Pada akhirnya, pemerintahan Amangkurat I mencapai titik nadir dengan penyerbuan pasukan Trunajaya. Setelah ibu kota jatuh, Amangkurat I melarikan diri dan meninggal di pengasingan pada 1677.Â
Menurut Ricklefs (2001), kematian Amangkurat I menandai akhir dari pemerintahan yang penuh dengan konflik internal dan eksternal. Setelah kematiannya, kerajaan Mataram dilanda periode ketidakstabilan yang berkepanjangan, hingga akhirnya VOC semakin mendominasi kerajaan tersebut.
Secara keseluruhan, pemerintahan Amangkurat I dapat dianggap sebagai masa yang penuh dengan kekacauan dan ketidakstabilan bagi Kesultanan Mataram. Kebijakan represifnya, ketidakmampuannya mengelola hubungan dengan VOC dan bangsawan lokal, serta kegagalannya dalam menjaga stabilitas sosial-ekonomi telah menandai runtuhnya sebagian besar kekuatan Mataram.Â
Meskipun demikian, penting untuk memahami bahwa tantangan yang dihadapi Amangkurat I sangat kompleks, dan beberapa masalah mungkin tidak sepenuhnya diakibatkan oleh kebijakannya.
Kesultanan Mataram setelah Amangkurat I mengalami transformasi besar, dengan VOC mengambil peran yang semakin besar dalam urusan kerajaan. Warisan kepemimpinannya meninggalkan jejak mendalam pada sejarah Jawa, menjadi salah satu contoh klasik kegagalan pemerintahan yang terlalu otoriter dan gagal membangun koalisi yang kuat dengan berbagai elemen masyarakat.
Referensi :
Carey, P. B. R. (1981). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: Brill.
de Graaf, H. J. (1985). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ricklefs, M. C. (1978). Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original Kartasura Chronicle and Related Materials. Oxford: Oxford University Press.
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. London: Palgrave Macmillan.
Ricklefs, M. C. (2008). Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (c. 1830--1930). Singapore: NUS Press.