Mohon tunggu...
Komalasari Mulyono
Komalasari Mulyono Mohon Tunggu... lainnya -

F

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kujual Cah Bagusku Kepada Nafsu Sakral (3)

28 September 2011   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

3. Beban dan Harapan Amarah menjura padaku, memaksaku mencari jalan balas dendam atas pembantaian sapi-sapiku. Hingga sampailah diriku dan suamiku di sebuah rumah gedeg yang sebagian gentingnya retak, gedegnyapun sebagian telah bolong –bolong. Seorang dukun perempuan berusia tua tinggal disana. “Waduh, kok repot-repot nduk tun”. Eyang Semut , wanita bertubuh ringkih dengan terbungkuk-bungkuk menyambutku. Menerima buah tanganku yang berupa beras dan gula jawa. Di atas tikar berwarna merah lusuh, kami duduk. Terasa pantatku gatal. Rasa gatal itu menjalar sampai kaki. Pelan-pelan merambat ke punggung. Ada yang tak beres dengan tikar yang kududuki. Kulihat tangan kang Su mulai menggaruk pinggangnya. Eyang Semut adem ayem bersimpuh dengan sirih memenuhi mulutnya yang berwarna merah pekat. “ Sudah lapor pak polisi ? “, tanya eyang Semut setelah kang Su bercerita tentang sapi terbunuh itu. “ Tambah repot saja eyang kalau lapor pak polisi “, jawab kang Su. “ Heh heh heh heh”, kekeh eyang Semut menanggapi ucapan kang Su. “ Eyang, tolong ya , beri tahu saya siapa sebenarnya yang membunuh sapi-sapi kami “, mohonku iba. “ Tunggu dulu ya nduk “. Eyang Semut bangkit dari duduknya. Masuk ke kamar pribadinya yang meniupkan aroma bunga bercampur dupa. Satu jam lamanya, kami berdua menunggu ditemani kopi lalap dan rengginang. “ Bagaimana eyang ?“, tanyaku tak sabar. “ Heh heh heh , mereka adalah orang-orang yang paling menderita di mayapada ini. Heh heh heh. Kasihani saja nduk, dengan jalan kasih kamu bakal menemukan keberuntungan. Seperti inilah pesan yang kudapatkan dari khodam pendampingku atas masalah yang menimpamu saat ini “. “ Mereka orang-orang yang menderita ?. Siapa mereka “, tanya kang Su. “ Menderita yang saya maksud bukan berarti sengsara secara nyata. Pandangan yang ditunjukkan khodam saya memperlihatkan, di balik jasad-jasad segar bugar, ada borok hati penuh nanah. Heh heh heh. Kalian lebih tahu dari saya siapa pembunuh sapi-sapi tanpa dosa itu. Heh heh heh”. Bayangan yu Dar dan kelompoknya terlukis secara jelas. “ Saya tahu mereka eyang. Mereka perlu diserang balik sebagai pelajaran atas perbuatan jahatnya. Tolong bantu saya melaksanakan serangan balik kepada mereka “, ujarku geram. “ Heh heh heh. Kau mulai ketularan penyakit menjijikkan milik meraka. Lebih membahayakan akibatnya heh heh heh heh”. “ Eyang, lalu apa yang seharusnya saya lakukan ?”,. “” Heh heh heh kau bakal kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sapi-sapimu , jika kau membalas dendam. Yang perlu kau lakukan meningkatkan rasa welas . Ketahuilah nduk yang terbawah adalah yang paling kuat “. Aku merinding mendengar wejangan eyang Semut. Aku menjadi ketakutan akan kejadian mengerikan yang bakal menimpaku jika menuntut balas. Aku percaya setiap ramalan eyang Semut selalu benar. Layanan perlindungan dan layanan kesejahteraan masyarakat umum telah menjadi layanan khusus buat kaum dedemit. Kharisma dukun membantai habis dayaguna para pengabdi masyarakat. Saat ini, dukun-dukun gadungan menjamur dengan tarif melebihi biaya sogok polisi maupun biaya ke dokter maupun harga timbangan di pengadilan maupun harga warga negara Indonesia. Setelah 2 tahun kepergian Kresna. Punggungku sedikit demi sedikit melengkung karena kesetiannku menggendong beban berat para pengunjung pasar desaku. Tak apa yang penting nasi dan lauk selalu ada. Hari ini adalah kliwon, dimana pasar Kliwon tengah pasaran , sangat ramai. Kuning kemilau kalbuku. Ringan kakiku terbang menuju pasar , dimana hari ini rejeki berlimpah ruah bagi para pengais rejeki pasar. Berhenti mendadak lajuku ketika melintas rumah joglo bekas kediaman warok Singo. Ada sebuah truk di halamannya yang luas. Musik reog bergema. Bunyi pukulan palu tanda perbaikan rumah terdengar dari dalam. Dari pintu utama rumah muncul 2 orang lelaki menyerupai tukang. Apakah ini pertanda warok Singo akan kembali?. Tubuhku terdorong oleh rasa rindu yang terbakar rasa penasaran, melangkah ke halaman rumah itu. “Nuwun sewu (permisi) bapak-bapak, boleh bertanya ?”, tanyaku kepada mereka. “ Monggo-monggo ( silahkan ) bu “, jawab salah satu tukang itu. Keduanya tak kukenal . Mungkin datang dari jauh. “ Sepertinya sedang dandan-dandan (memperbaiki)rumah ya, ada apa ?”. “ Karena sebulan lagi ki Singo akan kembali menghuni rumah ini , bu”. Aku ternganga antara percaya dan tidak, dalam deburan bahagia. “ Sebulan lagi kembali ?”, tanyaku menuntut kepastian. “ Benar, sekarang ki Singo sedang berada di Perancis bersama gemblak klangenannya (kesayangan), memenuhi undangan londo-londo (orang kulit putih) Perancis untuk menari di sana “, “ Siapa gemblak itu ?’, “ Den bagus Kresna, gemblak galak, gendeng dan keminter bu “. Jawaban ini membuat angkasa dipenuhi kencana dewa baskara. Bumi yang kupijak mencuatkan kembang wijayakusuma berkelopak mustika sembilan cahaya. Aku terbangun. Ingatanku tertuju pada Kresna . Kang Su masih tidur. Berjingkat, aku bangkit dari tikar, tempat peraduan kami. Kuambil sarung untuk menahan dingin dini hari. Pukul dua, jarum jam memberitahukan tentang waktu. Diluar riuh oleh obrolan para lelaki yang sengaja terjaga. Dihibur oleh alunan wayang dari radio. Obrolan mereka seputar nasib dan dunia gaib. Saling berlomba melukiskan pengalaman melihat sosok hantu yang pernah mereka temui. Ada rasa malu melewati gerombolan lelaki itu. Kubelokkan kakiku ke sebuah kebun singkong. Gelap sekali. Cahaya bulan sabit tak banyak membantu. Kakiku berkali-kali terantuk akar, masuk lobang bahkan sering menginjak benda lembek serta bau. Sesekali tubuhku menabrak pohon. Kurutuki lupaku membawa santer. Keluar dari kebun singkong, kumasuki areal persawahan yang luas. Hatiku sedikit gentar. Kisah wujud hantu yang barusan kudengar, melumerkan semangatku. Apalagi di salah satu sudut persawahan ini adalah pemakaman umum. Bulan sabit hilang diterkam awan. Gelap pekat suasana. Tubuhku basah semua. Aku berlari tersaruk-saruk dengan mata setengah terpejam. Karena kulihat di pucuk pepohonan, banyak bayangan kuku-kuku panjang meliuk-liuk seram. Kubuka mata dengan ragu. Kusapu hening dengan nanar. Liukan kuku-kuku seram memiliki ribuan pandangan jalang. Takutku liar. Beraniku berlarian. “ Waduh mau kau ganti dengan apalagi aturan leluhur dari reog, cah bagus?”, suara berat seorang bapak mengeluarkan aku dari belenggu kuku jejadian. Suara warok Singo. Benar-benar warok sakti. Aku telah sampai bagian belakang rumah warok Singo. “ Bapak, reog adalah seni. Seni memiliki kehidupan. Kehidupan memiliki aturan yang terus berkembang. Bapak harus paham dengan jaman. Jangan hanya terpaku pada pakem kuno yang mulai kehilangan roh “, jawab suara seorang pemuda dengan irama keminter (sok pintar). “ Bapakmu ini susah payah menggeluti reog melalui ritual keramat yang berat. Mengikuti jejak leluhur para warok. Sekarang dihadapanku, seorang Kresna yang masih muda mengajakku menjungkirbalikkan aturan sakral seni reog yang pantang dilangkahi”. Benar kata tukang yang pernah kutemui itu. Bocah ini telah menjadi pemuda edan. Masih seperti dulu, warok Singo meladeninya dengan sabar. “ Saya mengajukan usul, pertunjukan reog di alon-alon nanti, kita berganti peran, bapak menjadi gemblak menarikan jatilan, saya menjadi warok yang menarikan reog “. Gendeng benar bocah ini. Hatiku meledak cemas. Tapi tak lama kudengar gelak tawa warok Singo. “ Saya akan memadukan gerak reog tradisional dengan gerak rock n roll Elvis Presley. Saya yakin penonton akan histeris. Londo-londo yang datang akan semakin senang menyaksikan pertunjukan group reog pimpinan bapak “. Terdengar kembali ledakan tawa warok Singo. Kali ini lebih keras gemanya. Anak ini benar-benar menghina keluhuran seorang warok. Menarikan reog dengan gaya rok koprol lapis perkedel ?. Sungguh tak waras. Kelanjutan obrolan Kresna dan warok Singo berhenti. Lenggang yang luas mengambang pada bentang sawah yang mengelilingi kediaman warok Singo. Liukan kuku penuh mata muncul dari atas pucuk-pucuk padi. Aku ngeri. Kuhujamkan kaki sekuat daya dengan ayunan penuh penggalan. Bersambung Kaki Bermahkota Maaf, sahabat yang mulia, sebuah mahkota yang seharusnya berada di kepala, saya taruh di kaki. Segalanya berawal dari kebodohan saya yang makin hari makin bertambah. Setiap orang tanpa belajar, bisa mengenakan mahkota di kepala. Bahkan anak balitapun lihai melakukannya. Orang perlu belajar ekstra keras untuk mampu berjalan dan berlari kala mengenakan mahkota di kaki. Maka dari itu, orang yang kakinya bermahkota biasanya cerdas, terampil dan gesit geraknya menjelajah rintangan. Betapa baiknya jika orang yang kakinya bermahkota menjadi pemimpin. Negaranya pasti maju dalam waktu singkat. Sahabat yang mulia, sebuah opini terbungkus analogi amburadul bukan?. Maklum ide ini saya pungut dari tumpukan debu dan sobekan kertas sampah. Hanya orang bodoh yang mau-maunya memungut ide dari sana. Salam cinta. Salam sentosa. NK. Sari Kujual Cah Bagusku Kepada Nafsu Sakral Kujual Cah Bagusku pada Nafsu Sakral (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun