Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Tatkala Kanak-kanak

19 Maret 2018   21:01 Diperbarui: 20 Maret 2018   02:19 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/1/ 

Di masa yang lalu, ketika anak-anak gadis masih dengan terbuka bermain di beranda rumahnya yang penuh dengan rumputan, pohonan, dan penjual sayur yang murah senyum, Aku telah memahat tubuhmu sedemikian sempurna untuk kujadikan kekasih. Tiada yang lebih gigil daripada kesepian Adam di surga ketika itu, sehingga dimintanya sebongkah wujud---dari rusuknya, untuk kemudian berbagi suka duka sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Tapi tubuh mereka tak abadi, sekali-kali tidak, sehingga barangkali, mereka setelahnya bercinta di sebuah wilayah yang tak terjangkau akal. Tapi setiap kekasih selalu diuji kesakralan cintanya. Itulah yang Aku maksudkan, yang Aku harapkan, agar kamu senantiasa menjaganya---tanpa mendua, tanpa mendusta. Meski kini kamu seakan lenyap bersama angin menuju ke balik bukit yang penuh tabir, Aku selalu mampu menyaksikan. Sebab tiada indra berguna, hati-Ku telah tertaut padamu sedemikian rupa.

Banyak kata-kata pula yang acapkali engkau lafalkan. Perwujudan rindukah, atau sebatas suara yang kamu keluarkan tatkala jemu, Aku tak perlu membahasnya. Biar itu menjadi pokok bahasan antara kamu dan batinmu saja.

Anak-anak gadis itu, masihkah berada di sana, kasih?

/2/

Malam telah sepenuhnya bisu kali ini. Tiada lain karena menghargai air mata-Ku yang menukik menuju hamparan tanah yang lama kering. Dan Kutumbuhkan bermacam keindahan melaluinya. Kamu yang telah berpaling, menjauhiku, tak lekas benar-benar membawamu ke dalam ketiadaan. Aku selalu melihatmu, bukan begitu? Dan jelas kamu paham benar maksudku. Telah Kutumbuhkan daun-daun di musim semi paling hangat bulan itu---yang kini bertemu dengan musim dingin. Di tingkap, satu-satu ingatanmu merapuh, luruh menuju tanah, membaur bersama makhluk-makhluk di sana hingga lebur, dan ranting-ranting-Ku menantimu kembali di musim semi berikutnya.

Ketika musim dingin itu tiba, bukankah Aku telah mewujud api yang kamu idam-idamkan ketika bekerja di luar sana? Dan setelah usai kesibukanmu, setelah kamu tanggalkan pakaian hangatmu, kamu mendekati-Ku dan berkata betapa nikmat berada di dekat-Mu. Sungguh, Aku ingin mendengar itu setiap musim, terutama di musim semi, ketika kamu lahir dari inti-Ku.

/3/

Kala itu, terakhir kali kau menyebut nama-Ku, bibirmu berubah beku. Segigil apa hawa yang kamu rasakan, kasih?Tanganmu asyik bermain dengan gadis-gadis kecil yang tempo hari sering berbagi gelak tawa kala kamu masih belia, kala kamu masih begitu dekat dengan-Ku---walau ditakut-takuti ibu-bapakmu. Tapi pendar yang serupa matahari terbit itu kini tak kutangkap dari wajahmu, meski tanganmu masih seperti dulu---genit.

Dan kamu tahu, kasih? Begitu banyak hal yang ingin Aku perbincangkan denganmu. Di sebuah ruang yang romantis, tapi bukan di musim dingin!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun