya adalah; ada yang mengaku secara terbuka. Pengakuannya pun dilakukan melalui konferensi pers, pada waktu dan tempat yang “seksi”. Saya sengaja menulis dengan “bold’ tiga kata (konferensi pers, waktu dan tempat), untuk menekankan bahwa ketiganya sangat penting. Mari kita bahas satu-persatu kata-kata tersebut.
Konferensi pers
Di tulisan sebelumnya, saya menyebutkan bahwa TA selalu fokus pada kerja, kerja dan kerja. Didera berbagai issue dan kampanye negatif, mereka tidak pernah terpancing untuk melakukan konferensi pers guna melakukan klarifikasi. Baginya, hal itu hanya menghabiskan energi dan membuang waktu yang sangat berharga karena deadline yang ketat. Sikap ini ternyata tidak diikuti oleh kelima orang mantan anggotanya yang mbalelo itu. Hanya untuk mengadakan “pengakuan dosa” saja, mereka mengundang media. Dari sini kita bisa segera menyimpulkan bahwa mereka berniat menyebarkan “virus” kepada masyarakat bahwa TA tidaklah selugu, sejujur dan serelawan seperti yang selama ini dicitrakan. Pendek kata, pengakuan ini sengaja dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa satu juta KTP itu bohong belaka.
Waktu
Pemilihan waktu sangat penting, karena timing yang tepat akan memberikan efek yang besar. 22 Juni 2016 adalah tiga hari setelah 19 Juni 2016, yaitu saat TA memproklamirkan pencapaian satu juta KTP. Waktu ini sangat tepat, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat. Segera setelah target satu juta tercapai, berita ini langsung memenuhi ruang-ruang pemberitaan. Semua orang membicarakannya, semua pakar mendiskusikannya. Setelah tiga hari, ruang bawah sadar massa sudah dirasuki “fakta kebenaran” bahwa masyarakat Jakarta mendukung “Ahok Independen 2017”.
Pada saat fakta tersebut sudah mengendap, media mulai berhenti memberitakan, orang mulai berhenti membicarakan dan pakar mulai berhenti mendiskusikan. Kondisi ini menyebabkan terbukanya kembali ruang pemberitaan bagi issue-issue baru. Celah inilah yang mereka masuki. Mereka juga tidak menunda waktu lebih lama lagi, karena khawatir jika dibiarkan terlalu lama, informasi yang sudah diterima akan berubah menjadi keyakinan. Kalau sudah begini, akan sangat susah untuk menggoyahkannya, apalagi membalikkannya.
Tempat
Dari ketiga unsur yang saya anggap penting, faktor tempat adalah yang paling menarik. Bayangkan, orang-orang yang sebelumnya merasa senang hanya menerima “bayaran” Rp.2,5 juta per bulan, tiba-tiba mampu melakukan acara di sebuah kafe yang lumayan mahal. Tentu saja ini menimbulkan dugaan-dugaan bahwa ada yang membiayai mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka dianggap melakukan ini bukan murni karena panggilan nuraninya tetapi karena ada maksud-maksud tertentu. Artinya, pemilihan tempat di kafe itu justru membuka kedok motivasi mereka yang sesungguhnya. Apakah ini sebuah blunder? Saya yakin bukan.
Ini bukan blunder, tapi justru disengaja. Mereka sengaja menunjukkan bahwa ada yang menggerakkan. Dan tampaknya pihak yang menggerakkan justru sengaja menampakkan diri. Ini semacam pesan kepada TA (dan khususnya Ahok) agar, “Jangan main-main dengan kami”. “Silakan memilih, ikut kami atau kami hancurkan”. Begitulah kira-kira pesan itu jika diterjemahkan ke bahasa umum.
Berbagai reaksi
Tak ayal lagi, peristiwa ini menimbulkan beragam reaksi dari berbagai pihak. Ada beberapa pihak yang “terlibat langsung” dan beberapa pihak lain yang sebenarnya “hanya supporter”. Tentunya supporter dari kedua pihak yang berseteru. Rekapitulasi reaksi tersebut adalah sebagai berikut:
Teman Ahok : Segera setelah konferensi pers yang dilakukan Paulus cs, TA berkomentar di tweeter, "sekelompok pemalsu ktp (yg sebenarnya rentan dipidana oleh yg pemiliki ktp), melakukan bunuh diri, krn mau dipolitisasi utk serang TA." Selanjutnya, juru bicara TA Amalia Ayuningtyas menjelaskan kepada wartawan bahwa, setiap KTP yang dikumpulkan sudah melalui proses verifikasi. Tentang Paulus cs, dia mengaku tidak akan melakukan tuntutan hukum. "Sebenarnya lebih ke sanksi sosial. Awalnya kami ingin membalas, tetapi ternyata publik sudah lebih dulu membalasnya dengan sanksi sosial," begitu katanya sembari mempersilakan jika ada pihak yang akan melakukan tuntutan hukum. Komentar orang atas pernyataan TA ini juga terbelah. Pendukungnya menilai sebagai pernyataan dan sikap yang cerdas, karena menghemat energi untuk hal-hal yang penting saja. Lawannya justru mencibir, karena dianggap bentuk ketakutan TA untuk dilakukan pengungkapan fakta. Menurut saya, dua-duanya bisa benar dan juga bisa salah. Wong memang sama-sama hanya menduga kok.
PDI Perjuangan : Sebagaimana yang saya ulas di atas, pihak di balik konferensi pers Paulus cs sengaja menampakkan diri. Akibatnya, masyarakat dengan mudah menyimpulkan bahwa yang bertanggung jawab adalah PDIP. Kontan saja, parpol pemenang Pemilu 2014 itu menjadi sasaran hujatan masyarakat. Sebagian menganggap ini adalah kebijakan partai, tetapi sebagian lagi hanya menyalahkan “oknum” kadernya, Junimart Girsang dan Adian Napitupulu. Ini jelas tidak baik bagi PDIP, karena sebagian besar yang menghujat sebenarnya justru simpatisannya. Anehnya, sampai saat tulisan ini dibuat, mereka tidak mengeluarkan pernyataan sama sekali. Otomatis para penghujat semakin yakin bahwa ini memang kebijakan partai, bukan kerjaan oknum.
Kompasioner : Reaksi yang gegap gempita justru di dunia maya, termasuk para kompasioner. Padahal mereka bukan pihak yang terlibat langsung, hanya supporter atau penggembira. Mereka merasa mendapatkan bahan bakar tambahan untuk saling berbalas artikel. Bagi pembenci Ahok, berita ini dijadikan amunisi baru untuk menyerang pihak lawan. Mereka banyak membuat tulisan yang intinya “kebenaran telah terkuak”. Bahkan ada kompasioner yang saking gembiranya mengatakan “ingin jungkir balik”. Kompasioner ini memang terkenal. Tulisan-tulisannya banyak yang menjadi HL, dan juga banyak yang dibredel admin. Di sisi lain, Ahoker langsung menumpahkan kemarahannya. Ada yang mengatakan Paulus cs sebagai barisan sakit hati, ada juga yang bilang mereka maling teriak maling. Pada umumnya mereka menyerang “orang yang mengatakan”, tapi jarang yang membahas “apa yang dikatakan”. Tak lupa, mereka juga menyerang pihak yang berada di baliknya, PDIP. Menariknya, kelompok ini ternyata juga terbelah menjadi dua. Pihak yang masih mengharapkan Ahok maju bersama PDIP hanya menyerang oknum kader yang bermasalah (Junimart dan Adian). Pihak yang satunya lagi, yang masih istiqomah mendukung Ahok independen, berteriak, “go to hell PDIP.”
Ahok : Sebenarnya yang penting kita tunggu justru reaksi dari Ahok. Dialah pemeran utama dari seluruh hiruk pikuk ini. Tapi hingga kini belum mengeluarkan keputusan final. Jika sinyalemen saya benar, yaitu bahwa parpol sedang menggertak Ahok, maka episiode lanjutannya akan sangat menarik. Selama ini kita telah menyaksikan bagaimana seorang Ahok tidak pernah mengenal kata takut menghadapi gertakan. Preman Tanah Abang dan Kalijodo ditantangnya, dan mereka terpaksa mengakui bahwa mantan Bupati Belitung Timur ini adalah orang yang tangguh, orang yang tidak mempan digertak. Sejarah akan membuktikan, apakah masih seperti itu.
Ciangsana, Kamis Wage 23 Juni 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H