Selama ribuan tahun, manusia hidup berdampingan dengan mitos. Bahkan dapat dikatakan, bahwa mitos merupakan sumber pengetahuan dominan manusia dalam membangun peradaban sejauh ini. Degradasi mitos sebagai sumber pengetahuan mulai terjadi ketika manusia berkembang pesat pasca-renaisans di Eropa pada abad pertengahan.Â
Bisa ditelusuri, bahwa selama manusia berada dalam periode kegelapan sebelum renaisans terjadi, manusia masihlah tidak bergantung kepada metode-metode ilmiah. Dapat diketahui pula bahwa zaman dahulu kala manusia menggunakan figur non-material atau spiritual (gaib) untuk menuntun mereka dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup.
Moris Berman berkata, "dalam lebih dari 99% sejarahnya" umat manusia menggunakan cara-cara atau metode yang berbeda untuk mendapatkan ilmu pengetahuan atau untuk memahami realitas.Â
Nah, selama "99% sejarah umat manusia" itu, cara perolehan ilmu pengetahuan apakah yang dominan? Jawabannya adalah cara yang secara umum bisa disebut sebagai bersifat mistis, yang di dalamnya hubungan antara manusia dan alam selebihnya adalah suatu hubungan yang dicirikan dengan kebersatuan serta interaksi dan partisipasi di antara unsur-unsurnya.
Sehingga, sebagai konsekuensinya, proses mengetahui lebih bersifat ontologis-eksistensial ketimbang epistemologis. Yakni, sesuatu hubungan yang dicirikan oleh perjumpaan eksistensial kedua unsur yang terlibat dalam proses mengetahui ketimbang keterpisahan subjek-objek.[1]
Manusia, sebagai makhluk yang berkesadaran, dan karena itu memosisikan diri sebagai subjek, menyadari bahwa segala entitas yang ada di alam semesta merupakan suatu hasil ciptaan. Ada dualisme pandangan mengenai alam semesta.Â
Pertama, memandang alam semesta sebagai objek (pandangan ini merupakan pandangan umum---penulis), kedua, memandang alam semesta sebagai subjek juga, dalam arti memiliki nilai sejajar dengan manusia, yang maka dari itu dianggap pula berkesadaran---yang bersifat khas.
Manusia yang hidup di dunia dan mengalami perenungan eksistensial akan keberadaan dirinya, akan mulai mencari sesuatu dan memberikan makna pada apa yang ia temukan. Ia cenderung mulai memosisikan diri sebagai subjek dan memosisikan entitas alam semesta sebagai objek yang dapat dikelola olehnya melalui citra indrawi.Â
Meskipun demikian, pada zaman dahulu ada banyak manusia yang memiliki pandangan kedua (alam sebagai subjek) dan membuat mereka menyimpulkan mitos-mitos bahwa alam semesta ini hidup dan bukan sekadar objek abiotik.
Mitos ini berkembang, umumnya secara tradisional-lisan menjadi semacam wawasan fundamental bagi manusia masa lalu untuk memahami dan berinteraksi dengan alam. Disebut mitos karena tidak ada corak epistemologi dalam upaya memahami alam, melainkan lebih pada kepercayaan.Â
Manusia umumnya percaya bahwa alam adalah sebuah sosok. Sebagian memahami (atau tepatnya mempercayai) bahwa alam adalah sesuatu yang diciptakan dengan posisi tinggi dan memiliki otoritas terhadap dirinya dan manusia, sebagian lain memahami bahwa alam adalah sesuatu yang menciptakan dirinya sendiri---maka dari itu beberapa kalangan ada yang secara tersirat menganggap bahwa alam adalah manifestasi Tuhan itu sendiri dan tidak terpisah dari-Nya.
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mengkonseptualisasikan fenomena-fenomena alam dalam sebab-sebabnya, dalam urut-urutan sebab-akibat dan sebab-sebab umum. Seluruh proses ilmu pengetahuan dari 3000 tahun terakhir berkembang ke arah kepastian (dalam hal ini mengarah pada sains modern---penulis).Â
Sebab-sebab simbolis atau mitologis makin lama makin diganti oleh sebab-sebab yang pasti yang dapat diverifikasi. Dengan itu manusia menemukan tata tertib objektif dalam kosmos yang "predictable": kejadian yang akan datang dapat dihitungkan sebelumnya dan demikian dibimbing, dipergunakan atau dihalang-halangi menurut keperluan yang mendesak.[2]
Meski peradaban modern cenderung sudah meninggalkan upaya perolehan pengetahuan secara mitos, hal ini tetap tidak bisa dijadikan alat justifikasi absolut untuk menyatakan bahwa mitos sepenuhnya tidak valid. Mitos, dalam hal ini, telah lama membangun peradaban manusia, dan ada segmen di antaranya mitos dapat memberikan pengetahuan yang valid tetapi tidak dapat ditelusuri mekanismenya.Â
Bila dapat diumpamakan, untuk bergerak dari huruf A ke huruf Z, sains modern bergerak secara bertahap melewati huruf-huruf sesudah A, maka dari itu metodologis, sedangkan mitos tidak bergerak dengan cara serupa. Mitos dapat bergerak dari huruf A dan melompat ke huruf lainnya secara acak atau pun terpola (tetapi bukan pola saintifik) maupun melompat langsung dari huruf A ke huruf Z dengan cara yang tidak tampak sistematis.
Mitos diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Mitos umumnya dikemas dalam bentuk dongeng atau cerita/kisah. Kisah ini tentu saja memerlukan media penutur agar dapat terus diwariskan. Beberapa mitos dianggap sebagai sumber nilai, dan maka dari itu merembes pada urat nadi tradisi suatu kelompok kebudayaan (baca: masyarakat yang memiliki budaya/tradisi) tertentu.Â
Dengan demikian, nilai dari mitos itu sendiri dapat dianggap sebagai pengetahuan mendasar yang menjadi corak dan bahkan karakteristik dari suatu kelompok kebudayaan---dan maka dari itu dapat bermetamorfosis menjadi norma dan panduan etika berpikir serta berperilaku.Â
Perkiraan periode sebuah kisah yang memuat mitos berhamburan dari banyak sumber. Namun meski begitu, tak ada yang mampu memastikan kebenaran kapan tepatnya kisah tersebut dituturkan. Hanya terdapat wacana praduga dengan membawa serta bukti-bukti dokumen sejarah dan hasil observasi lapangan.
Kita tidak tahu pasti kapan kisah-kisah itu dikisahkan pertama kali; namun bagaimana pun juga, mereka sudah meninggalkan kehidupan purba. Mitos-mitos yang kita ketahui saat ini adalah ciptaan para penyair besar (atau penulis teks dokumentasi pada umumnya---penulis).[3] Betapa pun periode sebuah kisah yang memuat mitos tak dapat dipastikan, nilai yang terkandung di dalamnya adalah suatu kepastian.Â
Oleh sebab mitos tersebut sudah dianggap sebagai sumber epistemologis suatu kelompok kebudayaan, ia tetap memiliki relevansi sebagai pedoman hidup dalam banyak periode yang terlewat. Peran "penyair besar" di sini tak kurang merupakan peran sosok yang mendokumentasikan (entah berbentuk lisan maupun tulisan) sebuah narasi yang memuat mitos tersebut.Â
Dari "penyair besar" itulah sebuah mitos terjaga, meski setiap zaman akan memberikan distorsi karakteristik (misalnya perubahan beberapa unsur dalam kisah yang dituturkan), ia tetap tidak mengubah esensi nilai yang dikandungnya.
Maka demikianlah, mitos telah memiliki peran yang penting (bahkan sublim) dalam kehidupan manusia---betapa pun modern cara berpikirnya saat ini. Tak dapat dipungkiri bahwa peradaban yang tua ini sebagian besar dibangun bukan dengan ilmu pengetahuan modern dan teknologi mutakhir, melainkan dibangun dengan mitos dan kepercayaan yang sebagian besar tidak ilmiah dan bahkan transenden.Â
Agaknya cukup dapat dipertimbangkan secara serius bahwa mitos merupakan bagian dari kebudayaan tak terpisahkan dari perkembangan epistemologis manusia sejak awal hingga kini---dan masih berlaku (dalam beberapa segmen) dalam kehidupan keilmuan modern.
[1] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2017, h. 37.
[2] J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta, 1984, h. 38.
[3] Edith Hamilton, Mitologi Yunani, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2009, h. xiv.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H