Bertolak dari pemahaman awal tentang apa itu filsafat dan apa itu lingkungan hidup, secara sangat elementer bisa dikatakan bahwa filsafar lingkungan hidup tidak lain adalah sebuah kajian tentang lingkungan hidup, tentang oikos, tempat tinggal makhluk hidup. Filsafat lingkungan hidup adalah sebuah pencarian, sebuah pertanyaan terus-menerus tentang lingkungan hidup, baik tentang makna dan hakikatnya maupun tentang segala hal yang berkaitan dan menyangkut lingkungan hidup itu. Di satu pihak itu berarti, filsafat lingkungan hidup adalah ekologi, ilmu tentang lingkungan hidup. Ilmu yang mengkaji dan memungkinkan kita memahami secara benar tentang alam semesta, ekosistem, tempat kehidupan ini berlangsung dan segala interaksi yang berlangsung di dalamnya (Keraf, 2014).
Tetapi, di lain pihak, filsafat lingkungan hidup bukan sekadar sebuah kajian ilmiah begitu saja. Dia bukan sekadar sebuah ekologi, ilmu tentang lingkungan hidup. Sebagai sebuah filsafat, filsafat lingkungan hidup mencakup dua sisi sekaligus yang terkait erat satu sama lain, yang dirumuskan Arne Naess sebagai ecosophy. Eco dari oikos sebagaimana telah diartikan di atas. Sedangkan sophy juga dari kata Yunani sebagaimana telah kita artikan di atas dalam kaitannya dengan filsafat.Â
Jadi, dengan ecosophy mau dikatakan bahwa filsafat lingkungan hidup tidak lain adalah kearifan tentang lingkungan hidup, tentang ekosistem seluruhnya. Pada satu sisi ada makna kajian dalam wujud pertanyaan dan pencarian terus-menerus tetapi di pihak lain ada makna kebenaran atau kearifan tentang ekosistem seluruhnya. Kearifan yang bersumber dari kebenaran tadi pada gilirannya berfungsi menuntun pola perilaku tertentu sejalan dengan kebenaran tadi dalam menjaga dan merawat alam semesta, tempat tinggal makhluk seluruhnya.
Jadi, ecosophy adalah filsafat lingkungan hidup yang mengandung pengertian kearifan yang memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menuntun secara alamiah bagaimana mengatur rumah tempat tinggal tadi agar layak didiami dan menjadi penunjang sekaligus memungkinkan kehidupan dapat berkembang di dalamnya. Ia tidak sekadar sebuah ilmu (science) melainkan sebuah kearifan (wisdom) sekaligus (Keraf, 2014).
Filsafat lingkungan menurut Skolimowski sebagaimana dikutip dalam Nurmardiansyah (2014) membawa kembali koherensi antara sistem nilai manusia dengan pandangannya atas alam semesta supaya masing-masing akan menjadi aspek yang satu bagi yang lainnya, seperti dalam kebudayaan-kebudayaan tradisional. Filsafat lingkungan berusaha menyelamatkan individu bukan dengan pesan dangkal yang menenangkan ego kita, sementara baian lain keberadaan kita masih tercabik-cabik, tetapi dengan cara melakukan rekonstruksi menyeluruh pada kosmologi kita, yang, bersama kebudayaan, menyusun matrik kesehatan (atau penyakit) kita. Lebih lanjut, Skolimowski memberikan dasar-dasar konsepsi alternatifnya, yakni:
"...in devising new tactics for living we shall need to rethink our relationship with the world at large, ... we shall need to abandon the mechanistic conception of the world, and replace it with a much broader and richer one. Eco-philosophy attempts to provide the rudiments of this alternative conception."
Skolimowski agaknya menandai potensi besar krisis lingkungan yang diakibatkan oleh paradigma mekanistis sejak revolusi Industri. Sudah bukan rahasia umum bahwa paradigma mekanistis membawa manusia pada jurang antroposentrisme berlebihan yang menganggap alam sekadar benda yang eksis untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga alam tidak lagi dipandang sebagai bagian dari mereka---atau sebaliknya. Hal ini yang menyebabkan adanya struktur hierarkis yang secara sepihak memosisikan manusia berada di atas puncak piramida tersebut dan bersikap secara fasistik. Skolimowski menyadari bahwa paradigma mekanistis adalah paradigma yang "miskin" serta tidak memiliki keluasan, yang maka dari itu, sudah semestinya dievaluasi kembali dengan paradigma yang lebih "kaya".
Pada awal 1800-an, John Rodman sebagaimana dikutip dalam Molina-Motos (2018) menyatakan tiga tipologi awal paradigma lingkungan, yaitu: (1) konservasi sumberdaya (prudential stage), (2) perlindungan ruang alami (reverential stage), dan (3) perluasan moral (respectful stage). Tahap terakhir dari paradigma lingkungan menurut Rodman adalah (4) kepekaan ekologis (inclusive stage) yang memperkaya "persepsi, sikap, dan penilaian". Tipologi ini memiliki keidentikan dengan paradigma etika lingkungan ekosentrisme, yang terlebih ditekankan pada tipologi ketiga (perluasan moral) dan keempat (kepekaan ekologis).Â
Perluasan moral yang berarti bahwa pertimbangan moralitas tidak sebatas berada di dalam komunitas manusia, melainkan juga kepada komunitas ekologis secara keseluruhan. Setelah tipologi ini tercapai, maka kemudian termungkinkan juga tercapainya kepekaan ekologis, yang bertendensi pada pembinaan hubungan berbasis emosional dan tak hanya rasional. Komunitas ekologis selain manusia kemudian menjadi sosok yang juga layak untuk diberikan kasih sayang dan perhatian sebagaimana manusia pada umumnya.
Dengan pemahaman seperti itu, maka pertama-tama filsafat lingkungan hidup tidak lain adalah sebuah proses pertanyaan dan pergumulan terus-menerus tentang apa itu alam semesta, apa itu lingkungan hidup itu sendiri. Konsekuensinya, tidak bisa dielakkan bahwa pertanyaan dan pergumulan tentang filsafat lingkungan hidup membawa kita kepada pergumulan yang telah lama berlangsung dalam bidang kajian yang disebut sebagai ilmu pengetahuan dan kritik terhadap ilmu pengetahuan atau yang disebut sebagai filsafat ilmu.Â
Kita harus memasuki khazanah filsafat ilmu untuk membongkar kembali seluruh pemahaman yang telah lama dirumuskan tentang alam semesta. Sebuah proses pergumulan yang melahirkan temuan-temuan penting dan klasik di bidang ilmu pengetahuan. Kita harus melakukan ini karena ini cara pandang ilmu pengetahuan (dan sekaligus berarti filsafat ilmu pengetahuan) tentang alam semesta telah menjadi cara pandang dominan sampai membentuk budaya masyarakat (Barat) yang modern tetapi sekaligus juga menjadi cara pandang dominan tentang lingkungan hidup, alam, atau ekosistem. Ini yang pada gilirannya, kedua, membentuk kearifan dan memengaruhi perilaku manusia modern atas lingkungan hidup, atas alam dengan segala dampak positif dan negatifnya sebagaimana kita alami hingga sekarang (Keraf, 2014).