Setelah hari itu, Dodi selalu saja berwajah murung. Setiap ia melihat sandal itu berada di depan masjid rasanya menyakitkan hatinya. Kemudian, timbul pikiran yang selama ini tidak pernah terlintas.
Dodi berjalan mendekati halaman masjid, napasnya memburu ketika semakin dekat dirinya dengan sandal itu. Terdengar suara takbir imam masjid. Tepat setelah itu, tidak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Dodi dengan berani mengambil sandal tersebut, kemudian berlari kencang. Dalam hati berharap, tindakannya itu tidak berdampak buruk. Tetapi satu hal yang ia lupa. Karung sampahnya tertinggal di depan masjid.
Beberapa menit kemudian solat selesai. Anak pemilik sandal itu kebingungan saat menyadari sandalnya tidak ada. Kemudian ayahnya melihat karung sampah tersebut, lantas menghela napas pelan.
“Nanti kita beli lagi yang baru, Nak,” katanya. Si anak diam, dan menuruti kata ayahnya.
Sementara itu, Dodi di rumah sempitnya memandangi sandal impiannya tersebut tanpa berani memakainya.
Malam harinya, Dodi ke depan masjid berniat ingin mengambil karung sampah yang tertinggal. Tetapi, karung sampahnya sudah tidak ada. Anak itu lantas ketakutan. Dia mengira akan ketahuan dan bisa jadi lebih buruk.
Dodi kembali ke rumahnya, lantas meyakinkan diri besok harus mengembalikan sandal itu, dan mengakui kesalahannya.
Anak itu, walaupun ia seorang pemulung, tetapi suka kejujuran. Meski ia takut melakukannya.
Besoknya, sore hari sebelum azan asar berkumandang. Dodi sudah sampai di depan masjid, dia meletakkan sandal itu di tempat yang sama saat ia mencurinya. Saat Dodi berbalik, sudah ada anak si pemilik sandal. Ia membawa karung sampah milik Dodi.
“Ini milikmu? Kemarin aku nemu di depan masjid,” katanya lalu tersenyum.
Dodi menunduk, lalu menangis sesenggukan dan mengakui kesalahannya.