Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Seorang Tokoh yang Menangis Ketika Ia Tertidur

16 April 2018   21:29 Diperbarui: 16 April 2018   22:41 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dini hari yang bising oleh lalu lintas perkotaan, Tala terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, ia menguap, mengusap-usap matanya yang masih lengket, menyisir alakadar rambutnya dengan jari jemari. Ia kemudian berdiri, berjalan beberapa langkah dari ranjangnya. Alamak!ia terkejut bukan main bahwa kakinya tidak menapak di lantai. Tubuhnya tidak terasa berat lagi seperti pertama ia merebahkan tubuh di ranjang itu; setelah bekerja di kantor seharian. Ia menatap tubuhnya yang masih terbaring pulas di ranjang. 

Ditatapnya dirinya sendiri. Ia menggaruk-garuk kepala, tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Seketika ia bisa terbang ke tepi jendela kamarnya, membuka gorden, dan menatap ke jalan raya. Menjulang gedung-gedung tinggi, pabrik industri, dan kepulan asap yang biasanya terlihat jelas apabila hari belum berjumpa dengan malam. Beberapa tetes air sisa penghujan menghalangi telisiknya ke arah cahaya-cahaya yang bergerak secara akrobatik di sana. Seketika suara klakson, mesin, embusan angin, menjadi semakin menurun, semakin menghilang, lenyap, senyap. Tidak ada suara lagi. Ia menoleh kembali ke tubuhnya. Mengernyitkan dahi, memejamkan mata, ada apa ini?ia benar-benar tidak menemukan jawaban. 

Tik tok jam dinding masih berbunyi, tidak diredam entah oleh apa atau siapa seperti suara lainnya. Ditatapnya kedua telapak tangannya---hampir mirip asap. Ia pernah mendengarkan ucapan kakeknya perkara jin dan manusia dahulu, bahwa jin terbentuk dari unsur api dan udara, itu sebabnya jin bisa pergi ke mana pun tanpa terbatas ruang dan waktu. Sedangkan manusia, selain terbentuk oleh unsur api dan udara, ternyata didominasi oleh unsur air dan tanah, itu sebabnya manusia lebih lambat dalam bergerak -- jika dibandingkan dengan jin. Ketika teringat itu, Tala semakin diselimuti kebingungan. Apakah aku jin? Apakah aku sudah mati? Tidak mungkin. Masih banyak yang harus aku kerjakan, masih banyak rahasia yang harus aku utarakan.

Udara di kamar itu seketika menjadi sejuk. Ada kepulan asap tipis yang menyelinap ke celah jendela dan lubang ventilasi. Ternyata ini bukan asap, ini kabut.Tapi sejak kapan di kota semenjengkelkan ini ada kabut?Tala kemudian mencoba mengonfirmasi keraguannya sendiri, tentang masalah jin dan manusia itu. Ia mencoba menembus jendela yang semula menjadi penghalang antara dirinya dan rimba beton itu. Wusss...!ia ternyata benar-benar bisa menembusnya. "Cacing! Ternyata aku sudah menjadi jin!" ia sesenggukan, menyesali sesuatu yang telah disimpulkannya sendiri. 

Tubuhnya yang sudah terbiasa berjibaku dengan suhu tinggi, kini bergetar mencoba beradaptasi dengan nuansa sejuk yang benar-benar asing bagi kulitnya, tapi bukankah aku sudah menjadi jin?seketika ia terpental beberapa jauh. Seseorang mendekatinya. Husss! Jangan sembarangan!Tala benar-benar jengkel meski ia tak merasa sakit sedikit pun. Ditiliknya orang atau roh yang menghantamnya tadi. Janggut panjang putih, halis tebal putih, kumis yang jarang, mata sayu tapi tajam, suara parau tapi berkarisma. Apakah itu engkau, Kakek?

"Kakek, apa aku sudah mati?"

"Kau sudah mati sejak lama, Tala."

"Kenapa demikian?"

"Kau lebih tahu jawabannya."

Kemudian Kakek Tala menunjuk ke gedung-gedung yang berkilauan di malam gelap itu. Seketika ruang tempat mereka bertemu menjadi hampa udara. Tala sesenggukan menahan pengap. Tangannya meronta-ronta, seraya berisyarat udara ....Setelah Kakek Tala menjentikkan jari, angin berembus kembali. Tala menarik napas sepanjang-panjangnya, mengembusnya ke langit, mengulanginya beberapa kali. Gedung-gedung itu seketika meranggas mulai dari atas. Menjadi hijau, meski gelap. Seperti daun yang berguguran, tapi justru yang gugur kali ini adalah keguguran itu sendiri, dan meninggalkan dedaunan, yang teramat rimbun. 

Semuanya mengelupas seperti sobekan-sobekan kertas yang semula menutup gedung, kemudian diterbangkan oleh angin. Wusss ...! Yang berada di balik sobekan-sobekan kertas yang beterbangan itu adalah pepohonan. Sepanjang pemandangan berubah menjadi pohon, menjadi hutan. Tala hanya melongo melihat keanehan semacam ini. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Mula-mula ia yang berpisah dengan tubuhnya, kemudian bertemu kakeknya yang sudah berpuluh tahun yang lalu meninggal dunia, dan gemerlap kota yang tiba-tiba menjadi hutan belantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun