18 juli 2016, hampir semua anak Indonesia masuk sekolah untuk pertama kali di semester pertama tahun ajaran 2016-2017
Mengutip kalimat seorang psikolog terkenal “Jika hari pertama sekolah berjalan dengan baik, Ananda akan memiliki pemikiran positif tentang makna belajar dan pembelajaran di masa pendidikannya” Yang menjadi fokus dalam penyampaian psikolog tersebut adalah bagaimana orangtua memberikan dukungan pada anak, agar anak memiliki pandangan positif.
Saya teringat.. pada pengalaman ke tiga anak kami, saat hari pertama bersekolah. Ketiganya punya pengalamanan yang berbeda. Si sulung menghadapi dengan sangat bersemangat dan kooperatif. Si tengah sedikit sulit kompromi dan si bungsu yang tidak berbaur. Sepertinya hanya si sulung ya, yang memiliki pandangan positif ? Jika dikaitkan dengan kutipan kalimat diatas, saya mengamati hingga hari ini, semangat mencari ilmu yang ditunjukkan oleh ketiganya masih dengan cara yang sama. Si sulung, sangat senang belajar walaupun sudah menyelesaikan gelar kesarjanaannya. Si tengah yang akhirnya menemukan “passion” dengan melalui banyak upaya kompromi, terutama tentang etos belajar. Dan si bungsu yang dengan kekhususannya, terus mencoba menyamakan dirinya agar sejajar dengan teman-teman seusianya, dalam kelas homeschooling.
Saya jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi jika ketiganya menghadapi hari pertama dengan semangat dan kooperatif yang sama? Sama-sama dengan semangat positifnya ?
Hari ini, saya mencoba mengevaluasi kembali, apakah dulu saya juga sama dengan orang tua lain ? Apakah saya sudah berusaha untuk mensukseskan kegiatan di hari pertama sekolah ? Apa yang sudah saya persiapkan untuk mereka? Buku, seragam, peralatan sekolah hingga mendampingi anak. Saya yakin untuk mempersiapkan kebutuhan sekolah berupa benda dan bekal fisik, saya sudah melakukan yang terbaik. Adil dan merata.
Tapi untuk dukungan moral, walaupun ingin, saya tidak bisa berikan hal yang sama. Karakteristik dan sifat anak, respon dan interaksi yang timbul saat bersama masing-masing anak, menghadirkan kedekatan yang berbeda. Ya… Tiga anak dengan tiga kelekatan hati yang berbeda. Kedekatan yang memicu dukungan moral yang berbeda. yaa.. dengan anak-anak yang “mudah” kita jadi lebih nyaman ya? Mudah mendoakan. Mudah menyayangi. Mudah berbagi. Mudah merasa ingin membantu. Beda dengan anak yang “sulit”. Khusus dengan anak sulit, hampir tiap saat orangtua harus punya ekstra. Ekstra sabar, ekstra pemaaf, ekstra tenaga, ekstra konsentrasi, ekstra ketenangan ataupun ekstra-ekstra yang lain. Ini membuat hubungan dengan Ananda tidak mudah. Apalagi tidak selamanya kita punya cadangan ekstra untuk tetap bersikap sebagai orangtua yang baik. Mungkin pekerjaan di kantor sedang bertumpuk. Mungkin kita sedang tidak sehat. Mungkin kita sedang mengalami ketegangan dengan pasangan. Benar kan? Benar bahwa manusiawi sebagai manusia dan orangtua, kita punya kelekatan yang berbeda dengan masing-masing anak. Beda kelekatan ini, yang membuat dukungan moral pada masing-masing anak, tidak sama? Begitu ya? Bagaimana jika kelekatan yang berbeda berdampak besar pada dukungan keberhasilan anak? Dan terbawa hingga mereka dewasa ?
Jadi tantangan yang muncul bagi orang tua, jika ingin memberikan dukungan secara total adalah, bagaimana mengelola kelekatan dengan anak. Coba mendapatkan kelekatakan yang kurang lebih sama pada setiap anak. Memastikan bahwa tidak ada anak yang sangat dekat, sedangkan ada anak lain yang diabaikan. Yang ada hanyalah anak-anak yang disayang, dicintai dan didukung secara maksimal oleh orangtua. Bisakah?
Sebagai orangtua, kita memang tidak pernah bisa memilih anak-anak seperti apa yang akan hadir dalam kehidupan. Anak-anak juga tidak bisa memilih siapa orangtuanya. Allah swt, Yang Menentukan. DIA pilihkan anak-anak untuk di amanahi pada kita. Allah Maha Tahu atas setiap potensi pengasuhan orangtua. Bagaimanapun anak yang hadir, insya Allah kita memang dipilih karena mampu. Artinya kita mampu.
Saya teringat dengan kisah seorang pemimpin di negri ini. Pemimpin tersebut, dikaruniai beberapa orang anak. Hebatnya setiap putra/I beliau, ketika ditanya, tentang berapa besar kasih sayang ayah padanya, menjawab bahwa dirinya yang paling disayang oleh sang ayah. Dan dalam kesenangannya menjadi anak kesayangan, tiap anak punya perasaan “welas asih” pada saudaranya yang lain. Tidak ada persaingan. Tidak ada sifat iri antar saudara. Karena bagi anak-anak, saudaranya tidak mendapatkan kasih sayang sebesar kasih sayang yang diterimanya dari ayah.
Dalam otobigrafinya, sang ayah menuliskan bahwa ia melihat tiap putra/I nya dari kelebihan anak. Bukan kekurangannya. Bukan kelemahannya. Bukan sikap-sikap tak terpuji. Beliau sangat menghargai setiap anaknya sebagai pribadi yang punya potensi untuk memiliki masa depan gemilang dengan kelebihannya masing-masing. Beliau banyak meluangkan waktu untuk menjadi bagian dalam perkembangan Ananda. Tertawa bersama Ananda. Berbagi mimpi bersama anada. Dan sangat menjaga rahasia ataupun kelemahan anandanya. Tidak sekalipun beliau membandingkan satu anak dengan anak yang lain. Dukungan tanpa alasan. Cinta tanpa syarat.
Dukungan moral seperti ini, saya yakin lebih penting ketimbang buku, seragam, peralatan sekolah atau fasilitas lain di hari pertama sekolah. Anak-anak yang mendapatkan dukungan seperti ini, akan menikmati hari-harinya sebagai pembelajar. Menyimpan semangat pembelajar sejati, untuk meraih keberhasilan seumur hidupnya.
Kilas balik ini, membuatkan berfikir hal ini yang harus kuasah. Melihat anak dari kelebihannya. Mencintai tanpa syarat. Mendukung tanpa ada alasan. Hm.. seandainya saya memahami waktu anak-anakku menjalani hari pertama sekolahnya….