Dengan tetap santai, aku berjalan menghampiri Tari sembari melirik kanan kiri, melihat seperti apa lawan-lawanku. Sebagian yang ikut sepertinya orang yang hanya ingin hadiahnya saja, beberapa kudengar percakapan mereka yang berharap keberuntungan semata. Karena memang hadiah lomba lumayan menggiurkan. Sejumlah uang yang bisa untuk membeli rumah dengan model sederhana.
Sebagian lagi kulihat mereka memang seniman. Karena pernah beberapa kali tidak sengaja bertemu di sebuah gedung kesenian.
Detik kemudian, langkah kaki terhenti ketika seorang gadis terlihat sangat kesal berdiri di depanku.
"Kamu kemarin-kemarin ke mana aja, si?! Dihubungi susah banget."
Kukira dia akan mengomel soal kedatanganku hari ini hampir terlambat. Ternyata dia bertanya soal panggilan telefon yang tidak kujawab.
Aku duduk, dan mempersiapkan alat lukis. "Tidak ke mana-mana, dan tidak melakukan apa-apa," jawabku.
Kudengar Tari mengembuskan napas pelan. Lantas membantuku menyiapkan peralatan. "Apa orang yang mirip denganmu muncul lagi di cermin?" tanyanya.
Aku tersenyum getir, kemudian meletakkan tas yang sudah kosong di samping kiri. Peralatan melukis seperti kuas dan cat warna yang kubawa sudah siap di meja kecil yang  ada di samping kanan.
Tidak heran jika dia bertanya seperti itu. Selama ini, aku menceritakan semuanya kepada Tari. Dia adalah satu-satunya teman yang tidak akan menyebutku gila karena bilang, "Ada perempuan yang mirip denganku di cermin." Dia selalu merespon setiap ceritaku dengan baik.
Aku kemudian menjawab, "Hari ini dia menatapku amat dalam dengan penuh kesedihan. Aku rasa dia sedang meremehkanku."
"Kau yakin dia benar-benar sedih hari ini?" Tari bertanya lagi, aku menjawabnya dengan anggukan.