Mohon tunggu...
Putra Sang Fajar
Putra Sang Fajar Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Pengetahuan

Menyukai aktivitas belajar dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Berhasil Olah Biodiesel, Pertamina Tak Lagi Impor Solar

14 Februari 2021   11:07 Diperbarui: 14 Februari 2021   11:17 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komitmen Pertamina untuk mengolah energi yang ramah lingkungan perlahan mulai terwujud. Bahkan, penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) itu secara langsung menguntungkan negara.

Betapa tidak, ketika Pertamina mulai beralih kepada Biodiesel, impor BBM bisa turun secara signifikan. Bahkan sejak 2019 lalu, perusahaan minyak nasional itu sudah berhenti mengimpor Solar.

Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.

"Tidak terjadi impor minyak solar yang dilakukan Pertamina. Malah Pertamina produksi sendiri untuk keperluan dalam negeri," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Rabu (10/02).

Kalaupun dalam neraca dagang masih tercatat impor solar di Indonesia, hal tersebut dilakukan oleh perusahaan migas luar negeri yang ingin menjualnya di sini. Bukan dilakukan oleh Pertamina.

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia merupakan negara produsen sekaligus konsumen biodisel terbesar di dunia. Pada 2020 lalu, realisasi pemanfaatan biodiesel 30% atau B30 kita mencapai 8,46 juta kilo liter (KL).

Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 6,39 juta KL. Sementara untuk tahun 2021 ini, Pertamina menargetkan pemanfaatan B30 mencapai 9,2 juta KL.

Dengan penggunaan biodisel yang masif itu, serta keberhasilan menyetop impor solar, Pertamina telah membantu negara menghemat devisa sebanyak US$ 2,66 miliar atau sekitar Rp 38,31 triliun pada 2020.

Hal ini merupakan capaian yang luar biasa bagi perekonomian nasional. Sekaligus selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mulai mengurangi impor dan mempersempit defisit anggaran berjalan (current account deficit).

Ditambah lagi, Pertamina terus berupaya untuk meningkatkan produksi biodiesel ke depannya. Hal itu terlihat dari progres pembangunan Kilang Cilacap untuk pengembangan biodiesel yang akan rampung pada akhir tahun 2021 nanti.

Dengan rampungnya konstruksi fase-1 tersebut, Kilang Cilacap ditargetkan bisa mengolah Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) sebanyak 3.000 barel per hari.

Proyek tersebut akan diteruskan ke fase-2 pada tahun depan untuk menghasilkan 6.000 barel biodiesel setiap harinya. 

Setelah itu, Pertamina akan melanjutkan kembali pembangunan kilang hijau di Plaju yang ditargetkan rampung 2023. Kilang tersebut bakal memiliki kapasitas pengolahan CPO sebesar 20 ribu bph.

Pada akhirnya, kebijakan Pertamina tersebut ditujukan untuk memenuhi harapan pemerintah, dimana pada 2030 nanti produksi bahan bakar hijau ini, baik green diesel dan green gasoline mencapai 14 juta KL atau naik 65 persen dari jumlah saat ini sebesar 8,4 juta KL.

Adapun sasaran penggunaan biodiesel tersebut pertama kali tetap untuk konsumsi dalam negeri. Meskipun ke depan tak menutup kemungkinan untuk mengekspor produksi yang ada.

Artinya, di sini kita akan mulai membalikkan kondisi, dari awalnya importir migas berubah menjadi eksportir biodiesel. 

Untuk mewujudkan itu, Pertamina berencana menggenjot investasi pada sejumlah lini bisnis tahun ini. Tak tanggung-tanggung perusahaan BUMN energi tersebut menyiapkan belanja modal hingga US$ 10,7 miliar. Angka tersebut meningkat lebih dari dua kali dari investasi tahun lalu sebesar US$ 5,2 miliar.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan alasan investasi "super jumbo" tersebut. Hal itu karena menurutnya, kita masih terlalu banyak impor BBM, sehingga sebagian besar investasi Pertamina (sekitar 60 persen) bakal dialokasikan untuk sektor hulu.

Harapannya dengan berinvestasi pada sektor yang produktif seperti itu, Pertamina akan lebih menguasai pasokan energi. Sehingga saat dunia mulai berubah kepada penggunaan EBT, maka Indonesia sudah siap dan pada posisi termaju.

Menurut saya, kebijakan Pertamina di atas merupakan langkah yang cerdas. Bukan hanya dari sisi ekonomi saja, tetapi juga mampu membaca dan mengantisipasi kemungkinan pergeseran energi di masa depan.

Kita tahu, dunia bakal berubah. Penggunaan energi baru dan terbarukan tak terelakkan lagi. Tapi sekarang kita sedikit lega, karena Pertamina sudah memikirkan itu dan mulai beralih ke sana.

Inilah momentum bagi kita untuk menjadi negara termaju di bidang energi. Jangan disia-siakan lagi. Setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun