Ingin, adalah kata yang tepat untuk anak lelaki berumur tujuh tahun yang tengah duduk di depan masjid. Setiap sore, dia di sana. Kulitnya cokelat, wajahnya lusuh tak beda jauh dengan kaos dan celana yang ia kenakan.
Namanya Dodi. Anak yatim piatu yang tinggal sendiri di gubuk pinggiran kota dan bekerja sebagai pemulung. Dia tidak bisa bersekolah. Uang hasil memungut sampah hanya bisa untuk makan sehari-hari. Sayangnya, dia juga tidak pandai berteman. Selalu saja kena ejek karena alas kakinya yang jelek, bahkan sebenarnya itu sudah tidak layak pakai. Sandal jepit yang tengahnya disambung dengan rafia itu ia dapat dari memulung. Sebelumnya dia bahkan tidak pernah memakai alas kaki sama sekali.
Kedatangan anak itu setiap sore ke depan masjid adalah hanya untuk melihat sandal milik seorang anak yang seumuran dengannya yang datang untuk solat Asar bersama ayahnya. Sandal itu terlihat bagus, dan mahal. Dodi sendiri pernah sekali mencobanya diam-diam. Baginya sandal itu sangat keren, dan nyaman dikenakan.
Setelah hari itu, Dodi berniat untuk membeli sandal yang sama. Dia dengan berani menemui anak itu dan bertanya soal harga dan di mana ia membeli sandalnya.
Tiga bulan Dodi bekerja keras, memulung lebih banyak, berhemat. Akhirnya dia bisa mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkan. Dengan perasaan senang, anak itu segera menuju toko yang menjual sandal impiannya.
Namun, di tengah perjalanan, dia bertemu dengan anak-anak nakal. Langkah Dodi terhenti. Dia jelas tidak bisa melawan enam anak remaja yang menghadangnya. Dodi mundur satu langkah ke belakang, mereka maju dua langkah.
Dodi menelan ludah, keringat dingin bercucuran, uang tabungannya ia genggam dengan erat. Lantas, detik kemudian anak itu berbalik dan berlari. Terjadi kejar-kejaran antara Dodi dan keenam anak itu. Dodi berlari sekencang mungkin, tidak peduli arah. Lewat gang-gang sempit, menerobos lampu merah, dan berlari di tengah pasar. Namun, ke enam anak nakal itu berpencar, dan mengepung Dodi saat sampai di halaman depan pasar.
Anak itu menangis. “Jangan ambil uangku ... aku mohon!”
Salah satu dari mereka yang perawakannya paling tinggi menendang tubuh Dodi sampai tersungkur. Tetapi, anak itu masih menggenggam uang miliknya.
“Ah! Kau itu sudah mengambil jatah memulung kami!” kata anak berbadan tinggi itu. Ternyata, keenam anak itu adalah pemulung yang memungut sampah di wilayah yang sama dengan Dodi. Sudah lama mereka memperhatikan anak itu, dan menantikan momen hari ini.
Uang tabungan akhirnya terampas dari tangan Dodi. Keenam anak itu lalu pergi, meninggalkan Dodi yang menangis sendiri di tengah keramaian orang-orang yang tidak peduli dengannya.