Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jazz yang Melamun

12 Agustus 2021   04:04 Diperbarui: 12 Agustus 2021   04:10 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam ruang kedap suara, seseorang duduk, menghadap ke jendela dengan tatapan kosong. Di luar hujan deras, tetapi suara tak masuk. Pohon-pohon paku melenting diterpa angin. Dunia di luar jendela adalah lanskap yang sama sekali lain dari ruangan ini, ruangan yang sunyi, senyap, sendiri ...

Tidak ada bunyi, orang itu tidak pula bergerak barang sedikit, membisu. Tidak ada percakapan yang terjadi, termasuk percakapan di dalam dirinya sendiri. Terdengar bunyi jam dinding yang menggema, sesuatu yang menandakan bahwa waktu masih terus mengalir meski dalam dunia yang beku. Waktu mengalir, yang berarti kehidupan bergerak, mimpi-mimpi masih mungkin memiliki tempat ...

Setelah hampir satu jam dalam kebekuan, orang itu mulai bergerak. Membetulkan posisi duduk yang membebani tubuhnya. Ia nyaris tidak pernah berolahraga. Otot-ototnya lemah, mudah kaku, dan lembek. Tubuhnya lemah, jiwanya pun lemah ...

Ada lukisan terpampang, lukisan ekspresionis, tetapi entah mengekspresikan apa. Orang itu hanya berpikir bahwa ekspresi yang terpampang dalam lukisan itu adalah ekspresi yang rancu dan sulit dimengerti. Hal ini ia pikirkan sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kali menempelkannya di dinding. Setelah sepuluh tahun menggantung di tembok, tercipta noda sebentuk kotak pigura kayunya. Kaca yang melindungi kanvasnya pun tertutup debu. Tidak tebal, tetapi tidak meninggalkan ruang sedikit pun. 

Orang itu sudah lupa bahwa ada lukisan di sana, dan sudah jelas ia tidak terpikirkan untuk menyekanya. Bertahun-tahun lalu ia memang sempat berpikir membersihkannya, atau memindahkannya, atau memberikannya, atau menjualnya ... tetapi kemudian ia tenggelam dalam konsep; semakin berdebu suatu karya seni, yang artinya melibatkan diri pada perubahan-perubahan yang disediakan waktu, maka ia akan semakin mendekati "wajah" yang senantiasa ia cari.

            Karya seni, dalam hal ini lukisan, tidak diciptakan dari suatu ide subjektif, pikir orang itu, tetapi diciptakan untuk mengarungi waktu, menemukan maknanya sendiri, idenya sendiri---dalam belantara manusia dan lingkungan yang terkomunikasikan dengannya.

            Orang itu membulatkan tekad, berusaha berdiri dengan pelan. Meski usianya belum tiga puluh tahun, sejarah pahit di kepalanya membuat ia memasuki masa tua lebih cepat---menjadi seorang sentimental yang reaktif.

            Langkah kakinya nyaris tanpa suara. Ia agak berjingjit. Ini sudah kebiasaannya. Ia melangkah ke arah alat pemutar musik. Memandangi jam dinding yang begitu berisik, mengganggu keheningan yang memang ia buat dengan sengaja. Orang itu berpikir untuk melempar jam dinding itu ke luar ruangan, tetapi ia tidak mau membuka jendela. Ia tidak mau ada bunyi yang menyelinap. Biarlah bunyi detak jam dinding di sini, sebagai suatu yang niscaya.

            Setelah memandangi alat pemutar musik, ia membuka rak di meja yang menopangnya. Mencari-cari kaset jazz yang sering ia dengarkan. Tangannya menggenggam kaset Miles Davis, ia memandanginya sebentar, kemudian menggeleng. Lalu kaset Stan Getz, menggeleng lagi. Kini kaset Louis Armstrong dan Ella Fitzgerald, dan ia masih menggeleng. Ia mencari jazz instrumental, tetapi entah kenapa merasa Miles Davis dan Stan Getz tidak membuatnya berselera. Kini ia mendapati kaset The Beegie Adair Trio, The Jeff Steinberg Orchestra. Dahinya mengkerut. Ia tidak ingat band ini, tidak pula ingat bagaimana musiknya. Kemudian ia menggali-gali dasar ingatannya, berharap ia mendapat petunjuk yang menghubungkan kaset ini dengan bunyi tertentu atau lanskap tertentu, tetapi gagal. Karena ia penasaran, ia memutarnya.

            How Long Has This Been Going On? adalah lagu pertama yang mengalun. Simbal pembuka itu benar-benar meruntuhkan struktur kesunyian padat sebelumnya. Kini seolah-olah bendungan air yang tertahan itu mengalir perlahan-lahan. Waktu mengalir, kehidupan bergerak, dunia yang beku perlahan-lahan mencair seperti Kutub Utara.

            Badannya kedinginan. Ia melihat jam dinding, tetapi karena terlalu redup, ia tidak bisa melihat angka yang ditunjuk jarum jam. Ruangan yang terlalu menyilaukan akan merusak suasana, pikirnya. Meski redup, ia mengingat jalan ke arah kulkas. Membukanya perlahan-lahan dan cahaya kekuningan melumuri wajahnya. Ia melihat botol Martell yang sudah dibuka, mengambilnya, dan menutup kembali kulkas itu.

            Langkah kakinya masih tanpa suara. Ia berjalan dengan pelan, tanpa alasan. Ia sendiri tidak tahu sejak kapan ia berubah menjadi seperti ini. Kenapa aku bergerak seperti ini? tanyanya dalam hati. Tentu saja tidak ada yang menjawabnya, bahkan dirinya sendiri. Maka, ia menuangkan Martell ke dalam seloki. Menyimpan botolnya di meja, dan kembali duduk. Kilatan tipis bergerak di seloki itu, ia memandanginya dengan tatapan dingin, kemudian meneguknya. Ada sensasi panas dan dingin bersamaan di tenggorokannya. Matanya terpejam.

            Fascinating Rhythm mengalun ...

            Lelaki itu berpikir. Bagaimana suatu musik, suatu susunan bunyi, dapat membawa seseorang ke suatu tempat yang jauh? Seperti halnya saat ini, ia merasa dibawa ke suatu kota yang diselubungi suara manusia yang teredam. Di suatu kota yang tak ia kenali namanya, tak ia kenali lanskapnya, tak ia kenali nama-nama di dalamnya. Meski begitu, ia merasa sudah berada di kota itu selama puluhan tahun dan kemudian baru berkesempatan mengunjunginya kembali setelah sekian lama. Suatu keadaan nostaljik. Bagaimana mungkin suatu musik, suatu susunan bunyi, dapat membawa seseorang ke suatu tempat yang jauh?

            Ia ingin sekali merokok, tetapi lidahnya terasa pahit. Kemudian memutuskan untuk minum lagi. Susunan tulang punggungnya serasa tidak tepat, ia merasa linu dan berat. Andai tubuh manusia itu seperti mesin, ia sangat ingin mengganti seluruh onderdil tubuhnya, dan kemudian---barangkali saja---memulai kehidupan baru. Hidup yang sehat dan penuh gairah. Namun tentu saja itu tidak mungkin, setidaknya untuk saat ini. Kemudian tiba-tiba ia membayangkan film lama yang pernah ditontonnya, Terminator.

            Apakah di kemudian hari akan ada entitas "kehidupan" lain semacam itu? Sesuatu yang kita kenal hari ini dengan nama robot. Misalnya, kemudian hari, struktur tubuh besi itu akan dapat ditransformasikan ke dalam daging buatan, dan kemudian diberikan suatu kecerdasan buatan, artificial intellegent. Suatu kecerdasan utuh yang mendekati---atau bahkan sama---dengan manusia. Suatu sistem kesadaran yang dapat belajar, berkembang, berkepribadian.

            Suatu hari nanti---yang entah kapan---itu akan menjadi mungkin.

            Pada saat masa itu terjadi, barangkali saja, sejarah tidak akan terpaku lagi dengan kenangan, nostalgia, ingatan ... melainkan sekadar terpaku pada dokumentasi data memori dengan kapasitas tertentu. Peristiwa terbungkus sebagai file dan data digital di dalam memori kecerdasan buatan itu. Lalu, apakah peran perasaan, emosi, dan sentimentalitas juga akan tersingkirkan? Lelaki itu ragu apabila suatu kecerdasan buatan itu, meskipun memang akhirnya bisa tercipta, akan mampu menyamai sistem perasaan manusia yang begitu rumit dan sulit diprediksi.

            It Ain't Necessarily So menyala ...

Lelaki itu membayangkan dunia yang tumbuh tanpa perasaan, dan kemudian merasa rawan. Meski tidak mengerti perasaan macam apa yang timbul di benaknya saat ini, ia merasa takut. Diam-diam ia berharap peradaban robotik macam itu tidak datang terlalu cepat.

            Dalam ketakutan itu, ia tersenyum tipis. Merasa bahwa akalnya bekerja dengan tidak beres. Ia tidak merasa harus memikirkan hal tersebut, tetapi seringkali ia tidak bisa membendung arah pikirannya sendiri. Sistem pikiran manusia memang bekerja secara misterius, meski sudah berusaha dipetakan sedemikian rupa oleh berbagai disiplin keilmuan.

Pencarian akan kebenaran paling abadi sepanjang peradaban umat manusia adalah mengenai kebenaran tentang alam semesta, dan kebenaran tentang manusia itu sendiri.

            Lelaki itu kini mengambil rokok dengan gerakan yang senyap. Ia mengambil pemantik di meja, menyulutnya, dan kemudian mengisap asap pekat itu ke dalam ruang udara di dalam dadanya.

            Sepotong foto tergantung di dekat jendela. Ia mengingat-ingat kapan foto itu diambil. Seorang lelaki, yaitu dirinya sendiri, seorang perempuan, dan perempuan kecil yang sedang tertawa. Ia terpaku melihat foto itu selama beberapa saat, dan air mata menetes dari matanya. Tidak ada kesedihan, tidak ada luka yang terbuka kembali, tetapi air matanya menetes. Barangkali di dasar hatinya, ia sedang menangis meski tidak lagi bisa mengenali resonansi emosional semacam itu.

            Tercantum titi mangsa di bagian bawah foto itu. Sekitar delapan tahun lalu.

            Jam dinding masih berdetak, musik masih berbunyi, kini memainkan Summertime. Lelaki itu tahu bahwa dunia masih berjalan. Tiba-tiba tubuhnya menjadi semakin berat. Ia disergap perasaan tak terjelaskan yang intens, yang apabila dipaksa untuk dijelaskan secara singkat, merupakan perasaan yang mendekati kesedihan. Reaksi dari semacam luka yang kembali memperbaharui diri. Air matanya meleleh lebih deras, lengket di wajahnya dan memberi perasaan gatal. Ia memandangi kembali foto itu. Tubuhnya hendak bangkit dari kursi untuk meraihnya, tetapi ia tidak bisa bergerak. Kini suaranya perlahan keluar, tetapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan. Namun itu hanya berlalu dengan singkat, benar-benar singkat seperti kedipan mata. Ia teringat kembali peristiwa delapan tahun silam itu, ketika bom jatuh dari langit, dan keluarganya hancur di antara puing-puing.

            They Can't Take That Away from Me bergerak, tetapi tidak bisa memecahkan struktur sunyi yang bertumbuh dengan cepat, jadi kokoh. Kesunyian menjadi tembok raksasa yang seolah tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh senjata apa pun yang mungkin bisa diciptakan umat manusia. Lelaki itu kembali terlempar ke dalam solitude, kekosongan yang kuyup ...

            Dunia kembali ke keadaan senyap. Tidak ada bunyi, orang itu tidak pula bergerak barang sedikit, membisu. Tidak ada percakapan yang terjadi, termasuk percakapan di dalam dirinya sendiri. Terdengar bunyi jam dinding yang menggema, sesuatu yang menandakan bahwa waktu masih terus mengalir meski dalam dunia yang beku. Waktu mengalir, yang berarti kehidupan bergerak, mimpi-mimpi masih mungkin memiliki tempat ...

Kamis, 24 Juni 2021. 19.42.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun