Mohon tunggu...
Bunda Nefri
Bunda Nefri Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang ibu dengan tiga orang anak. Saya bekerja, mendukung para orangtua untuk memandirikan putra/inya dengan berkebutuhan khusus. Anak-anak ini punya hak untuk dihargai dan berkesempatan hidup layak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masuk Perguruan Tinggi

11 Februari 2010   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun ini, insya Allah putri sulungku akan menjadi mahasiswi...

Sejak awal tahun ajaran, saya sudah berusaha mencari informasi yang berkaitan dengan "Penerimaan Mahasiswa Baru". Baik itu di perguruan tinggi swasta, maupun negeri.  Baik itu yang jalur untuk calon siswa berprestasi maupun yang "biasa-biasa" saja.

Dan sayapun terkaget-kaget...

Ternyata.. perguruan tinggi negeri jika dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta, hanya beda tipis.

Terutama soal biaya...

Mulai dari harga selembar formulir yang sudah berkisar antara Rp 200.000,- hingga Rp 850.000,- perlembar. Uang pangkal atau uang gedung yang sudah mendekati 7 digit hingga 9 digit. Hingga uang sekolah persemester. Orang tua harus sangat dallaaaam merogoh kantongnya agar anak-anak ini bisa kuliah.

Saya teringat, bersama-sama dengan saya, 20 tahunan yang lalu.. ada kawan-kawan yang orangtuanya berprofesi sebagai tukang becak, tukang sayur, "blantik sapi".. Saya tidak tahu apakah kalangan ini masih mendapat kesempatan ya?..  Memang jika saya buka beberapa website perguruan tinggi, ada penawaran beasiswa bagi siswa kurang beruntung. Tapi.. seberapa besar kesempatan mereka untuk bisa mendapatkannya??

Persentasi bangku kuliah hampir diatas 50 persen untuk yang memiliki "dana sangat cukup" dengan label "Mandiri". sisanya.. dibagi-bagi antara UMPTN, UTUL, Beasiswa, Siswa Berprestasi.. dan nama-nama lainnya... Perhitungan saya, kesempatan  bagi siswa/i yang tak beruntung tak lebih dari 10 %. Miris yaaa... Itupun harus ditunjang dengan "surat miskin" dari RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan.

Yang menempati posisi tersulit sebenarnya anak-anak dari keluarga menengah. Biaya hidup yang cukup tinggi saat ini, berdampak nilai UMR hanya jadi "syarat kepantasan".. bukan "syarat kecukupan". Orang tua mereka tak akan mendapatkan surat miskin dari aparat setempat, untuk memperoleh keringanan pembayaran, hal mudah diperoleh anak-anak keluarga sederhana. Sedang.. jumlah uang yang mencapai 7 hingga 9 digit.., yang harus dipersiapkan, bukan jumlah yang sedikit dan mudah untuk didapat. Ya..Memang betul... di kelompok ini akhirnya, banyak orang tua terlibat hutang dengan pihak-pihak tertentu (bank, kartu kredit, rentenir, dsb)

Yang "berdana cukup".. aksesnya luar biasa.. mereka dapat memilih fakultas dan jurusan yang mereka mau, dengan jaminan diterima. (Seorang teman menceritakan padaku, dirinya ditawari, untuk menyekolahkan putranya di sebuah Fakultas Negri Ternama di daerah Jawa Tengah, dengan biaya awal 250 jt) Ah.. bagaimana kemampuan para ahli Indonesia di masa depan, jika calon para ahli ini mendapatkan keahliannya dengan "modal kemudahan"?? Apakah mereka juga terkena sangsi DO, sebagaimana teman-temannya yang masuk melalui jalur PMDK, atau siswa berprestasi?? (anak-anak dengan jalur PMDK atau siswa berprestasi.. diwajibkan menjaga IP mereka diatas rata-rata. Terancam di DO jika mereka melalui batasan tersebut).

Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat yang "berpotensi sebagai pasar konsumen" di dunia Internasional.. Tapi apa ya.. dunia pendidikan harus dikategorikan dalam "kemewahan" juga, yang dapat memancing banyak konsumen?

Beberapa kawan, malah akhirnya memutuskan untuk memberikan "pendidikan praktis" pada putra/inya.. dengan mengikuti kursus atau pendidikan tertentu. Agar mereka akan menjadi wirausahawan-wira usahawati, tanpa harus mengenyam perguruan tinggi. Ini sah-sah saja. Dan memang betul ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang cenderung lebih berhasil tanpa melewati jenjang ini. Tapi pada jabatan tertentu.. Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang punya keahlian, terutama bagi "Penentu dan Pengambil Kebijaksanaan". Kita tak akan dapat membayangkan seorang direktur, yang tak mempunyai kemampuan "memanage"..akan menjabat sebuah perusahaan besar. Atau, saya yakin tak ada satupun orang tua yang rela diajar oleh orang-orang yang tak memahami bidang yang akan ia ajarkan. Bukankah ada kalimat "Segera tunggu kehancurannya, jika suatu pekerjaan dikerjakan bukan oleh ahlinya)

Saya berharap.. saya bermimpi segera akan ada jalan keluar bagi bangsa Indonesia..

Indonesia.. membutuhkan segera banyak putra/i Indonesia yang sanggup "melayarkan" perahu negara dengan benar dan tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun