Mohon tunggu...
Nur Rohmah
Nur Rohmah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karena "Gengsi"kah?

1 Januari 2014   01:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalan disore hari yang cerah memang menjadi salah satu alternative mengurangi rasa penat setelah seharian tubuh kita beraktifitas. Namun, (mungkin) hal itu tidak akan terasa ketika kita berjalan dikawasan SD Muhammadiyah Sapen, Kota Yogyakarta. Bagaimana tidak, setiap pagi dan sore wilayah disekitar SD tersebut pasti akan dipenuhi dengan mobil-mobil mewah milik para “kaum beruang” yang berjejer untuk menjemput anak-anak mereka. Sebagai pejalan kaki, jelas saya terganggu dengan kondisi tersebut, karena suara bising kendaraan yang mobil mereka keluarkan benar-benar mengganggu, belum lagi klakson yang selalu mereka bunyikan kepada kami yang sedang berjalan, hal-hal tersebut benar-benar membuat saya geram.

Memang SD ini terkenal dengan sekolah elite, uang SPP per bulannya saja lebih mahal dari uang semesteran saya, terang saja yang sekolah disini pasti yang orang tuanya berduit alias orang kaya. Hehe

Namun, bukannya kagum dengan apa yang dilakukan orang tua mereka, justru saya terkadang berpikir alasan mereka memasukkan anak mereka ke SD tersebut karena demi kebaikan anak atau hanya karana gengsi semata. Pertama, jelas dilihat dari kendaraan yang mereka pakai untuk mengantar jemput anaknya, orang tua mereka berbondong-bondong mengendarai mobil mewah mereka untuk menjemput anaknya. Namun, apakah efektif ketika yang menjemput hanya satu orang dan yang dijemput juga satu orang sementara mereka mengendarai mobil ? padahal selain tidak efektif, hal tersebut juga benar-benar membuat kawasan sapen menjadi macet dan juga mengganggu pejalan kaki yang melintas. Kedua, setiap hari saya menyaksikan anak-anak tersebut pulang sampai pukul 4 sore. Saya sering bertanya dalam hati, apa memang jam pelajaran di tingkat Sekolah Dasar sekarang memang sampai sesore ini, padahal saya masih ingat dulu dizaman saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar, jam pelajaran paling siang saja pukul 12.00 WIB. Memang bagus sih, ketika anak memiliki banyak kegiatan di sekolah kemungkinan anak melakukan hal yang kurang baik menjadi lebih sedikit, namun saya juga merasa kasihan kepada mereka. Saya kasihan melihat mereka yang (mungkin) kehilangan banyak waktu bermainnya karena terlalu sibuk dengan kegiatan di sekolah. Ya walaupun mereka dapat memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk bermain, tetap saja bermain disekolah itu tidak membuat fikiran kita fresh sedikitpun. Lalu pemandangan yang paling akrab saya lihat ketika melihat orang tua mereka menjemput anaknya adalah kesan pamer yang melekat pada mereka (bukan pada anaknya namun orang tua). Karena, hanya untuk menjemput anaknya disekolah, orang tua berlomba dalam berpenampilan sebagus mungkin. Dan juga kesenjangan social juga akan terlihat disekitar SD tersebut, bisa dilihat bahwa lingkungan SD tersebut bukanlah lingkungan perumahan dengan masyarakat kalangan atas semua. Sebagian besar penduduk desa tersebut adalah kalangan menengah, dan bahkan jarang dari masyarakat sekitar menyekolahkan anak mereka di SD tersebut. sehinnga, dengan hal tersebut, kesenjangan social Antara mereka semakin terlihat.

Harusnya orang tua lebih memperhatikan perhatian kepada anaknya, bukan hanya perhatian mengenai ilmu formal apa yang mereka harus dapat. Namun, lebih dari itu orang tua harus memberikan pembelajaran tentang bagaimana hidup bermasyarakat, pembelajaran tentang sebuah kesederhanaan, dan yang paling jelas pembelajaran tentang nilai dari sebuah kekayaan itu sendiri.

Quote for today “Do not educate your children to be rich. Educate them to be happy. So, when they grown up, they’ll know value of things, not the price”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun